Raja Suppabuddha adalah ayah dari Devadatta dan ayah mertua dari Pangeran Siddhatta, yang kemudian menjadi Buddha Gotama.
Raja Suppabuddha sangat membenci Sang Buddha karena dua alasan. Pertama, karena Pangeran Siddhattha telah meninggalkan istrinya, Yasodhara, putri Raja Suppabuddha, untuk melepaskan keduniawian.
Dan kedua, karena putranya, Devadatta, yang telah diterima dalam pasamuan Sangha oleh Sang Buddha, menganggap Sang Buddha sebagai musuh utamanya.
Suatu hari ia mengetahui bahwa Sang Buddha akan datang untuk berpindapatta. Raja Suppabuddha minum-minuman yang memabukkan, sehingga dirinya mabuk dan menutup jalan. Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu datang, Raja Suppabuddha menolak untuk memberikan jalan masuk, dan mengirim pesan yang berbunyi, “Saya tidak dapat memberikan jalan kepada Samana Gotama, yang jauh lebih muda daripada saya”.
Melihat jalan masuk telah ditutup, Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali. Kemudian Raja Suppabuddha mengirim seseorang untuk mengikuti Sang Buddha secara sembunyi-sembunyi, dan mencari keterangan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha serta melaporkan kepadanya.
Setelah Sang Buddha tiba, Beliau berkata kepada Ananda, “Ananda, karena perbuatan jahat Raja Suppabuddha yang menyebabkan ia menolak memberi jalan kepada saya, tujuh hari mendatang sejak saat ini dia akan ditelan bumi, di kaki tangga menuju puncak bangunan istananya.”
Mata-mata raja mendengar hal tersebut dan melaporkan kepada raja. Raja berkata bahwa dia tidak akan pergi ke dekat tangga tersebut, dan akan membuktikan kata-kata Sang Buddha adalah tidak benar.
Kemudian raja memerintahkan pelayannya untuk memindahkan tangga tersebut, sehingga dia tidak akan menggunakannya. Dia juga menyuruh pelayan yang bertugas memberitahu untuk memegangnya jika dia pergi ke arah kaki tangga.
Ketika Sang Buddha memperoleh keterangan perihal perintah raja kepada anak buahnya tersebut di atas, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Walaupun Raja Suppabuddha tinggal di puncak bangunan, atau di atas langit, atau di dasar laut, atau di dalam goa, kata-kata saya tidak akan keliru. Raja Suppabuddha akan ditelan bumi di tempat yang telah saya katakan pada kalian.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 128 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari kematian.
Pada hari ketujuh, kira-kira pada waktu makan, kuda kerajaan ketakutan dengan alasan yang tidak diketahui, dan mulai meringkik dengan keras serta menendang-nendang dengan sangat marah. Mendengar suara ringkikan dari kudanya, Raja merasa dia harus menangani kuda peliharaannya, dan ia melupakan semua pencegahan terhadap bahaya. Dia mulai menuju pintu. Pintu terbuka dengan sendirinya, tangga yang telah dipindahkan sebelumnya juga masih di tempatnya semula, pelayan lupa mencegahnya untuk tidak turun. Kemudian Raja menuruni tangga dan segera dia melangkah di atas bumi. Bumi terbuka dan menelannya serta menyeretnya ke alam neraka Avici (Avici Niraya).
BLOG yang berisi kumpulan Kisah DHAMMAPADA, Cerita BUDDHIS dan Cerita non BUDDHIS menarik lainnya
Selamat membaca.. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua..
Tampilkan postingan dengan label 09. Kejahatan (Papa Vagga). Tampilkan semua postingan
Kisah Tiga Kelompok Orang
Kelompok pertama: Sekelompok bhikkhu dalam perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka berhenti di sebuah desa. Beberapa orang memasak makanan untuk didanakan kepada para bhikkhu. Salah satu rumah terbakar dan alarm kebakaran berkumandang di udara.
Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.
Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.
Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.
Kapten kapal berkata dengan sedih, “Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi.”
Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.
Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.
Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.
Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.
Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.
Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: “Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ketujuhnya.”
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: “Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya”.
Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: “Para bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya.”
Kemudian para bhikkhu berkata, “O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua”.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.
Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.
Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.
Kapten kapal berkata dengan sedih, “Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi.”
Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.
Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.
Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.
Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.
Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.
Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: “Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ketujuhnya.”
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: “Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya”.
Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: “Para bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya.”
Kemudian para bhikkhu berkata, “O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua”.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Kisah Tissa Thera
Ada seorang penggosok permata dan istrinya tinggal di Savatthi. Di sana juga berdiam seorang Thera yang telah mencapai tingkat kesucian arahat. Setiap hari pasangan ini memberi dana makanan kepada thera itu.
Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir ruby, yang meminta untuk dipotong, dan diasah sampai mengkilap. Si penggosok permata tersebut mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk mencuci tangannya.
Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri ruby dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk serta menelannya di hadapan sang thera.
Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya, dia menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya kepada istri dan anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Kemudian dia bertanya kepada sang thera dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak mengambilnya, tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali sang thera di dalam rumah. Penggosok permata berkesimpulan pastilah sang thera yang telah mengambil ruby yang berharga tersebut. Lalu dia memberi tahu istrinya bahwa dia harus menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.
Tetapi istrinya menjawab: “Thera ini telah menjadi pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apa pun, janganlah menuduh thera itu. Lebih baik kita menerima hukuman dari raja daripada menuduh orang suci.”
Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya. Dia mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah mengalir dari kepala, telinga, dan hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.
Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si penggosok permata yang pada saat itu sangat marah, menyepak burung dengan seluruh kekuatannya, sehingga burung itu mati seketika.
Kemudian thera itu berkata, “Lihatlah, apakah burung itu mati atau tidak?”
Penggosok permata menjawab: “Kamu juga seharusnya mati seperti burung itu.”
Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati, dia menjawab dengan pelan: “Muridku, burung itulah yang menelan ruby tersebut.”
Mendengar itu, penggosok permata membelah badan burung tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya. Kemudian penggosok permata menyadari bahwa dia telah bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada sang thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan di muka pintu rumahnya.
Thera itu menjawab, “Muridku, ini bukanlah kesalahanmu dan juga bukan kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa yang telah kita perbuat dalam kehidupan lampau. Hanyalah hutang kita dalam proses kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena saya memasuki rumah. Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun, saya hanya akan berdiri di muka pintu.”
Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal dunia akibat luka-lukanya.
Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha dimana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali?
Sang Buddha menjawab, “Burung itu terlahir kembali sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir kembali di alam neraka (Niraya); istri penggosok permata terlahir kembali di salah satu alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada kehidupannya saat ini, merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 126 berikut:
Sebagian orang terlahir melalui kandungan;
pelaku kejahatan terlahir di alam neraka;
orang yang berkelakuan baik pergi ke surga;
dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai nibbana.
Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir ruby, yang meminta untuk dipotong, dan diasah sampai mengkilap. Si penggosok permata tersebut mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk mencuci tangannya.
Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri ruby dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk serta menelannya di hadapan sang thera.
Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya, dia menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya kepada istri dan anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Kemudian dia bertanya kepada sang thera dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak mengambilnya, tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali sang thera di dalam rumah. Penggosok permata berkesimpulan pastilah sang thera yang telah mengambil ruby yang berharga tersebut. Lalu dia memberi tahu istrinya bahwa dia harus menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.
Tetapi istrinya menjawab: “Thera ini telah menjadi pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apa pun, janganlah menuduh thera itu. Lebih baik kita menerima hukuman dari raja daripada menuduh orang suci.”
Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya. Dia mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah mengalir dari kepala, telinga, dan hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.
Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si penggosok permata yang pada saat itu sangat marah, menyepak burung dengan seluruh kekuatannya, sehingga burung itu mati seketika.
Kemudian thera itu berkata, “Lihatlah, apakah burung itu mati atau tidak?”
Penggosok permata menjawab: “Kamu juga seharusnya mati seperti burung itu.”
Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati, dia menjawab dengan pelan: “Muridku, burung itulah yang menelan ruby tersebut.”
