Kisah Pertanyaan Jivaka

Devadatta, pada suatu kesempatan, mencoba untuk membunuh Sang Buddha dengan mendorong batu besar dari puncak bukit Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar). Batu tersebut jatuh membentur sisi bukit dan sepotong serpihannya melukai ibu jari kaki Sang Buddha.

Kemudian Beliau dibawa ke Vihara Hutan Mangga milik Jivaka. Di sana Jivaka yang dikenal sebagai seorang tabib, mengobati ibu jari kaki sang Buddha dan membalutnya. Jivaka kemudian pergi ke kota untuk mengobati pasien lainnya, tetapi berjanji untuk kembali dan membuka balutan tersebut pada sore hari.

Karena kesibukannya, Jivaka pulang malam hari, tetapi pintu kota telah ditutup dan ia tidak dapat menemui Sang Buddha. Ia sangat bingung sebab apabila pembalut tidak dibuka pada waktunya, seluruh badan Sang Buddha akan demam dan Sang Buddha akan sangat menderita.

Pada saat yang sama, Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa Jivaka tidak dapat datang pada waktunya berkata kepada Ananda untuk membuka balutan dari ibu jarinya dan ternyata luka tersebut telah sembuh.

Jivaka datang pada fajar keesokkan harinya dan menanyakan kepada Sang Buddha apakah Beliau merasakan kesakitan pada malam sebelumnya. Sang Buddha menjawab, “Jivaka! Sejak saya mencapai Ke-Buddha-an, tidak terdapat kesakitan dan penderitaan lagi bagi-Ku.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 90 berikut ini:

Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya,
yang telah terbebas dari segala hal,
yang telah menghancurkan semua ikatan;
maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.

Kisah Kunjungan Lima Ratus Bhikkhu

Lima ratus bhikkhu yang menjalani masa vassa di Kosala, datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana pada akhir masa vassa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 87, 88 dan 89 berikut ini sesuai dengan berbagai perangai mereka:

Meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan tanpa rumah,
demikian hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap (kebodohan),
dan mengembangkan keadaan terang (kebijaksanaan).
Hendaknya ia mencari kebahagiaan pada ketidakmelekatan yang sulit didapat.

Dengan meninggalkan semua kesenangan indria dan kemelekatan,
demikian hendaknya orang bijaksana membersihkan dirinya dari noda-noda pikiran.

Mereka yang telah menyempurnakan pikirannya
dalam Tujuh Faktor Penerangan,
yang tanpa ikatan, yang bergembira dengan batin yang bebas,
yang telah bebas dari kekotoran batin, yang bersinar,
maka sesungguhnya mereka telah mencapai Nibbana dalam kehidupan sekarang ini juga.

Kisah Pendengar-Pendengar Dhamma

Pada suatu kesempatan, sekumpulan orang dari Savatthi membuat persembahan khusus kepada para bhikkhu secara bersama-sama, dan mereka meminta para bhikkhu memberikan khotbah Dhamma sepanjang malam di tempat mereka. Pada saat itu, banyak di antara para pendengar tidak dapat duduk sepanjang malam, dan mereka pulang lebih cepat; beberapa orang duduk dengan pemikiran yang mendalam sepanjang malam, tetapi kebanyakan dari mereka pada waktu itu mengantuk dan setengah tidur. Hanya sedikit orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah Dhamma itu.

Pagi hari para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha tentang apa yang terjadi pada malam hari sebelumnya, Beliau menjawab, “Kebanyakan orang terikat pada dunia ini, hanya sedikit orang yang dapat mencapai pantai seberang (nibbana)”.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 85 dan 86 berikut ini:

Di antara umat manusia hanya sedikit yang dapat mencapai pantai seberang,
sebagian besar hanya berjalan hilir mudik di tepi sebelah sini.

Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma yang telah diterangkan dengan baik,
akan mencapai Pantai Seberang,
menyeberangi alam kematian yang sangat sukar diseberangi.

Kisah Bhikkhu Dhammika

Dhammika tinggal di Savatthi bersama istrinya. Suatu hari, ia berkata kepada istrinya yang sedang hamil bahwa ia berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai kelahiran anak mereka. Ketika anak tersebut lahir, ia kembali meminta kepada istrinya untuk memperbolehkannya pergi. Sekali lagi istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai anak tersebut dapat berjalan.

