Kisah Sirima

Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain betapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu.

Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipun belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikku yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu.

Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, “Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!

Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat terhadapnya.

Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivaka, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenasah Sirima kekuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan burung hering.

Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari ke 4 jenasah Sirima yang cantik sudah tidak lagi cantik dan menarik. Jenasah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari 6 lubang.

Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi ke kuburan untuk melihat jenasah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenasah Sirima.

Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia. Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenasah Sirima, maka iapun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenasah Sirima.

Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yang menginginkan tubuh Sirima 1 malam boleh membayar 1000 tail, akan tetapi tak seorangpun yang bersedia mengambilnya dengan membayar 1000 tail, atau 500, atau 250, ataupun cuma-cuma.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar 1000 tail untuk menghabiskan 1 malam bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin mengambil tubuhnya walaupun dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subyek dari kelapukan dan kehancuran.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 147 berikut :

Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka,
terdiri dari rangkaian tulang, berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan.
Ia tidak kekal serta tidak tetap keadaannya.

Bhikkhu muda itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Teman-Teman Visakha

Terdapat 500 orang pria dari Savatthi, mereka mengharapkan istri-istrinya menjadi orang yang murah hati, baik hati dan bersusila seperti Visakha. Kelima-ratus pria tersebut mengirim para istrinya kepada Visakha agar menjadi teman dekat Visakha. Pada pesta Bacchanalian yang berlangsung selama 7 hari, istri-istri tersebut mengambil semua minuman keras yang ditinggalkan suami mereka dan kemudian meminumnya tanpa diketahui oleh Visakha. Karena perbuatan yang tidak baik itu, mereka dipukuli oleh suami mereka. Pada kejadian lainnya, dikatakan bahwa mereka hendak mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka memohon agar Visakha membawa mereka kepada Sang Buddha, tetapi secara diam-diam mereka masing-masing membawa sebotol kecil minuman keras yang disembunyikan dalam bajunya.

Pada saat tiba di vihara, mereka meminum semua minuman keras yang mereka bawa dan membuang botol-botol tersebut. Visakha memohon kepada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma kepada mereka. Pada saat itu, para wanita menjadi mabuk, bernyanyi dan menari, Mara mengambil kesempatan membuat mereka semakin berani dan tidak tahu malu untuk bernyanyi, menari, bertepuk tangan, melompat-lompat di dalam vihara. Sang Buddha melihat Mara yang membuat tingkah laku yang memalukan wanita-wanita tersebut. Sang Buddha berkata pada diri sendiri, “Mara tidak boleh diberi kesempatan”.

Oleh karena itu, tubuh Sang Buddha memancarkan sinar biru gelap yang menyebabkan wanita-wanita tersebut ketakutan dan mulai sadar. Kemudian Sang Buddha menghilang dari tempat duduknya dan berdiri di atas Gunung Meru, dari tempat itu Beliau memancarkan sinar putih yang menerangi langit bagaikan diterangi seribu bulan. Setelah itu Sang Buddha berkata kepada kelima ratus wanita tersebut, “Sebagai wanita kalian tidak seharusnya datang ke vihara dalam keadaan batin tidak sadar. Karena kalian telah lalai, Mara mendapat kesempatan membuat kalian berkelakuan yang memalukan, tertawa, menyanyi keras-keras dalam vihara. Sekarang berusahalah untuk memadamkan api hawa nafsu yang terdapat dalam diri kalian.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 146 berikut :

Mengapa tertawa, mengapa bergembira kalau dunia ini selalu terbakar?
Dalam kegelapan, tidakkan engkau ingin mencari terang?

Lima ratus wanita itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Samanera Sukha

Sukha menjadi samanera pada usia 7 tahun dan ditahbiskan oleh Sariputta Thera. Setelah 8 hari menjadi samanera, ia bersama Sariputta Thera pergi berpindapatta. Ketika sedang berjalan berkeliling, mereka melihat para petani sedang mengairi sawahnya, para pemanah sedang meluruskan anak panah, dan beberapa tukang kayu sedang membuat roda pedati, dan sebagainya.

Setelah melihat semua ini, ia bertanya kepada Sariputta Thera, apakah hal-hal (barang-barang) itu dapat diarahkan ke sesuatu tujuan tertentu sesuai dengan keinginan seseorang, atau dapat dibuat menjadi sesuatu sesuai dengan keinginan seseorang.

Sang Thera menjawab memang demikian. Kemudian Samanera muda memahami bahwa dengan demikian tidak ada alasan mengapa seseorang tidak dapat mengendalikan batinnya, serta melatih “Meditasi Ketenangan” dan “Meditasi Pandangan Terang”.

Kemudian, ia meminta izin kepada Sariputta Thera untuk pulang kembali ke vihara. Di sana ia masuk ke dalam kamarnya dan berlatih meditasi dalam ketenangan.

Dewa Sakka dan para dewa membantu latihan meditasinya dengan cara menjaga suasana vihara agar tetap tenang.

Pada hari kedelapan setelah ia menjadi samanera, Sukha mencapai tingkat kesucian arahat.

Berhubungan dengan hal ini, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Ketika seseorang melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, maka Sakka dan para dewa akan menolong dan melindunginya. Saya sendiri telah meminta Sariputta Thera berjaga di depan pintu kamarnya, sehingga ia tidak terganggu. Samanera telah melihat para petani bekerja dengan giat mengairi sawahnya, para pemanah meluruskan anak panahnya, tukang kayu membuat roda pedati, dan lain-lain, kemudian ia berusaha melatih batinnya dan melaksanakan Dhamma. Ia telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 145 berikut ini:

Pembuat saluran air mengatur jalannya air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu melengkungkan kayu,
orang bajik mengendalikan dirinya sendiri.

Kisah Pilotikatissa Thera

Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi seorang samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi seorang bhikkhu ia dikenal dengan nama Pilotikatissa.

Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak kekurangan makanan dan pakaian. Namun pada suatu saat ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu dan berkeinginan kembali hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaannya timbul, ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.

Ketika sampai di sana, timbul pertanyaan dalam hatinya, “Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk? Apakah engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?” Kemudian ia memarahi diri sendiri. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.

Dua atau tiga hari setelah kejadian tersebut, perasaan itu timbul kembali. Ia kemudian pergi ke pohon itu kembali dan bertanya pada dirinya sendiri perihal pertanyaan yang sama. Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa kali.

Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberitahu mereka bahwa ia pergi menemui gurunya (dianggap sebagai “guru”, karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang benar).

Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai objek meditasi, ia menyadari hakikat dari corak kenyataan kelompok kehidupan/khanda (sebagai tidak kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku/anatta), yang mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi pergi ke pohon “guru”.

Melihat hal itu, bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada Pilotikatissa: “Mengapa engkau tidak pergi menemui gurumu lagi?

Kepada mereka ia menjawab: “Saat saya membutuhkan, saya akan pergi kepadanya, tapi saat ini saya sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya.