Mendengar itu, penggosok permata membelah badan burung tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya. Kemudian penggosok permata menyadari bahwa dia telah bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada sang thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan di muka pintu rumahnya.
Thera itu menjawab, “Muridku, ini bukanlah kesalahanmu dan juga bukan kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa yang telah kita perbuat dalam kehidupan lampau. Hanyalah hutang kita dalam proses kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena saya memasuki rumah. Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun, saya hanya akan berdiri di muka pintu.”
Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal dunia akibat luka-lukanya.
Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha dimana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali?
Sang Buddha menjawab, “Burung itu terlahir kembali sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir kembali di alam neraka (Niraya); istri penggosok permata terlahir kembali di salah satu alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada kehidupannya saat ini, merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 126 berikut:
Sebagian orang terlahir melalui kandungan;
pelaku kejahatan terlahir di alam neraka;
orang yang berkelakuan baik pergi ke surga;
dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai nibbana.
Kisah Koka Si Pemburu
Suatu pagi, saat Koka pergi berburu dengan anjing-anjing pemburunya, dia melihat seorang bhikkhu memasuki kota untuk berpindapatta. Pemburu mengira bahwa hal itu merupakan pertanda buruk dan menggerutu pada dirinya sendiri: “Sejak saya melihat pemandangan ini, saya mengira saya tidak akan mendapatkan hasil buruan apapun hari ini”,
dan dia melanjutkan perjalanannya. Seperti dugaannya, dia tidak memperoleh apapun.
Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing pemburunya ke arah bhikkhu tersebut. Dengan cepat bhikkhu itu memanjat pohon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu pergi ke bawah pohon dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan ujung anak panahnya.
Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.
Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mengguling-gulingkannya dengan penuh kemarahan.
Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.
Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya?
Kemudian bhikkhu itu menghadap Sang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata: “Anak-Ku, pastikan dan janganlah ragu-ragu bahwa kamu tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu. Pelaksanaan moral (sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah, sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 125 berikut:
Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah,
maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu,
bagaikan debu yang dilempar melawan angin.
Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
dan dia melanjutkan perjalanannya. Seperti dugaannya, dia tidak memperoleh apapun.
Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing pemburunya ke arah bhikkhu tersebut. Dengan cepat bhikkhu itu memanjat pohon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu pergi ke bawah pohon dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan ujung anak panahnya.
Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.
Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mengguling-gulingkannya dengan penuh kemarahan.
Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.
Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya?
Kemudian bhikkhu itu menghadap Sang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata: “Anak-Ku, pastikan dan janganlah ragu-ragu bahwa kamu tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu. Pelaksanaan moral (sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah, sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 125 berikut:
Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah,
maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu,
bagaikan debu yang dilempar melawan angin.
Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Kisah Kukkutamitta
Di Rajagaha terdapat seorang putri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian sotapatti pada usia yang masih muda. Suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu datang ke kota dengan kereta untuk menjual daging rusa. Melihat Kukkutamitta, si pemburu itu, wanita kaya yang masih muda ini jatuh hati seketika.
Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.
Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.
Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.
Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.
Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.
Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.
Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, “Jangan membunuh ayahku.”
Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir “Ini pastilah ayah mertua saya”, dan anak-anaknya berpikir “Ini pastilah kakek kami”, dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.
Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya.”
Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan mereka tergerak menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.
Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.
Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu?”
Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambil barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Juga karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 124 berikut:
Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,
maka ia dapat menggenggam racun.
Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.
Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.
Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.
Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.
Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.
Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.
Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.
Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.
Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, “Jangan membunuh ayahku.”
Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir “Ini pastilah ayah mertua saya”, dan anak-anaknya berpikir “Ini pastilah kakek kami”, dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.
Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya.”
Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan mereka tergerak menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.
Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.
Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu?”
Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambil barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Juga karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 124 berikut:
Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,
maka ia dapat menggenggam racun.
Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.
Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.
Kisah Mahadhana
Mahadhana adalah seorang pedagang kaya dari Savatthi. Pada suatu kesempatan, lima ratus perampok telah merencanakan untuk merampoknya, tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk merampoknya.