Kemudian Dhammika berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak ada gunanya bagiku meminta persetujuan dari istriku untuk menjadi bhikkhu, saya harus berjuang untuk kebebasanku sendiri!

Setelah membuat keputusan teguh, ia meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha memberikan objek meditasi kepadanya, dan ia mempraktekkan meditasi dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang arahat.

Beberapa tahun setelah itu, beliau menengok rumahnya dengan maksud untuk mengajarkan Dhamma kepada istri dan anaknya. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian mencapai tingkat kesucian arahat. Sang istri kemudian berkata, “Sekarang suami dan anakku telah meninggalkan rumah, saya lebih baik pergi juga.

Dengan pikiran ini, ia juga meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni, dan akhirnya ia juga mencapai tingkat kesucian arahat.

Dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha diberitahukan bagaimana Dhammika menjadi seorang bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat, dan karena melalui Dhammika, anak dan istrinya juga menjadi arahat.

Kepada mereka Sang Buddha bersabda, “Para bhikkhu, orang bijaksana tidak menginginkan kekayaan dan kemakmuran yang diperoleh dengan cara tidak benar. Apakah hal itu dilakukan demi dirinya sendiri atau demi orang lain. Ia berjuang hanya untuk pembebasan dirinya dari roda tumimbal lahir (samsara) dengan cara memahami Dhamma dan hidup sesuai dengan Dhamma.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 84 berikut :

Seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain;
demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar.
Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.

Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Atas permintaan seorang brahmana dari Veranja, Sang Buddha pada suatu saat tinggal di Veranja bersama lima ratus orang bhikkhu. Ketika berada di Veranja sang brahmana lalai untuk memperhatikan kebutuhan hidup mereka. Penduduk Veranja yang kemudian menghadapi kelaparan, hanya dapat mempersembahkan sangat sedikit dana pada saat bhikkhu berpindapatta. Kendatipun mengalami penderitaan para bhikkhu tidak berputus asa. Mereka hanya cukup mendapatkan makanan berupa padi-padian yang dipersembahkan para penjual kuda setiap hari. Saat akhir masa vassa tiba, setelah memberitahu sang brahmana, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana beserta lima ratus bhikkhu. Masyarakat Savatthi menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam pilihan makanan.

Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu, memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu. Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun tidur, mereka bersiul, bernyanyi dan menari, mereka membuat suatu keributan.

Ketika Sang Buddha datang sore hari di tengah-tengah para bhikkhu, para bhikkhu melaporkan hal itu kepada beliau, perilaku orang-orang yang tidak dapat dikendalikan, dan berkata “Orang-orang ini hidup dengan sisa makanan, bersikap sopan, dan berperilaku baik ketika kita semua menghadapi penderitaan dan kelaparan di Veranja. Sekarang mereka cukup mendapat makanan yang baik, mereka bersiul, menyanyi, dan menari, serta membuat keributan di antara mereka sendiri. Berbeda dengan para bhikkhu. Para bhikkhu bagaimanapun keadaannya memiliki perilaku yang sama, baik di sini maupun di Veranja.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab “Itu merupakan sifat alamiah dari orang bodoh, penuh dengan duka cita dan merasa tertekan ketika mereka dalam kesulitan, tetapi penuh dengan suka cita dan merasa gembira ketika sesuatu berjalan lancar. Orang bijaksana bagaimanapun keadaannya dapat bertahan dalam gelombang kehidupan baik naik maupun turun.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 83 berikut ini:

Orang bajik membuang kemelekatan terhadap sesuatu,
orang suci tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nafsu keinginan.
Dalam menghadapi kebahagiaan atau kemalangan,
Orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa.

Kisah Kanamata

Kanamata adalah umat awam berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan seorang pemuda dari desa lain.

Suatu ketika Kana menjenguk ibunya untuk beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang ke rumah. Ibunya berkata kepadanya untuk menunggu beberapa hari sebab ia ingin membuatkan daging manis (dendeng) untuk suami Kana. Esoknya Kanamata membuat sejumlah dendeng, tetapi ketika empat bhikkhu berpindapatta di rumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Empat bhikkhu tersebut berkata kepada bhikkhu lainnya tentang persembahan dana makanan dari rumah Kanamata, mereka juga melakukan pindapatta di rumah Kanamata. Kanamata sebagai pengikut dan murid Sang Buddha mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu yang datang satu persatu. Pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk Kana dan ia tidak dapat pulang ke rumahnya pada hari itu.