Saat mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu membawa Pilotikatissa menghadap Sang Buddha. Saat mereka tiba, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat, ia pasti telah berbohong.

Akan tetapi Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, Pilotikatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya saat lalu, namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya. Pilotikatissa Thera telah memiliki pengertian membedakan penyebab yang benar dan yang salah serta menyadari corak kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tidak memiliki hubungan lagi dengan gurunya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 143 dan 144 berikut ini:

Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat,
yang senantiasa waspada,
bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.

Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik,
walaupun sekali saja merasakan cambukan,
segera menjadi bersemangat dan berlari cepat,
demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar,
dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran,
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.

Kisah Menteri Santati

Suatu ketika Menteri Santati berhasil kembali dari penumpasan pemberontak di perbatasan. Raja Pasenadi begitu bangga terhadapnya, memberi kekayaan dan kegemilangan kepada menterinya serta mengadakan pesta selama 7 hari dengan para gadis penari. Selama tujuh hari menteri itu bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan bergembira dengan gadis-gadis penari muda belia.

Pada hari ketujuh, dengan menunggang gajah kerajaan, dia pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta.

Santati menganggukkan badannya sebagai tanda menberi hormat kepada Sang Buddha.

Sang Buddha tersenyum, dan Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Lalu Sang Buddha berkata, “Ananda, menteri ini akan menemuiku hari ini, dan setelah aku memberikan sedikit pelajaran, dia akan mencapai tingkat kesucian arahat dan kemudian dia akan meninggal dunia (parinibbana).

Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari di tepi sungai, mandi, makan minum dan menyenangkan hati mereka. Pada sore hari pestanya berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari.

Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri, selama seminggu gadis penari melakukan diet makan agar tampak menarik. Akan tetapi pada saat menari, dia terserang kejang-kejang dan pingsan. Akhirnya dia meninggal dunia dengan mata dan mulut yang terbuka. Menteri itu tertekan batinnya dan kecewa berat.

Pada saat itu ia memerlukan perlindungan dan teringat kepada Sang Buddha. Dia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikut-pengikutnya, dan menceritakan penderitaan yang mereka alami setelah terjadi kematian gadis penarinya.

Dia berkata, “Bhante, tolong hilangkan penderitaanku, jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku.

Kepadanya Sang Budha berkata, “Istirahatlah anakku, engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan pada saat penari itu meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada air yang terdapat dalam samudera.

Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini:

Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan (upadana) yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu. Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan, keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan engkau akan merealisasi “Kebebasan Mutlak” (nibbana).

Setelah mendengar syair itu, menteri mencapai tingkat kesucian arahat.

Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan berakhir, Santati berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, sekarang izinkanlah saya merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana), karena saatnya telah tiba.

Sang Buddha merestuinya, kemudian Santati terbang setinggi tujuh pohon palm di angkasa dan di sana Santati bermeditasi dengan objek perwujudan api (tejo kasina), akhirnya beliau merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana). Tubuhnya berkobar, darahnya dan daging menguap terbakar, dan tulangnya menjadi relik (dhatu) beterbangan di angkasa dan terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha.

Pada saat pertemuan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante, Menteri Santati telah merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana) dengan berpakaian penuh tanda-tanda kebesaran, apakah dia seorang samana atau brahmana?

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, anakku dapat disebut, baik seorang samana atau pun seorang brahmana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 142 berikut:

Walau digoda dengan cara bagaimanapun,
tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain,
sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.

Kisah Bhikkhu Bahubhandika

Seorang pria yang kaya di Savatthi setelah kematian istrinya mengambil keputusan untuk menjadi seorang bhikkhu. Sebelum dia menjadi bhikkhu, dia mendirikan sebuah vihara, termasuk dapur dan ruang penyimpanan. Dia juga membawa perabotan, beras, minyak, mentega, dan berbagai kebutuhan sehari-harinya. Apa pun yang dia kehendaki, pelayan-pelayan akan memenuhinya. Jadi meskipun dia hidup sebagai bhikkhu, dia hidup dengan berlebihan dan memiliki berbagai macam harta sehingga beliau dikenal dengan nama “Bahubhandika”.

Suatu hari bhikkhu-bhikkhu lain membawanya menghadap Sang Buddha dan kemudian menceritakan kehidupan Bhikkhu Bahubhandikka yang penuh dengan kemewahan sebagai mana layaknya kehidupan orang kaya.

Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, “Anakku, Aku mengajarkan tentang kehidupan yang sederhana, mengapa engkau membawa begitu banyak harta milikmu?

Ketika mendapat teguran ini dia marah dan berkata, “Bhante, aku akan hidup sebagai mana kehendak-Mu.” Kemudian dia melepas dan membuang jubah atasnya.

Melihat hal tersebut, Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, “Anakku, pada kehidupan yang lampau engkau adalah raksasa, meskipun sebagai raksasa tetapi engkau memiliki rasa takut dan malu berbuat jahat. Akan tetapi sekarang engkau menjadi bhikkhu dalam ajaran-Ku, mengapa engkau membuang semua rasa malu dan takut berbuat jahat itu?

Mendengar kata-kata itu, dia menjadi sadar akan kesalahannya. Rasa malu dan takutnya muncul kembali. Ia memberi hormat kepada Sang Buddha serta meminta maaf,

Kemudian Sang Buddha berkata, “Berdiri di situ tanpa jubah atas adalah tidak pantas, membuang jubah tidak membuat engkau menjadi bhikkhu yang sederhana, seorang bhikkhu juga harus menghilangkan keragu-raguannya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 141 berikut:

Bukan dengan cara telanjang, rambut dijalin, badan kotor berlumpur, berpuasa, berbaring di tanah, melumuri tubuh dengan debu, ataupun berjongkok di atas tumit,
seseorang yang belum bebas dari keragu-raguan dapat mensucikan diri.

Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Maha Moggalana Thera

Suatu saat petapa Nigantaha merencanakan untuk membunuh Maha Moggallana Thera dengan tujuan akan menghilangkan kemashuran dan keberuntungan Sang Buddha. Mereka menyewa para perampok untuk membunuh Maha Moggallana yang kala itu berdiam di Kalasila dekat Rajagaha.

Perampok itu mengepung vihara tempat Maha Moggallana Thera berdiam, tetapi Maha Moggallana dengan kemampuan batin luar biasanya dapat menghilang, sehingga mereka tidak dapat menangkap Maha Moggallana dalam waktu dua bulan.

Ketika para perampok kembali mengepung vihara pada bulan ketiga, Maha Moggallana Thera mengetahui bahwa ia harus menerima akibat perbuatan (kamma) jahat yang dilakukannya pada salah satu kehidupan lampaunya, maka beliau tidak menggunakan kelebihan batinnya, sehingga para perampok berhasil menangkap dan menganiayanya dengan kejam. Setelah itu tubuhnya dibuang ke semak-semak, karena dianggap telah menjadi mayat.