Pada saat lain para perampok itu mendengar bahwa pedagang Mahadhana akan segera bepergian dengan lima ratus kereta penuh dengan barang-barang berharga. Pedagang Mahadhana juga mengajak bhikkhu-bhikhu yang akan bepergian pada tujuan yang sama untuk pergi bersama dengannya. Dan dia berjanji untuk memperhatikan kebutuhan bhikkhu-bhikkhu selama dalam perjalanan. Lalu ke lima ratus bhikkhu pergi bersama dengannya.
Perampok-perampok memperoleh berita perjalanan mereka dan pergi mendahului di depan untuk menunggu rombongan pedagang. Tetapi pedagang itu berhenti di pinggir hutan tempat perampok-perampok itu sedang menunggu. Rombongan akan melanjutkan perjalanannya setelah bermalam beberapa hari.
Perampok-perampok memperoleh berita keberangkatan mendatang, dan membuat persiapan untuk merampok rombongan tersebut. Pedagang juga mendengar kabar gerakan penjahat-penjahat tersebut dan memutuskan untuk kembali ke rumah.
Penjahat-penjahat sekarang mendengar bahwa pedagang akan pulang ke rumah, lalu mereka menunggu di jalan yang menuju rumah. Beberapa orang desa mengirim berita kepada pedagang mengenai gerakan para penjahat, dan akhirnya pedagang memutuskan untuk tinggal di desa beberapa waktu.
Ketika pedagang memberitahu keputusannya kepada para bhikkhu, bhikkhu-bhikkhu itu sendiri pulang kembali ke Savatthi. Sesampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau perihal tertunda-nya perjalanan mereka. Kepada mereka, Sang Buddha berkata: “Para bhikkhu, Mahadhana menghindar dari perjalanan yang dikepung oleh para penjahat. Seseorang yang tidak ingin meninggal dunia menghindar dari racun. Para bhikkhu bijaksana, yang menyadari bahwa tiga tingkat alam kehidupan serupa dengan perjalanan yang dikepung dengan bahaya, hendaknya berusaha keras menghindar dari berbuat jahat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 123 berikut:
Bagaikan seorang saudagar yang dengan sedikit pengawal membawa banyak harta, menghindari jalan yang berbahaya,
demikian pula orang yang mencintai hidup,
hendaknya menghindari racun dan hal-hal yang jahat.
Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Pada saat lain para perampok itu mendengar bahwa pedagang Mahadhana akan segera bepergian dengan lima ratus kereta penuh dengan barang-barang berharga. Pedagang Mahadhana juga mengajak bhikkhu-bhikhu yang akan bepergian pada tujuan yang sama untuk pergi bersama dengannya. Dan dia berjanji untuk memperhatikan kebutuhan bhikkhu-bhikkhu selama dalam perjalanan. Lalu ke lima ratus bhikkhu pergi bersama dengannya.
Perampok-perampok memperoleh berita perjalanan mereka dan pergi mendahului di depan untuk menunggu rombongan pedagang. Tetapi pedagang itu berhenti di pinggir hutan tempat perampok-perampok itu sedang menunggu. Rombongan akan melanjutkan perjalanannya setelah bermalam beberapa hari.
Perampok-perampok memperoleh berita keberangkatan mendatang, dan membuat persiapan untuk merampok rombongan tersebut. Pedagang juga mendengar kabar gerakan penjahat-penjahat tersebut dan memutuskan untuk kembali ke rumah.
Penjahat-penjahat sekarang mendengar bahwa pedagang akan pulang ke rumah, lalu mereka menunggu di jalan yang menuju rumah. Beberapa orang desa mengirim berita kepada pedagang mengenai gerakan para penjahat, dan akhirnya pedagang memutuskan untuk tinggal di desa beberapa waktu.