Hal yang sama terjadi pada dua hari berikutnya, ibunya membuat sejumlah dendeng, para bhikkhu datang berpindapatta di rumahnya, ia mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu, sehingga tidak ada tersisa untuk dibawa pulang anaknya, dan anaknya tidak dapat pulang ke rumahnya.

Pada hari ketiga, suaminya mengirimkan pesan untuknya. Pesan yang merupakan suatu peringatan keras, jika ia tidak pulang ke rumah esok hari, maka suaminya akan menikah dengan wanita lain.

Tetapi pada esok harinya, Kana tetap tidak dapat pulang ke rumahnya, sebab ibunya mempersembahkan semua dendengnya untuk para bhikkhu. Peringatan keras tadi menjadi kenyataan, suami Kana menikah dengan wanita lain.

Kana menjadi tidak senang terhadap para bhikkhu. Ia beranggapan bahwa mereka yang menjadi gara-gara suaminya menikah lagi. Seringkali ia mencaci maki para bhikkhu, sehingga para bhikkhu akhirnya menjauh dari rumah Kanamata.

Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi ke rumah Kanamata. Di sana Kanamata mempersembahkan sejumlah bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha menemui Kana dan bertanya kepadanya, “Apakah para bhikkhu menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka?

Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang diberikan kepada mereka, dan menambahkan bahwa “Mereka tidak bersalah, saya yang salah.” Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi hormat kepada Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. setelah mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Pada perjalanan pulang ke vihara, Sang Buddha bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala. Beliau mengatakan perihal Kana dan sikapnya yang tidak baik terhadap para bhikkhu. Raja Pasenadi berkata kepada Sang Buddha agar dapat mengajarkan kebenaran (Dhamma) kepadanya. Sang Buddha menjawab “Ya, saya telah mengajarkan Dhamma kepadanya, dan saya juga telah membuat ia menjadi kaya dalam kehidupan mendatang.

Kemudian Raja Pasenadi berjanji kepada Sang Buddha untuk membuatnya kaya dalam kehidupan sekarang.

Raja mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput Kana dengan tandu. Ketika Kana tiba di istana, raja mengumumkan kepada para menterinya “Siapa yang dapat memberi kesenangan hidup kepada anakku Kana, silahkan merawatnya.” Salah seorang menteri dengan sukarela mengadopsi Kana sebagai anaknya, memberinya kekayaan dan berkata kepadanya, “Kamu boleh memberikan dana sebanyak yang kamu suka.” Setiap hari Kana memberikan persembahan dana kepada para bhikkhu di empat pintu kota.

Ketika berkata tentang Kana dan kemurahan hatinya dalam memberikan dana, Sang Buddha bersabda, “Para bhikkhu pikiran Kana sebelumnya diselimuti kabut dan lumpur, sekarang telah menjadi jernih dan tenang oleh kata-kata-Ku.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 82 berikut ini:

Bagaikan danau yang dalam,
airnya jernih dan tenang.
Demikian pula batin para orang bijaksana,
menjadi tentram karena mendengarkan Dhamma.

Kisah Lakundaka Bhaddiya Thera

Bhaddiya adalah seorang bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana. Karena tubuhnya pendek maka ia dikenal dengan sebutan Lakundaka (pendek) oleh para bhikkhu lainnya. Lakundaka Bhaddiya mempunyai sifat yang sangat baik; meskipun bhikkhu-bhikkhu muda mengganggunya dengan memutar hidungnya atau telinganya atau menepuk kepalanya.

Sangat sering mereka mengejek dengan mengatakan "Paman, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu bahagia, atau, apakah kamu bosan dengan kehidupan sebagai seorang bhikkhu di sini?" dan lain sebagainya.

Lakundaka Bhaddiya tidak pernah membalas dengan kemarahan atau mencaci mereka; bahkan dalam hati kecilnya pun ia tidak marah terhadap mereka.

Ketika berbicara mengenai kesabaran dari Lakundaka Bhaddiya, Sang Buddha bersabda, "Seorang arahat tidak pernah terlena pengendalian dirinya, ia tidak punya keinginan untuk berkata kasar atau berpikir menyakiti orang lain. Ia laksana batu karang yang tak tergoyahkan, seorang arahat tidak tergoyahkan karena celaan ataupun pujian".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 81 berikut:

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.