Dengan kekuatan batin/jhananya, Maha Moggallana dapat bangkit kembali dan pergi menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Tetapi Maha Moggallana juga menyadari akibat dari penganiayaan yang dideritanya, beliau tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Maka beliau memberitahu Sang Buddha bahwa beliau akan segera meninggal dunia (parinibbana) di Kalasila.

Sang Buddha kemudian menganjurkan agar beliau membabarkan Dhamma terlebih dahulu sebelum parinibbana. Maha Moggallana membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, setelah itu bersujud (namaskara) kepada Sang Buddha sebanyak tujuh kali.

Berita wafatnya Maha Moggallana Thera di tangan para perampok menyebar bagaikan kobaran api. Raja Ajatasattu menyuruh orang-orangnya agar menyelidiki hal ini, mereka berhasil menangkap para perampok dan menghukum mati dengan cara membakarnya.

Para bhikkhu mendengar wafatnya Maha Moggallana Thera sangat sedih dan tidak mengerti mengapa orang seperti beliau meninggal dunia di tangan para perampok.

Kepada mereka Sang Buddha kemudian mengatakan, “Para bhikkhu pada kehidupan saat ini beliau hidup dengan kemuliaan sehingga beliau tidak akan mengalami kematian lagi. Akan tetapi pada kehidupan yang lampau ia telah melakukan kejahatan besar terhadap kedua orang tuanya yang buta kedua-duanya. Pada awalnya beliau adalah seorang anak berbakti, tetapi setelah ia menikah, istrinya membuat permasalahan, istrinya mendorong agar ia berpisah dengan orang tuanya. Kemudian ia membawa kedua orang tuanya yang buta pergi ke hutan dengan pedati, di sana kedua orang tuanya dibunuh dengan cara dipukul. Sebelumnya, dengan tipu muslihat ia meyakinkan kedua orang tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh penjahat. Untuk perbuatan jahat yang dilakukannya ini, ia telah menderita di alam neraka untuk waktu lama, dan pada kehidupan saat ini beliau harus mengalami kematian di tangan perampok. Tentunya dengan melakukan perbuatan jahat terhadap mereka yang tidak jahat, seseorang pasti akan menderita karenanya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 137, 138, 139, dan 140 berikut ini:

Seseorang yang menghukum mereka yang tidak patut dihukum dan tidak bersalah, akan segera memperoleh salah satu di antara sepuluh keadaan berikut:

Ia akan mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka berat, sakit berat, atau bahkan hilang ingatan.

Atau ditindak oleh raja,
atau mendapat tuduhan yang berat,
atau kehilangan sanak saudara,
atau harta kekayaannya habis.

Atau rumahnya musnah terbakar,
dan setelah tubuhnya hancur,
orang bodoh ini akan terlahir kembali di alam neraka.

Kisah Peta Ular

Suatu ketika, Maha Moggallana Thera pergi ke bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, Moggallana Thera melihat makhluk halus setan berwujud ular dan ia tersenyum, tetapi tidak mengatakan apapun. Ketika mereka kembali ke Vihara Jetavana, Maha Moggallana Thera bercerita kepada Lakkhana Thera di hadapan Sang Buddha perihal makhluk halus yang memiliki tubuh panjang dan dikelilingi oleh api tersebut.

Sang Buddha kemudian mengatakan, setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna, Beliau juga telah bertemu dengan bermacam peta, tetapi Beliau tidak memberitahukan keberadaan makhluk halus itu kepada penduduk karena mungkin tidak mempercayainya, dan mereka bisa beranggapan keliru terhadap Sang Buddha.

Demi kasih sayangnya terhadap semua makhluk hidup, maka Sang Buddha berdiam diri. Kemudian Beliau melanjutkan, “Sekarang aku telah mempunyai saksi yaitu Moggallana, saya akan menceritakan tentang peta ular ini.

Pada masa hidup Buddha Kassapa, peta itu terlahir menjadi seorang pencuri yang sangat kejam, dia membakar rumah orang kaya sebanyak tujuh kali. Tidak puas terhadap hal itu, dia juga membakar kuti harum Buddha Kassapa yang dibangun oleh orang kaya tersebut pada saat Buddha Kassapa sedang pergi berpindapatta. Sebagai akibat perbuatan jahatnya, dia mengalami penderitaan dalam waktu lama di alam neraka (niraya). Sekarang dia terlahir sebagai peta yang memiliki badan yang terbakar oleh kobaran api ke atas dan ke bawah sepanjang badannya. Para bhikkhu, orang bodoh bila melakukan kejahatan tidak mengerti bahwa perbuatan itu adalah perbuatan jahat; tetapi mereka tetap tidak akan dapat terlepas dari akibat kejahatannya itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 136 berikut:

Apabila orang bodoh melakukan kejahatan,
ia tak mengerti akan akibat perbuatannya.
Orang bodoh akan tersiksa oleh perbuatannya sendiri, seperti orang yang terbakar oleh api.

Kisah Para Wanita yang Melaksanakan Peraturan Moral

Suatu ketika lima ratus wanita dari Savatthi berkunjung ke Vihara Pubbarama untuk melaksanakan tekad peraturan moral uposatha. Pendiri vihara itu adalah seorang wanita terkenal, Visakha, bertanya kepada kelompok-kelompok wanita itu mengapa mereka datang untuk melaksanakan kewajiban hari uposatha.

Visakha memperoleh jawab berbeda-beda dari kelompok-kelompok wanita yang berbeda jenjang usianya, karena mereka datang dengan alasan yang bermacam-macam.

Kelompok wanita yang jenjang usianya sudah tua melaksanakan kewajiban hari uposatha karena berharap memperoleh keuntungan/rejeki dan kebahagiaan surgawi lahir kembali sebagai dewa setelah meninggal dunia.

Kelompok wanita yang berjenjang usia setengah baya berharap tidak tinggal bersama dalam satu rumah dengan istri lain dari sang suami tercinta.

Kelompok wanita yang baru menikah berharap mendapatkan anak pertama laki-laki, dan kelompok wanita yang belum menikah berharap bisa menikah dengan suami yang baik.

Mendapat jawab seperti itu, Visakha membawa para wanita tersebut menghadap Sang Buddha. Ketika Visakha memberitahukan kepada Sang Buddha tentang jawaban yang bermacam-macam dari kelompok-kelompok wanita itu, Sang Buddha berkata, “Visakha! Kelahiran, ketuaan, dan kematian selalu terjadi pada setiap makhluk hidup, karena setiap makhluk yang dilahirkan, ia akan menjadi subjek dari ketuaan, dan kelapukan, dan akhirnya kematian. Saat ini para wanita itu belum mengharapkan kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir (samsara), mereka masih menyukai dan terikat dengan lingkaran tumimbal lahir (samsara).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 135 berikut:

Bagaikan seorang penggembala menghalau sapinya dengan tongkat ke padang rumput,
begitu juga umur tua dan kematian menghalau kehidupan setiap makhluk.