Ketika pedagang memberitahu keputusannya kepada para bhikkhu, bhikkhu-bhikkhu itu sendiri pulang kembali ke Savatthi. Sesampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau perihal tertunda-nya perjalanan mereka. Kepada mereka, Sang Buddha berkata: “Para bhikkhu, Mahadhana menghindar dari perjalanan yang dikepung oleh para penjahat. Seseorang yang tidak ingin meninggal dunia menghindar dari racun. Para bhikkhu bijaksana, yang menyadari bahwa tiga tingkat alam kehidupan serupa dengan perjalanan yang dikepung dengan bahaya, hendaknya berusaha keras menghindar dari berbuat jahat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 123 berikut:
Bagaikan seorang saudagar yang dengan sedikit pengawal membawa banyak harta, menghindari jalan yang berbahaya,
demikian pula orang yang mencintai hidup,
hendaknya menghindari racun dan hal-hal yang jahat.
Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Kisah Bilalapadaka
Suatu waktu, seseorang yang berasal dari Savatthi, setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, sangat terkesan dan memutuskan untuk menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.
Isi khotbah itu adalah memberi dana tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri tetapi hendaknya juga menghimbau orang lain untuk melakukannya. Dengan melakukan hal tersebut, seseorang akan memperoleh banyak pahala dan memperoleh banyak pengikut pada kehidupan yang akan datang.
Oleh karena itu orang tersebut mengundang Sang Buddha beserta seluruh bhikkhu yang berdiam di Vihara Jetavana untuk menerima dana makanan keesokan harinya.
Kemudian orang itu pergi ke rumah-rumah tetangganya, dan memberitahu bahwa dana makanan (pindapatta) akan dilakukan keesokan hari kepada Sang Buddha beserta para bhikkhu. Oleh karena itu, siapa yang akan turut berperan-serta tergantung kepada masing-masing orang.
Seorang kaya yang bernama Bilalapadaka melihat laki-laki tersebut pergi berkeliling dari rumah ke rumah. Ia tidak setuju atas kelakuannya itu dan juga merasa tidak senang. Ia menggerutu, “O, orang malang! Kenapa dia tidak mengundang beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri memberi dana, daripada pergi berkeliling membujuk orang lain?”
Lalu dia meminta laki-laki itu untuk membawa mangkoknya dan dia memasukkan ke dalam mangkok tersebut sedikit nasi, hanya sedikit mentega, sedikit air dan tebu. Barang tersebut dibawa secara terpisah dan tidak dicampur dengan yang diberikan orang-orang lain.
Orang kaya tersebut tidak mengerti kenapa barang-barangnya diperlakukan secara terpisah. Ia mengira laki-laki tersebut akan memberitahu orang lain bahwa orang kaya seperti dirinya memberi sumbangan hanya sedikit dan membuatnya malu. Oleh karena itu, orang kaya Bilalapadaka mengutus pelayannya untuk menyelidiki.
Penganjur berdana itu meletakkan makanan yang sedikit pemberian orang kaya tersebut ke dalam mangkuk-mangkuk nasi, kari, dan daging manis, agar orang kaya tersebut mendapat banyak pahala. Pelayan orang kaya melaporkan apa yang telah dilihatnya. Tetapi majikannya, Bilalapadaka, tidak mengerti artinya dan tidak yakin maksud penganjur tersebut. Walau demikian, keesokan harinya dia pergi ke tempat di mana dana makanan dilakukan. Pada saat yang sama, dia membawa sebilah pisau yang akan dipergunakan untuk membunuh penganjur, apabila penganjur berdana itu mengumumkan di depan umum betapa sedikit yang diberikan oleh orang kaya seperti dirinya.
Tetapi penganjur berdana ini berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, dana makanan ini merupakan gabungan dari semua, walaupun ada yang memberi banyak atau pun sedikit tidaklah dihitung. Tiap orang dari kami memberi dengan keyakinan dan kerendahan hati. Jadi semoga kami semua memperoleh pahala yang sama.”
Ketika mendengar kalimat tersebut, Bilalapadaka menyadari bahwa dia telah berpikiran keliru terhadap laki-laki itu. Ia merenungkan jika ia tidak mengakui kekeliruannya itu dan memohon penganjur berdana itu untuk memaafkannya, maka dia bisa terlahir di salah satu dari empat alam kehidupan rendah (apaya).