Kisah Samanera Pandita

Pandita adalah seorang putra orang kaya di Savatthi. Ia menjadi seorang samanera pada saat berusia tujuh tahun. Pada hari ke delapan setelah menjadi samanera, ia pergi mengikuti Sariputta Thera berpindapatta, ia melihat beberapa petani mengairi ladangnya dan bertanya kepada Y.A. Sariputta thera “Dapatkah air yang tanpa kesadaran dibimbing ke tempat yang seseorang kehendaki?

Sang Thera menjawab, “Ya, air dapat dibimbing kemanapun yang dikehendaki seseorang.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan, samanera melihat beberapa pembuat anak panah memanasi panah mereka dengan api dan meluruskannya. Selanjutnya ia melewati beberapa tukang kayu sedang memotong, menggergaji, dan menghaluskan kayu untuk dibuat roda kereta.

Kemudian ia merenung “Jika air yang tidak memiliki kesadaran dapat diarahkan kemanapun yang seseorang inginkan, jika bambu yang bengkok, yang tanpa kesadaran dapat diluruskan, dan jika kayu yang tanpa kesadaran dapat dibuat sesuatu yang berguna, mengapa saya tidak dapat menjinakkan pikiranku, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang?

Kemudian ia memohon izin kepada Y.A. Sariputta untuk kembali ke kamarnya di vihara. Di sana ia bersemangat dan rajin melatih meditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai objek perenungan. Sakka dan para dewa membantu pelaksanaan meditasinya dengan cara menjaga kesunyian suasana vihara dan sekitarnya. Sebelum waktu makan tiba, samanera Pandita mencapai tingkat kesucian anagami.

Waktu itu, Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk samanera. Sang Buddha melihat dengan kemampuan batin luar biasa-Nya bahwa Samanera Pandita telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan jika ia meneruskan melaksanakan meditasi, maka tidak lama lagi mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha memutuskan untuk mencegah Sariputta memasuki kamar samanera. Sang Buddha berdiri di muka pintu kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sariputta Thera. Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, samanera mencapai tingkat kesucian arahat. Jadi, samanera mencapai tingkat kesucian arahat pada hari ke delapan setelah ia menjadi samanera.

Berkenaan dengan hal itu, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu di vihara, “Ketika seseorang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Dhamma, Sakka dan para dewa akan melindunginya dan menjadi pelindung. Saya sendiri mencegah Sariputta masuk di muka pintu kamar, sehingga samanera Pandita tidak terganggu. Samanera setelah melihat petani mengairi ladangnya, pembuat anak panah meluruskan panah-panah mereka, dan tukang kayu membuat roda kereta, mengendalikan pikirannya dan melaksanakan Dhamma, ia sekarang telah menjadi seorang arahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 80 berikut ini:

Pembuat saluran air mengalirkan air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu melengkungkan kayu,
orang bijaksana mengendalikan dirinya.

Setiap Langkah Adalah Anugerah



Seorang professor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Di sana, ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, Ralph, penjemputnya di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju tempat pengambilan bagasi.

Ketika berjalan keluar, Ralph sering menghilang. Banyak hal dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka, kemudian mengangkat dua anak kecil agar mereka dapat melihat sinterklas.

Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Namun kemudian ia selalu kembali ke sisi sang professor dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

"Dari mana Anda belajar melakukan semua hal itu?" tanya sang professor.

"Melakukan apa?" tanya Ralph.

"Dari mana Anda belajar untuk hidup seperti itu?" desak sang professor.

"Oh", kata Ralph, "Selama perang... Saya kira, perang telah mengajari saya banyak hal."

Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau dan bagaimana ia harus menyaksikan satu per satu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.

"Saya belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah," katanya. "Saya tidak pernah tahu, apakah langkah berikutnya adalah pijakan terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki serta mensyukuri langkah sebelumnya."

"Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini. Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang bermakna bagi orang lain."



Nilai manusia tidak ditentukan dengan bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup. 
Kekayaan manusia bukan apa yang ia peroleh, melainkan apa yang telah ia berikan. 

Selamat menikmati setiap langkah hidup Anda dan bersyukurlah setiap saat. 

Banyak orang berpikir bagaimana mengubah dunia ini. 
Hanya sedikit yang memikirkan bagaimana mengubah dirinya sendiri ...

Kisah Perumpamaan Lobak, Telur, dan Kopi



Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan bertanya mengapa hidup ini terasa begitu sukar dan menyakitkan baginya. Dia tidak tahu bagaimana untuk menghadapinya dan hampir menyerah kalah dalam kehidupan. Setiap kali satu masalah selesai, timbul pula masalah baru.