Kisah Kondadhana Thera

Sejak Kondadhana Thera diterima dalam pasamuan Sangha, ada bayangan wanita yang selalu mengikuti beliau. Bayangan ini hanya dapat dilihat oleh orang lain, sedangkan Kondadhana Thera sendiri tidak melihatnya.

Ketika beliau berpindapatta, orang-orang memberikan dua sendok makanan kepada beliau, dengan mengatakan, “Ini untuk Bhante, dan yang ini untuk wanita yang mengikuti Bhante.

Melihat seorang bhikkhu bepergian dengan seorang wanita, para penduduk menghadap kepada Raja Pasenadi dari Kosala dan melaporkan perihal bhikkhu dengan wanita tersebut, “O, Raja, usir saja bhikkhu itu dari kerajaanmu karena beliau tidak memiliki moral.

Raja segera pergi ke vihara tempat bhikkhu itu berdiam dan para pengawalnya mengepung vihara tersebut.

Mendengar suara ribut, bhikkhu itu keluar dan berdiri di depan pintu, dan bayangan wanita itu berada tidak jauh dari bhikkhu tersebut. Mengetahui raja yang datang, bhikkhu tersebut masuk dan menunggu di dalam. Raja masuk ke dalam ruangan, dan bayangan wanita itu tidak terdapat dalam tempat itu.

Kemudian Raja bertanya kepada bhikkhu itu, di mana wanita tersebut berada, bhikkhu itu menjawab bahwa ia tidak melihat wanita.

Raja menginginkan kepastian, ia menyuruh bhikkhu tersebut keluar ruangan. Kemudian bhikkhu tersebut keluar ruangan, dan ketika raja melihat keluar tertampak bayangan wanita di dekat bhikkhu itu.

Akan tetapi ketika bhikkhu memasuki ruangan kembali, bayangan tersebut tidak diketemukan. Raja kemudian mengatakan bahwa wanita itu tidak benar-benar ada, dan bhikkhu tersebut tidak bersalah. Raja mengundang bhikkhu itu untuk datang ke istana, dan menerima dana makanan setiap hari.

Ketika bhikkhu lain mendengar hal itu, mereka ragu-ragu dan bingung, dan mereka berkata kepada Kondadhana Thera: “O, bhikkhu yang tidak bermoral! Sekarang raja akan menyuruhmu keluar dari kerajaan ini setelah engkau menerima dana makanan, karena engkau bersalah!

Kondadhana Thera berkata dengan pedas: “Hanya engkau satu-satunya yang tidak bermoral, hanya kamu yang bersalah, sebab hanya engkau yang bepergian dengan wanita!

Para bhikkhu kemudian menceritakan masalah ini kepada Sang Buddha.

Sang Buddha mengundang Kondadhana Thera dan bertanya, “Anakku, apakah engkau melihat wanita bersama dengan para bhikkhu ketika engkau berbicara dengan mereka? Apakah engkau melihat wanita bersama mereka seperti mereka melihat engkau bersama wanita. Saya mengetahui bahwa engkau tidak menyadari telah menciptakan masalah sebagai akibat perbuatan jahatmu dalam kehidupan yang lampau. Sekarang dengarlah, Saya akan menjelaskan kepadamu mengapa ada bayangan wanita yang mengikuti dirimu. Engkau adalah dewa dalam kehidupan lampaumu. Pada waktu itu ada dua orang bhikkhu yang sangat akrab. Engkau berusaha membuat masalah di antara mereka berdua, engkau menyamar sebagai seorang wanita yang mengikuti salah seorang bhikkhu itu. Atas perbuatanmu itu, engkau sekarang diikuti oleh bayangan wanita. Jadi, selanjutnya engkau jangan berdebat dengan bhikkhu lain atas permasalahan itu. Diamlah seperti gong yang pecah, dan engkau akan merealisasi nibbana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 133 dan 134 berikut ini:

Jangan berbicara kasar kepada siapapun,
karena mereka yang mendapat perlakuan demikian,
akan membalas dengan cara yang sama.
Sungguh menyakitkan ucapan kasar itu, yang pada gilirannya akan melukaimu.

Apabila engkau berdiam diri bagaikan sebuah gong pecah,
berarti engkau telah mencapai nibbana,
sebab keinginan membalas dendam tak terdapat lagi dalam dirimu.

Kisah Para Pemuda

Suatu waktu, Sang Buddha sedang menerima dana makanan di Savatthi. Ketika itu Beliau berjalan melewati sekelompok pemuda yang sedang memukul ular dengan tongkat. Sang Buddha bertanya kepada mereka perihal itu, dan mereka menjawab, mereka memukul ular itu karena takut ular itu menggigitnya. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Jika kalian tidak ingin luka, seharusnya kalian tidak melukai yang lain, jika kalian melukai mereka, kalian tidak akan mendapat kebahagiaan. Juga di kelak kemudian hari.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 131 dan 132 berikut ini:

Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan,
maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan.

Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan jalan tidak menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan,
maka setelah mati ia akan memperoleh kebahagiaan.

Kisah Kelompok Enam Bhikkhu

Beberapa saat setelah kejadian pertama di atas, kedua kelompok bhikkhu yang sama sedang berada pada suatu tempat. Setelah larangan untuk memukul sesama bhikkhu ditetapkan, kelompok enam bhikkhu melakukan ancaman terhadap kelompok tujuh belas bhikkhu dengan cara mengangkat tangan mereka. Kelompok tujuh belas bhikkhu yang lebih junior daripada kelompok enam bhikkhu lari ketakutan.

Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau menetapkan peraturan bahwa para bhikkhu dilarang mengangkat tangannya untuk mengancam.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 130 berikut:

Semua orang takut akan hukuman;
semua orang mencintai kehidupan.
Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri,
hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.

Kisah Kelompok Enam Bhikkhu

Suatu ketika terdapat tujuh belas bhikkhu sedang membersihkan suatu bangunan komplek Vihara Jetavana dengan tujuan agar dapat menempatinya. Pada saat yang bersamaan tiba di tempat itu pula kelompok enam bhikkhu. Kelompok enam bhikkhu mengatakan kepada kelompok pertama, “Kami adalah senior kalian, jadi sebaiknya kalian memberi kemudahan kepada kami, tempat ini akan kami pergunakan.

Kelompok tujuh belas bhikkhu tidak mau memberikan tempat tersebut, sehingga chabbaggi bhikkhu memukuli mereka dan membuat mereka berteriak-teriak kesakitan.

Sang Buddha mendengar perihal itu, kemudian Beliau memberi teguran kepada mereka, dan menetapkan peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh memukul bhikkhu lain.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 129 berikut:

Semua orang takut akan hukuman;
semua orang takut akan kematian.
Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri,
hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.

Kisah Raja Suppabuddha

Raja Suppabuddha adalah ayah dari Devadatta dan ayah mertua dari Pangeran Siddhatta, yang kemudian menjadi Buddha Gotama.