Lalu dia berkata, “Temanku, saya telah melakukan kesalahan besar terhadapmu dengan berpikir keliru tentang kamu, maafkanlah saya.”
Sang Buddha mendengar orang kaya tersebut meminta maaf, dan dari penyelidikannya Beliau mengetahui alasannya. Lalu Sang Buddha berkata, “Pengikutku, kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan baik walau sekecil apapun; perbuatan baik yang kecil akan menjadi besar, jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 122 berikut:
Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata:
“Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat.”
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes,
demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.
Isi khotbah itu adalah memberi dana tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri tetapi hendaknya juga menghimbau orang lain untuk melakukannya. Dengan melakukan hal tersebut, seseorang akan memperoleh banyak pahala dan memperoleh banyak pengikut pada kehidupan yang akan datang.
Oleh karena itu orang tersebut mengundang Sang Buddha beserta seluruh bhikkhu yang berdiam di Vihara Jetavana untuk menerima dana makanan keesokan harinya.
Kemudian orang itu pergi ke rumah-rumah tetangganya, dan memberitahu bahwa dana makanan (pindapatta) akan dilakukan keesokan hari kepada Sang Buddha beserta para bhikkhu. Oleh karena itu, siapa yang akan turut berperan-serta tergantung kepada masing-masing orang.
Seorang kaya yang bernama Bilalapadaka melihat laki-laki tersebut pergi berkeliling dari rumah ke rumah. Ia tidak setuju atas kelakuannya itu dan juga merasa tidak senang. Ia menggerutu, “O, orang malang! Kenapa dia tidak mengundang beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri memberi dana, daripada pergi berkeliling membujuk orang lain?”
Lalu dia meminta laki-laki itu untuk membawa mangkoknya dan dia memasukkan ke dalam mangkok tersebut sedikit nasi, hanya sedikit mentega, sedikit air dan tebu. Barang tersebut dibawa secara terpisah dan tidak dicampur dengan yang diberikan orang-orang lain.
Orang kaya tersebut tidak mengerti kenapa barang-barangnya diperlakukan secara terpisah. Ia mengira laki-laki tersebut akan memberitahu orang lain bahwa orang kaya seperti dirinya memberi sumbangan hanya sedikit dan membuatnya malu. Oleh karena itu, orang kaya Bilalapadaka mengutus pelayannya untuk menyelidiki.
Penganjur berdana itu meletakkan makanan yang sedikit pemberian orang kaya tersebut ke dalam mangkuk-mangkuk nasi, kari, dan daging manis, agar orang kaya tersebut mendapat banyak pahala. Pelayan orang kaya melaporkan apa yang telah dilihatnya. Tetapi majikannya, Bilalapadaka, tidak mengerti artinya dan tidak yakin maksud penganjur tersebut. Walau demikian, keesokan harinya dia pergi ke tempat di mana dana makanan dilakukan. Pada saat yang sama, dia membawa sebilah pisau yang akan dipergunakan untuk membunuh penganjur, apabila penganjur berdana itu mengumumkan di depan umum betapa sedikit yang diberikan oleh orang kaya seperti dirinya.
Tetapi penganjur berdana ini berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, dana makanan ini merupakan gabungan dari semua, walaupun ada yang memberi banyak atau pun sedikit tidaklah dihitung. Tiap orang dari kami memberi dengan keyakinan dan kerendahan hati. Jadi semoga kami semua memperoleh pahala yang sama.”
Ketika mendengar kalimat tersebut, Bilalapadaka menyadari bahwa dia telah berpikiran keliru terhadap laki-laki itu. Ia merenungkan jika ia tidak mengakui kekeliruannya itu dan memohon penganjur berdana itu untuk memaafkannya, maka dia bisa terlahir di salah satu dari empat alam kehidupan rendah (apaya).
Lalu dia berkata, “Temanku, saya telah melakukan kesalahan besar terhadapmu dengan berpikir keliru tentang kamu, maafkanlah saya.”