Ayahnya yang bekerja sebagai tukang masak membawa anaknya itu ke dapur. Dia mengisi tiga buah periuk dengan air dan menjerangkannya diatas api. Setelah air didalam ketiga periuk tersebut mendidih, dia memasukkan lobak merah didalam periuk pertama, telur dalam periuk kedua dan serbuk kopi dalam periuk terakhir.

Dia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak tertanya-tanya dan menunggu dengan tidak sabar sambil memikirkan apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya. Setelah 20 menit, si ayah mematikan api.

Dia menyisihkan lobak dan menaruhnya dalam mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya dalam mangkuk yang lain dan menuangkan kopi di mangkuk lain.

Lalu dia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?"

"Lobak, telur dan kopi", jawab si anak.

Ayahnya meminta anaknya merasa lobak itu. Dia melakukannya dan merasa bahwa lobak itu sedap dimakan.

Ayahnya meminta mengambil telur itu dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, dia dapati sebiji telur rebus yang isinya sudah keras.

Terakhir, ayahnya meminta untuk merasa kopi. Dia tersenyum ketika meminum kopi dengan aromanya yang wangi.



Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, ayah?"

Ayahnya menerangkan bahwa ketiga bahan itu telah menghadapi kesulitan yang sama,
direbus dalam air dengan api yang panas tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Lobak sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, lobak menjadi lembut dan mudah dimakan.



Telur pula sebelumnya mudah pecah dengan isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.



Serbuk kopi pula mengalami perubahan yang unik. Setelah berada didalam rebusan air, serbuk kopi mengubah warna dan rasa air tersebut.



"Kamu termasuk golongan yang mana? 
Air panas yang mendidih itu umpama kesukaran dan dugaan yang bakal kamu lalui.
Ketika kesukaran dan kesulitan itu mendatangimu, bagaimana harus kau menghadapinya? 
Apakah kamu seperti lobak, telur atau kopi?" tanya ayahnya.

Bagaimana dengan kita?

Apakah kita adalah lobak yang kelihatan keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kita menyerah menjadi lembut dan kehilangan kekuatan.

Atau, apakah kita adalah telur yang pada awalnya memiliki hati lembut, dengan jiwa yang dinamis? Namun setelah adanya kematian, patah hati, perpisahan atau apa saja cabaran dalam kehidupan akhirnya kita menjadi menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kita menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Atau, apakah kita serbuk kopi? Yang berjaya mengubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasa yang maksimum pada suhu 100 derajat celcius.

Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi akan terasa semakin nikmat.
Jika kita seperti serbuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk atau memuncak, kita akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitar kita juga menjadi semakin baik.

Samalah halnya dengan serbuk kopi yang berjaya mengubah air panas yang membakarnya menjadikan ia lebih sedap dan enak untuk diminum.

Antara lobak, telur dan kopi, kita yang mana?

Bagian Terpenting Dalam Tubuh



Ibuku selalu bertanya padaku, apa bagian tubuh yang paling penting.

Bertahun-tahun, aku selalu menebak dengan jawaban yang aku anggap benar. Ketika aku muda, aku pikir suara adalah yang paling penting bagi kita sebagai manusia. Jadi aku menjawab, "Telinga, Bu.!"

Tapi ternyata itu bukan jawabannya.

"Bukan itu, Nak. Banyak orang yang tuli. Tapi teruslah memikirkannya dan Ibu akan menanyakannya lagi nanti."

Beberapa tahun kemudian, aku mencoba menjawab sebelum Ibu bertanya padaku lagi. Sejak jawaban pertama, kini aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Jadi, kali ini aku memberitahukannya, "Bu, penglihatan kita sangat penting bagi semua orang. Jadi pastilah mata kita."

Dia memandangku dan berkata, "Kamu belajar dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak orang yang buta."

Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari tahun ke tahun Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, "Bukan. Tapi kamu makin pandai dari tahun ke tahun, Anakku."

Akhirnya tahun lalu kakekku meninggal. Semua keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan ayahku menangis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakek.

Dia bertanya padaku, "Apakah kamu sudah tahu apa bagian tubuh yang paling penting, sayang?"

Aku terkejut ketika Ibu bertanya pada saat seperti ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara Ibu dan aku.