Raja Suppabuddha sangat membenci Sang Buddha karena dua alasan. Pertama, karena Pangeran Siddhattha telah meninggalkan istrinya, Yasodhara, putri Raja Suppabuddha, untuk melepaskan keduniawian.

Dan kedua, karena putranya, Devadatta, yang telah diterima dalam pasamuan Sangha oleh Sang Buddha, menganggap Sang Buddha sebagai musuh utamanya.

Suatu hari ia mengetahui bahwa Sang Buddha akan datang untuk berpindapatta. Raja Suppabuddha minum-minuman yang memabukkan, sehingga dirinya mabuk dan menutup jalan. Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu datang, Raja Suppabuddha menolak untuk memberikan jalan masuk, dan mengirim pesan yang berbunyi, “Saya tidak dapat memberikan jalan kepada Samana Gotama, yang jauh lebih muda daripada saya”.

Melihat jalan masuk telah ditutup, Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali. Kemudian Raja Suppabuddha mengirim seseorang untuk mengikuti Sang Buddha secara sembunyi-sembunyi, dan mencari keterangan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha serta melaporkan kepadanya.

Setelah Sang Buddha tiba, Beliau berkata kepada Ananda, “Ananda, karena perbuatan jahat Raja Suppabuddha yang menyebabkan ia menolak memberi jalan kepada saya, tujuh hari mendatang sejak saat ini dia akan ditelan bumi, di kaki tangga menuju puncak bangunan istananya.

Mata-mata raja mendengar hal tersebut dan melaporkan kepada raja. Raja berkata bahwa dia tidak akan pergi ke dekat tangga tersebut, dan akan membuktikan kata-kata Sang Buddha adalah tidak benar.

Kemudian raja memerintahkan pelayannya untuk memindahkan tangga tersebut, sehingga dia tidak akan menggunakannya. Dia juga menyuruh pelayan yang bertugas memberitahu untuk memegangnya jika dia pergi ke arah kaki tangga.

Ketika Sang Buddha memperoleh keterangan perihal perintah raja kepada anak buahnya tersebut di atas, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Walaupun Raja Suppabuddha tinggal di puncak bangunan, atau di atas langit, atau di dasar laut, atau di dalam goa, kata-kata saya tidak akan keliru. Raja Suppabuddha akan ditelan bumi di tempat yang telah saya katakan pada kalian.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 128 berikut:

Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari kematian.

Pada hari ketujuh, kira-kira pada waktu makan, kuda kerajaan ketakutan dengan alasan yang tidak diketahui, dan mulai meringkik dengan keras serta menendang-nendang dengan sangat marah. Mendengar suara ringkikan dari kudanya, Raja merasa dia harus menangani kuda peliharaannya, dan ia melupakan semua pencegahan terhadap bahaya. Dia mulai menuju pintu. Pintu terbuka dengan sendirinya, tangga yang telah dipindahkan sebelumnya juga masih di tempatnya semula, pelayan lupa mencegahnya untuk tidak turun. Kemudian Raja menuruni tangga dan segera dia melangkah di atas bumi. Bumi terbuka dan menelannya serta menyeretnya ke alam neraka Avici (Avici Niraya).

Kisah Tiga Kelompok Orang

Kelompok pertama: Sekelompok bhikkhu dalam perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka berhenti di sebuah desa. Beberapa orang memasak makanan untuk didanakan kepada para bhikkhu. Salah satu rumah terbakar dan alarm kebakaran berkumandang di udara.

Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.

Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.

Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.

Kapten kapal berkata dengan sedih, “Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi.

Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.

Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.

Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.

Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.

Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.

Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.

Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.

Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: “Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ketujuhnya.

Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: “Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya”.

Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: “Para bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya.

Kemudian para bhikkhu berkata, “O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua”.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:

Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.

Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Tissa Thera

Ada seorang penggosok permata dan istrinya tinggal di Savatthi. Di sana juga berdiam seorang Thera yang telah mencapai tingkat kesucian arahat. Setiap hari pasangan ini memberi dana makanan kepada thera itu.

Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir ruby, yang meminta untuk dipotong, dan diasah sampai mengkilap. Si penggosok permata tersebut mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk mencuci tangannya.

Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri ruby dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk serta menelannya di hadapan sang thera.

Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya, dia menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya kepada istri dan anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Kemudian dia bertanya kepada sang thera dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak mengambilnya, tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali sang thera di dalam rumah. Penggosok permata berkesimpulan pastilah sang thera yang telah mengambil ruby yang berharga tersebut. Lalu dia memberi tahu istrinya bahwa dia harus menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.

Tetapi istrinya menjawab: “Thera ini telah menjadi pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apa pun, janganlah menuduh thera itu. Lebih baik kita menerima hukuman dari raja daripada menuduh orang suci.

Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya. Dia mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah mengalir dari kepala, telinga, dan hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.

Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si penggosok permata yang pada saat itu sangat marah, menyepak burung dengan seluruh kekuatannya, sehingga burung itu mati seketika.

Kemudian thera itu berkata, “Lihatlah, apakah burung itu mati atau tidak?

Penggosok permata menjawab: “Kamu juga seharusnya mati seperti burung itu.

Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati, dia menjawab dengan pelan: “Muridku, burung itulah yang menelan ruby tersebut.

Mendengar itu, penggosok permata membelah badan burung tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya. Kemudian penggosok permata menyadari bahwa dia telah bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada sang thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan di muka pintu rumahnya.

Thera itu menjawab, “Muridku, ini bukanlah kesalahanmu dan juga bukan kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa yang telah kita perbuat dalam kehidupan lampau. Hanyalah hutang kita dalam proses kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena saya memasuki rumah. Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun, saya hanya akan berdiri di muka pintu.

Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal dunia akibat luka-lukanya.

Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha dimana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali?

Sang Buddha menjawab, “Burung itu terlahir kembali sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir kembali di alam neraka (Niraya); istri penggosok permata terlahir kembali di salah satu alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada kehidupannya saat ini, merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 126 berikut:

Sebagian orang terlahir melalui kandungan;
pelaku kejahatan terlahir di alam neraka;
orang yang berkelakuan baik pergi ke surga;
dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai nibbana.

Kisah Koka Si Pemburu

Suatu pagi, saat Koka pergi berburu dengan anjing-anjing pemburunya, dia melihat seorang bhikkhu memasuki kota untuk berpindapatta. Pemburu mengira bahwa hal itu merupakan pertanda buruk dan menggerutu pada dirinya sendiri: “Sejak saya melihat pemandangan ini, saya mengira saya tidak akan mendapatkan hasil buruan apapun hari ini”,

dan dia melanjutkan perjalanannya. Seperti dugaannya, dia tidak memperoleh apapun.

Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing pemburunya ke arah bhikkhu tersebut. Dengan cepat bhikkhu itu memanjat pohon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu pergi ke bawah pohon dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan ujung anak panahnya.

Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.

Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mengguling-gulingkannya dengan penuh kemarahan.

Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.

Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya?

Kemudian bhikkhu itu menghadap Sang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata: “Anak-Ku, pastikan dan janganlah ragu-ragu bahwa kamu tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu. Pelaksanaan moral (sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah, sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 125 berikut:

Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah,
maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu,
bagaikan debu yang dilempar melawan angin.

Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Kukkutamitta

Di Rajagaha terdapat seorang putri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian sotapatti pada usia yang masih muda. Suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu datang ke kota dengan kereta untuk menjual daging rusa. Melihat Kukkutamitta, si pemburu itu, wanita kaya yang masih muda ini jatuh hati seketika.

Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.

Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.

Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.

Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.

Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.

Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.

Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, “Jangan membunuh ayahku.

Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir “Ini pastilah ayah mertua saya”, dan anak-anaknya berpikir “Ini pastilah kakek kami”, dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.

Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya.

Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan mereka tergerak menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.

Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.

Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu?

Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambil barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Juga karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 124 berikut:

Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,
maka ia dapat menggenggam racun.
Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.
Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.

Kisah Mahadhana

Mahadhana adalah seorang pedagang kaya dari Savatthi. Pada suatu kesempatan, lima ratus perampok telah merencanakan untuk merampoknya, tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk merampoknya.

Pada saat lain para perampok itu mendengar bahwa pedagang Mahadhana akan segera bepergian dengan lima ratus kereta penuh dengan barang-barang berharga. Pedagang Mahadhana juga mengajak bhikkhu-bhikhu yang akan bepergian pada tujuan yang sama untuk pergi bersama dengannya. Dan dia berjanji untuk memperhatikan kebutuhan bhikkhu-bhikkhu selama dalam perjalanan. Lalu ke lima ratus bhikkhu pergi bersama dengannya.

Perampok-perampok memperoleh berita perjalanan mereka dan pergi mendahului di depan untuk menunggu rombongan pedagang. Tetapi pedagang itu berhenti di pinggir hutan tempat perampok-perampok itu sedang menunggu. Rombongan akan melanjutkan perjalanannya setelah bermalam beberapa hari.

Perampok-perampok memperoleh berita keberangkatan mendatang, dan membuat persiapan untuk merampok rombongan tersebut. Pedagang juga mendengar kabar gerakan penjahat-penjahat tersebut dan memutuskan untuk kembali ke rumah.

Penjahat-penjahat sekarang mendengar bahwa pedagang akan pulang ke rumah, lalu mereka menunggu di jalan yang menuju rumah. Beberapa orang desa mengirim berita kepada pedagang mengenai gerakan para penjahat, dan akhirnya pedagang memutuskan untuk tinggal di desa beberapa waktu.

Ketika pedagang memberitahu keputusannya kepada para bhikkhu, bhikkhu-bhikkhu itu sendiri pulang kembali ke Savatthi. Sesampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau perihal tertunda-nya perjalanan mereka. Kepada mereka, Sang Buddha berkata: “Para bhikkhu, Mahadhana menghindar dari perjalanan yang dikepung oleh para penjahat. Seseorang yang tidak ingin meninggal dunia menghindar dari racun. Para bhikkhu bijaksana, yang menyadari bahwa tiga tingkat alam kehidupan serupa dengan perjalanan yang dikepung dengan bahaya, hendaknya berusaha keras menghindar dari berbuat jahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 123 berikut:

Bagaikan seorang saudagar yang dengan sedikit pengawal membawa banyak harta, menghindari jalan yang berbahaya,
demikian pula orang yang mencintai hidup,
hendaknya menghindari racun dan hal-hal yang jahat.

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Bilalapadaka

Suatu waktu, seseorang yang berasal dari Savatthi, setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, sangat terkesan dan memutuskan untuk menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Isi khotbah itu adalah memberi dana tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri tetapi hendaknya juga menghimbau orang lain untuk melakukannya. Dengan melakukan hal tersebut, seseorang akan memperoleh banyak pahala dan memperoleh banyak pengikut pada kehidupan yang akan datang.

Oleh karena itu orang tersebut mengundang Sang Buddha beserta seluruh bhikkhu yang berdiam di Vihara Jetavana untuk menerima dana makanan keesokan harinya.

Kemudian orang itu pergi ke rumah-rumah tetangganya, dan memberitahu bahwa dana makanan (pindapatta) akan dilakukan keesokan hari kepada Sang Buddha beserta para bhikkhu. Oleh karena itu, siapa yang akan turut berperan-serta tergantung kepada masing-masing orang.

Seorang kaya yang bernama Bilalapadaka melihat laki-laki tersebut pergi berkeliling dari rumah ke rumah. Ia tidak setuju atas kelakuannya itu dan juga merasa tidak senang. Ia menggerutu, “O, orang malang! Kenapa dia tidak mengundang beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri memberi dana, daripada pergi berkeliling membujuk orang lain?

Lalu dia meminta laki-laki itu untuk membawa mangkoknya dan dia memasukkan ke dalam mangkok tersebut sedikit nasi, hanya sedikit mentega, sedikit air dan tebu. Barang tersebut dibawa secara terpisah dan tidak dicampur dengan yang diberikan orang-orang lain.

Orang kaya tersebut tidak mengerti kenapa barang-barangnya diperlakukan secara terpisah. Ia mengira laki-laki tersebut akan memberitahu orang lain bahwa orang kaya seperti dirinya memberi sumbangan hanya sedikit dan membuatnya malu. Oleh karena itu, orang kaya Bilalapadaka mengutus pelayannya untuk menyelidiki.

Penganjur berdana itu meletakkan makanan yang sedikit pemberian orang kaya tersebut ke dalam mangkuk-mangkuk nasi, kari, dan daging manis, agar orang kaya tersebut mendapat banyak pahala. Pelayan orang kaya melaporkan apa yang telah dilihatnya. Tetapi majikannya, Bilalapadaka, tidak mengerti artinya dan tidak yakin maksud penganjur tersebut. Walau demikian, keesokan harinya dia pergi ke tempat di mana dana makanan dilakukan. Pada saat yang sama, dia membawa sebilah pisau yang akan dipergunakan untuk membunuh penganjur, apabila penganjur berdana itu mengumumkan di depan umum betapa sedikit yang diberikan oleh orang kaya seperti dirinya.

Tetapi penganjur berdana ini berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, dana makanan ini merupakan gabungan dari semua, walaupun ada yang memberi banyak atau pun sedikit tidaklah dihitung. Tiap orang dari kami memberi dengan keyakinan dan kerendahan hati. Jadi semoga kami semua memperoleh pahala yang sama.

Ketika mendengar kalimat tersebut, Bilalapadaka menyadari bahwa dia telah berpikiran keliru terhadap laki-laki itu. Ia merenungkan jika ia tidak mengakui kekeliruannya itu dan memohon penganjur berdana itu untuk memaafkannya, maka dia bisa terlahir di salah satu dari empat alam kehidupan rendah (apaya).