Sang Buddha mendengar orang kaya tersebut meminta maaf, dan dari penyelidikannya Beliau mengetahui alasannya. Lalu Sang Buddha berkata, “Pengikutku, kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan baik walau sekecil apapun; perbuatan baik yang kecil akan menjadi besar, jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 122 berikut:
Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata:
“Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat.”
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes,
demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.
Kisah Bhikkhu Yang Ceroboh
Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula. Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut putih. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan menjawab dengan cepat dan tajam:
“Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil”, dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama.
Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:
“Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, waktu sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut:
Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata:
“Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat”.
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes,
demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.
“Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil”, dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama.
Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:
“Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, waktu sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut:
Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata:
“Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat”.
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes,
demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.
Kisah Anathapindika
Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha.
Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.
Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.
Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.”
Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.
Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang yang belum dikembalikan kepada Anathapindika, delapan belas crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang) Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.”
Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.
Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum. Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha
Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya, tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut:
Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.
Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.
Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.
Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.
Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.”
Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.
Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang yang belum dikembalikan kepada Anathapindika, delapan belas crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang) Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.”
Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.
Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum. Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha
Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya, tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut:
Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.
Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.
Kisah Lajadevadhita
Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti.
Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka Thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. “Laja” berarti jagung.
Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera, maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa baik kepada Thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat Thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi air dalam kolam mandi, dan melakukan jasa-jasa lainnya.
Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah dewi wanita. Kemudian thera memberi tahu dewi wanita tersebut untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.
Mendengar hal itu, Lajadevadhita sangat sedih, menangis dan memohon kepada Thera, “Tolong jangan hancurkan kekayaan dan harta benda saya.”
Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada dewi wanita tersebut, “Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 118 berikut:
Apabila seseorang berbuat bajik,
hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu,
sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.
Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka Thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. “Laja” berarti jagung.
Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera, maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa baik kepada Thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat Thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi air dalam kolam mandi, dan melakukan jasa-jasa lainnya.
Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah dewi wanita. Kemudian thera memberi tahu dewi wanita tersebut untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.
Mendengar hal itu, Lajadevadhita sangat sedih, menangis dan memohon kepada Thera, “Tolong jangan hancurkan kekayaan dan harta benda saya.”
Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada dewi wanita tersebut, “Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 118 berikut:
Apabila seseorang berbuat bajik,
hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu,
sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.
Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Kisah Seyyasaka Thera
Ketika itu ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan phala. Pada saat itu juga, Sang Buddha menetapkan peraturan larangan menikmati kesenangan seksual bagi para bhikkhu, peraturan sanghadisesa. Pelanggaran (apatti) peraturan itu menyebabkan hukuman dan diskors oleh Sangha. Kemudian Sang Buddha menambahkan, “Jenis pelanggaran ini dapat mengakibatkan hasil perbuatan jahat di dunia ini maupun di masa mendatang.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 117 berikut:
Apabila seseorang berbuat jahat,
hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu,
dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu,
sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 117 berikut:
Apabila seseorang berbuat jahat,
hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu,
dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu,
sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.
Kisah Culekasataka
Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari, maka si suami pergi pada malam hari.
Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.
Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga, brahmana berkata pada dirinya sendiri, “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha.”
Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, “Saya menang! Saya menang! Saya menang!”
Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada diantara para pendengar khotbah. mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan.
Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.
Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong lagi.
Jadi dia memberikan kepada sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan hadiahnya.
Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.
Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana.
Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di rumah brahmana.
Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.
Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada sang Buddha, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?”
Sang Buddha menjawab, “Jika Brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang.
Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut:
Bergegaslah berbuat kebajikan,
dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan;
barang siapa lamban berbuat bajik,
maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.
Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga, brahmana berkata pada dirinya sendiri, “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha.”
Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, “Saya menang! Saya menang! Saya menang!”
Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada diantara para pendengar khotbah. mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan.
Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.
Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong lagi.
Jadi dia memberikan kepada sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan hadiahnya.
Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.
Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana.
Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di rumah brahmana.
Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.
Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada sang Buddha, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?”
Sang Buddha menjawab, “Jika Brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang.
Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut:
Bergegaslah berbuat kebajikan,
dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan;
barang siapa lamban berbuat bajik,
maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
Langganan:
Postingan (Atom)