Ibu melihat kebingungan di wajahku dan memberitahuku, "Pertanyaan ini penting. Ini akan menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-benar ‘hidup'. Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu kepada Ibu dulu, Ibu selalu berkata kamu salah dan Ibu telah memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari dimana kamu harus mendapat pelajaran yang sangat penting."

Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku melihat matanya penuh dengan air mata. Dia berkata, "Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu."

Aku bertanya, "Apakah karena fungsinya untuk menahan kepala?"

Ibu membalas, "Bukan, tapi karena bahu dapat menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangi ketika mereka menangis. Kadang-kadang dalam hidup ini, semua orang perlu bahu untuk menangis. Ibu cuma berharap, kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu selalu punya bahu untuk menangis kapanpun kamu membutuhkannya."



Akhirnya aku tahu, bagian tubuh yang paling penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, tapi memiliki simpati terhadap penderitaan yang dialami oleh orang lain. 

Orang akan melupakan apa yang kamu katakan. 
Orang akan melupakan apa yang kamu lakukan. 
Tapi, orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana kamu membuat mereka berarti.

"Happy Anniversay Sayang, Aku Hanya Cinta Padamu"



Cewe: "sayang, ayo kita ketemu. Aku kangenn kamu"

Cowo: "baiklah, aku akan membereskan 1 game ini ya?"

Cewe: "kamu lebih memilih permainanmu dibanding aku?" (sambil mencoba menahan kekecewaannya)

Cowo: "jgn kawatir, aku akan segera kesana, ok?"

Cewe: "okay, aku akan menunggumu."

Jam demi jam berlalu, teman lelakinya datang lebih banyak dan mereka terlalu menikmati permainannya sampai akhirnya dia lupa waktu.

Cowo itu melihat HP nya dan ada 4 pesan dan 10 missed calls.

Dia mematikan HP nya seolah2 baterainya habis.

Jam 1 pagi :

Cowo itu pulang ke rumah dan melihat adiknya, panik di luar rumah mencari kakaknya.

Adik: "tadi ada seseorang menelpon, tas pacar kakak dijambret dan dia berusaha melawan sehingga akhirnya para perampok menembaknya, dia pun meninggal seketika!"

Cowo: "jangan main2 denganku! Berhenti bercanda."

Cowo itu menyalakan kembali HPnya dan melihat sms yang dikirim yang dikirim pacarnya.

Jam 11 malam :
"sayang, kamu dimana?"

Jam 11: 30 malam :
"sayang, kenapa HPmu mati?"

Jam 11: 45 malam :
"sayang, ada sekumpulan pria mengikuti aku. Aku takut kamu dimana? :("

Jam 12 malam :

"Happy Anniversary Sayang, aku hanya cinta padamu. 
Aku hanya mau mengucapkannya secara langsung, tetapi sepertinya aku tidak akan bertemu kamu malam ini. 
Selamat malam sayang, aku harap kamu tidak mabuk ketika kamu sampai di rumah. 
I LOVE YOU, and EVERYDAY I LOVE YOU :) :) ♥"

___________________________________________

Pesan Moral :


Guys, kita tidak akan tahu kapan kita akan kehilangan orang yang kita cintai.
Suatu hari nanti, ketika dia telah pergi, barulah kita akan sadar akan semua yang telah kita lakukan padanya.
Tunjukkan pada mereka setiap hari seberapa besar kita mencintai mereka karena kita tidak akan tahu kapan kta sudah tidak bisa mengucapkannya lagi

_____________________________________________________________


NB : for my lovely girl, Yessica Stephanie :

Me, maaf sebelum nya yaa kalo memang cerita yang koko cantumkan di atas aga kurang nyambung n berupa cerita sedih yang benernya ga pantas dibaca di hari bahagia ini .. tapi koko minta tolong meme ambil pesan moral nya aja yaa , supaya kita bisa lebih menghargai waktu ^^


Mumpung ada kesempatan dan kesempatan itu tidak selalu ada , Koko cuma mau bilang kalau :

Koko loves you so much meme .. n you know, maybe I can't live without you :P ..
Koko selalu mengharapkan kebahagiaan dan kesehatan meme .. 
Koko tidak ingin sedikitpun kesedihan dan sakit mendekatimu me ..
You're my angel, my love, my everything for me ..
Always wish all the positive and the best for u .. my lovely girl ~

Happy 2nd month anniversary yaa meme sayang (pf : 13-12-11) .. Koko hanya cinta padamu me ..

with love .. from your boy ..