Lalu dia berkata, “Temanku, saya telah melakukan kesalahan besar terhadapmu dengan berpikir keliru tentang kamu, maafkanlah saya.

Sang Buddha mendengar orang kaya tersebut meminta maaf, dan dari penyelidikannya Beliau mengetahui alasannya. Lalu Sang Buddha berkata, “Pengikutku, kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan baik walau sekecil apapun; perbuatan baik yang kecil akan menjadi besar, jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 122 berikut:

Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata:
“Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat.”
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes,
demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.

Kisah Bhikkhu Yang Ceroboh

Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula. Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut putih. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan menjawab dengan cepat dan tajam:

Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil”, dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:

Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, waktu sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut:

Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata:
“Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat”.
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes,
demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.

Kisah Anathapindika

Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha.

Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.

Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.

Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.

Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.

Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang yang belum dikembalikan kepada Anathapindika, delapan belas crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang) Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.

Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.

Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum. Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha

Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya, tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut:

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.

Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

Kisah Lajadevadhita

Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti.

Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka Thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. “Laja” berarti jagung.

Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera, maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa baik kepada Thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat Thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi air dalam kolam mandi, dan melakukan jasa-jasa lainnya.

Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah dewi wanita. Kemudian thera memberi tahu dewi wanita tersebut untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.

Mendengar hal itu, Lajadevadhita sangat sedih, menangis dan memohon kepada Thera, “Tolong jangan hancurkan kekayaan dan harta benda saya.

Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada dewi wanita tersebut, “Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 118 berikut:

Apabila seseorang berbuat bajik,
hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu,
sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.

Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Seyyasaka Thera

Ketika itu ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan phala. Pada saat itu juga, Sang Buddha menetapkan peraturan larangan menikmati kesenangan seksual bagi para bhikkhu, peraturan sanghadisesa. Pelanggaran (apatti) peraturan itu menyebabkan hukuman dan diskors oleh Sangha. Kemudian Sang Buddha menambahkan, “Jenis pelanggaran ini dapat mengakibatkan hasil perbuatan jahat di dunia ini maupun di masa mendatang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 117 berikut:

Apabila seseorang berbuat jahat,
hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu,
dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu,
sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.

Kisah Culekasataka

Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari, maka si suami pergi pada malam hari.

Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.

Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga, brahmana berkata pada dirinya sendiri, “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha.

Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, “Saya menang! Saya menang! Saya menang!

Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada diantara para pendengar khotbah. mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan.

Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.

Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong lagi.

Jadi dia memberikan kepada sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan hadiahnya.

Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.

Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana.

Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di rumah brahmana.

Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.

Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada sang Buddha, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?

Sang Buddha menjawab, “Jika Brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang.

Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut:

Bergegaslah berbuat kebajikan,
dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan;
barang siapa lamban berbuat bajik,
maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.

Kisah Bahuputtika Theri

Suatu saat di Savatthi, tinggallah pasangan suami istri yang memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan. Kemudian sang ayah meninggal dunia dan sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi sedikitpun kepada anak-anaknya.

Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya, “Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami? Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda? Tidak dapatkah kita mengurus ibu kita?

Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya.

Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal bersama anak laki-laki tertua, tetapi menantunya menuntut dan berkata, “Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi kita dua bagian dari kekayaan!” dan juga hal-hal lain. Lalu ia pergi menetap di anak laki-laki kedua. Hal yang sama juga terjadi. Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak laki-laki lainnya, dari satu anak perempuan ke anak perempuan lainnya, tetapi satu pun tidak ada yang mau menerimanya untuk waktu yang lama dan tidak memberikan penghormatan kepadanya.

Wanita tua tersebut merasa sakit hati terhadap perlakuan anak-anaknya. Ia meninggalkan keluarganya dan menjadi bhikkhuni. Karena ia dulu ibu dari banyak anak, maka ia dikenal dengan nama Bahuputtika. Bahuputtika menyadari bahwa ia menjadi bhikkhuni pada usia tua dan oleh karena itu ia seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu. Ia hendak menggunakan sisa hidupnya dengan sepenuhnya, sehingga sepanjang malam ia meditasi sesuai dengan Dhamma yang telah diajarkan Sang Buddha.

Sang Buddha memperhatikan diri wanita tua itu dari Vihara Jetavana. Melalui kemampuan batin luar biasa Beliau, dengan cahaya yang cemerlang, Beliau terlihat duduk di depan wanita itu.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Kehidupan seseorang yang tidak pernah mempraktekkan Dhamma, ajaran Sang Buddha adalah tidak berguna, meskipun seseorang hidup seratus tahun.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 115 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat keluhuran Dhamma (Dhammamuttamam),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keluhuran Dhamma.

Kisah Kisagotami Theri

Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Anak tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan dan Kisagotami merasa sangat sedih. Dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang-orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila.

Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya, “Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!

Kisagotami kemudian pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya.

Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia di dadanya. Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada. Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian belum pernah terjadi. Kemudian ia menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang meninggal dunia daripada hidup. Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya.

Ia meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ia tidak dapat menemukan rumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya”.

Mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tak lama kemudian, Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk merealisasi nibbana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 114 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat “keadaan tanpa kematian” (nibbana),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat “keadaan tanpa kematian”.

Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Patacara Theri

Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari, ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama, ia hamil, dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya, ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai umtuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai bersama kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari.

Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakuti-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan ke dua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan keras, “Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!

Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab, badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan, “Jangan biarkan wanita gila itu masuk.

Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Budha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.

Sang Buddha berkata kepadanya, “Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci “Anamatagga Sutta”, yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasikan nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangkan air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasaNya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, “Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak tidak-kekal, tidak-memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 113 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Sappadasa Thera

Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini, bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya.

Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya kemana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukannya.

Ia menjawab, “Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang.

Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat dengan menaruh pisau di tenggorokkannya untuk membunuh dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian singkat?

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dalam meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.

Kisah Khanu-Kondanna

Setelah menerima pelajaran objek meditasi dari Sang Buddha, Kondanna pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi dan di sana Kondanna mencapai tingkat kesucian arahat. Dalam perjalanan pulang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Kondanna sangat lelah dan berhenti di perjalanan. Kondanna duduk di atas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam jhana. Pada saat itu, lima ratus orang perampok setelah merampok sebuah desa besar, datang ke tempat Kondanna berada. Mereka mengira bhikkhu itu bagaikan tunggul pohon sehingga mereka menaruh tumpukkan barang rampokan di sekitar tubuh beliau. Ketika hari mulai siang, mereka menyadari bahwa apa yang mereka kira sebagai tunggul pohon, pada kenyataannya adalah makhluk hidup. Kemudian mereka berpikir bahwa makhluk itu merupakan raksasa sehingga mereka lari dengan ketakutan.

Kondanna menyatakan kepada mereka bahwa ia hanya seorang bhikkhu, bukan raksasa, dan berkata kepada mereka agar jangan takut. Perampok-perampok tersebut terpesona oleh kata-katanya, dan memohon maaf atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Tak lama kemudian, semua perampok memohon kepada Kondanna agar berkenan menerima mereka dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondanna dikenal dengan nama “Khanu Kondanna” (Kondanna tunggul pohon).

Kondanna beserta bhikkhu-bhikkhu baru menemui Sang Buddha dan menyampaikan kepada Beliau apa yang telah terjadi. Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Hidup seratus tahun dengan ketidaktahuan, melakukan hal-hal yang bodoh, adalah tidak bermanfaat, sekarang kamu telah melihat kebenaran dan telah menjadi bijaksana, kehidupanmu sehari sebagai orang yang bijaksana, sangat bermanfaat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 111 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.

Kisah Samanera Samkicca

Pada suatu ketika, tiga puluh bhikkhu setelah menerima pelajaran objek meditasi yang diberikan Sang Buddha, pergi menuju sebuah desa besar, yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi.

Pada waktu itu, lima ratus orang perampok tinggal di tengah-tengah hutan dan mereka berkeinginan untuk membuat persembahan dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga hutan. Kemudian mereka datang ke vihara desa dan meminta salah seorang bhikkhu diserahkan kepada mereka untuk dikorbankan kepada makhluk halus penjaga hutan. Semua bhikkhu, dari yang tertua sampai yang termuda, bersedia secara sukarela untuk pergi.

Di antara para bhikkhu tersebut, terdapat juga seorang samanera muda yang bernama Samkicca. Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera. Samanera ini baru berumur tujuh tahun, tetapi telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Samkicca berkata bahwa Sariputta Thera gurunya, mengetahui bahaya yang akan datang menghadang mereka, dengan sengaja menyuruhnya untuk menyertai perjalanan para bhikkhu, dan ia telah siap menjadi orang yang pergi memenuhi keinginan perampok. Kemudian Samkicca pergi bersama perampok.

Para bhikkhu merasa sangat sedih telah membiarkan samanera muda pergi. Para perampok membuat persiapan untuk upacara pengorbanan. Ketika semuanya sudah siap, pimpinan mereka mendekati samanera, yang sedang duduk, dengan pikiran terpusat pada konsentrasi terserap (jhana). Sang pimpinan perampok mengangkat pedangnya dan menebaskannya kepada samanera muda, tetapi mata pedang tersebut bengkok tanpa memotong daging samanera. Ia meluruskan mata pedangnya dan menebaskannya lagi, kali ini, pedang tersebut bengkok sampai ke pangkalnya tanpa melukai samanera. Melihat hal aneh ini, pemimpin perampok menjatuhkan pedangnya, berlutut di kaki samanera dan memohon ampun. Semua perampok itu terheran-heran dan merasa sangat ngeri, mereka menyesali perbuatannya, dan bertekad akan menjadi bhikkhu.

Samanera muda disertai lima ratus pengikutnya berangkat kembali ke vihara desa dan ketigapuluh bhikkhu yang tinggal di vihara merasa lega dan gembira melihatnya. Kemudian Samkicca dan lima ratus pengikutnya meneruskan perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sariputta Thera. Setelah bertemu Sariputta Thera, mereka pergi untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika menceritakan apa yang telah terjadi, Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, jika kamu merampok atau mencuri dan melakukan berbagai bentuk perbuatan jahat, hidupmu akan menjadi tidak berguna, meskipun kamu hidup seratus tahun. Menjalani hidup dengan hidup suci meskipun satu hari lebih baik daripada seratus tahun hidup dengan kejahatan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 110 berikut:

Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

Kisah Ayuvaddhanakumara

Suatu waktu terdapat dua orang pertapa yang tinggal bersama, mempraktekkan pertapaan yang keras (tapacaranam) selama bertahun-tahun lamanya. Kemudian, satu di antara dua pertapa itu meninggalkan kehidupan bertapa dan menikah.

Setelah seorang anak laki-lakinya lahir, keluarga tersebut mengunjungi pertapa tua temannya dan memberi hormat kepadanya. Kepada kedua orang tua anak itu, sang pertapa berkata “Semoga kalian panjang umur”, tetapi dia tidak berkata apa-apa kepada si anak.

Kedua orang tua tersebut bingung dan menanyakan kepada pertapa, apakah alasannya ia tidak berkata apa-apa kepada anak itu. Sang pertapa berkata kepada mereka bahwa anak tersebut hanya akan hidup tujuh hari lagi dan ia tidak tahu bagaimana untuk mencegah kematiannya, tetapi Buddha Gotama mungkin tahu bagaimana cara mencegahnya.

Kemudian orang tua tersebut membawa anaknya menghadap Sang Buddha, ketika mereka memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau juga berkata “Semoga kalian panjang umur” hanya kepada kedua orang tua itu dan tidak kepada anaknya. Sang Buddha juga memperkirakan kematian akan datang pada anak itu.

Untuk mencegah kematiannya, Sang Buddha berkata kepada orang tua itu agar mereka membangun paviliun di depan pintu masuk rumahnya dan meletakkan anak tersebut pada dipan di dalam paviliun. Kemudian beberapa bhikkhu diundang ke sana untuk membaca paritta selama tujuh hari. Pada hari ketujuh Sang Buddha sendiri datang ke paviliun itu. Para dewa dari seluruh alam semesta juga datang. Pada waktu itu raksasa Avaruddhaka berada di pintu masuk, menunggu kesempatan membawa anak itu pergi. Tetapi kedatangan para dewa menyebabkan raksasa tersebut hanya dapat menunggu di suatu tempat yang jauhnya 2 yojana dari anak tersebut. Sepanjang malam, pembacaan paritta dilaksanakan tanpa henti, sehingga melindungi anak tersebut. Hari berikutnya, anak tersebut diambil dari dipan dan melakukan penghormatan kepada Sang Buddha.

Pada kesempatan itu, Sang Buddha berkata “Semoga kamu panjang umur” kepada anak tersebut. Ketika ditanya berapa lama anak tersebut akan hidup, Sang Buddha menjawab bahwa ia akan hidup selama seratus dua puluh tahun. Kemudian anak itu diberi nama Ayuvaddhana.

Ketika anak tersebut remaja, ia pergi berkeliling negeri dengan disertai lima ratus orang pengikut. Suatu hari mereka datang ke Vihara Jetavana, para bhikkhu mengenalinya, dan bertanya kepada Sang Buddha, “Dengan melaksanakan apa seseorang bisa berumur panjang?

Sang Buddha menjawab, “Dengan menghormati dan menghargai yang lebih tua, yang memiliki kebijaksanaan serta kesucian, niscaya seseorang akan memperoleh tidak hanya umur panjang, tetapi juga keindahan, kebahagiaan, dan kekuatan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 109 berikut:

Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua,
kelak akan memperoleh empat hal, yaitu:
umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.