Suatu hari setelah menyalakan sebuah lampu, dia memusatkan pikirannya pada nyala lampu, dan bermeditasi dengan objek api, beliau segera mencapai pandangan terang dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.
Beberapa waktu kemudian, ia pindah ke “Hutan Gelap” (Andhavana) dan hidup dalam kesunyian. Ketika Uppalavanna sedang keluar untuk menerima dana makanan, Nanda, putra dari pamannya, datang mengunjungi vihara tempat ia tinggal dan memukul-mukulkan dirinya ke bawah tempat duduk Uppalavanna.
Nanda telah jatuh cinta kepada Uppalavanna sebelum ia menjadi seorang bhikkhuni; dan sangat ingin memilikinya dengan paksa. Ketika Uppalavanna datang, ia melihat Nanda dan berkata, “Kamu bodoh! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Jangan menganiaya dirimu sendiri.” Tetapi Nanda tidak mau berhenti. Setelah puas menyakiti dirinya, Nanda meninggalkan Uppalavanna
Segera setelah ia melangkahkan kakinya ke tanah, tanah itu langsung membelah dan ia masuk ke dalamnya, akibat dari perbuatannya mengganggu orang suci.
Mendengar hal itu Sang Buddha membabarkan syair 69 berikut ini:
Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak,
maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu;
tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak,
maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.
Beberapa orang mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Sang Buddha selanjutnya mengundang Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata kepada beliau tentang bahayanya seorang bhikkhuni tinggal di hutan menghadapi orang-orang tidak bertanggung jawab yang dibutakan oleh nafsu seksualnya. Sang Raja berjanji hanya akan membangun vihara-vihara untuk para bhikkhuni di kota-kota atau dekat dengan kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar