Kisah Culasari

Suatu hari, Culasari berjalan pulang dari mengunjungi seorang pasien. Dalam perjalanan, ia berjumpa Sariputta Thera dan bercerita, bagaimana ia merawat seorang pasien serta mendapatkan makanan enak untuk pelayanannya. Ia juga meminta Sariputta Thera untuk menerima darinya sebagian dari makanan tersebut. Sariputta Thera tidak mengatakan apapun kepadanya melainkan terus melanjutkan perjalanannya. Sariputta Thera menolak menerima makanan dari bhikkhu itu karena bhikkhu tersebut telah melanggar peraturan yang melarang para bhikkhu membuka praktek pengobatan.

Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata kepada mereka, “Para bhikkhu! Seorang bhikkhu yang tidak tahu malu itu buruk dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia sombong seperti seekor gagak, ia menghidupi diri dengan cara yang melanggar peraturan dan hidup dalam kenikmatan. Di sisi lain, kehidupan bagi seorang bhikkhu yang memiliki malu tidaklah mudah.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 244 dan 245 berikut ini :

Hidup ini mudah bagi orang yang tidak tahu malu,
yang suka menonjolkan diri seperti seekor burung gagak,
suka menfitnah, tidak tahu sopan santun, pongah,
dan menjalankan hidup kotor.

Hidup ini sukar bagi orang yang tahu malu,
yang senantiasa mengejar kesucian,
yang bebas dari kemelekatan, rendah hati,
menjalankan hidup bersih dan penuh perhatian.

Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Seorang Pria yang Istrinya Melakukan Penyelewengan

Suatu ketika, ada seorang istri yang menyeleweng. Suaminya begitu malu atas kelakuan istrinya sehingga ia tidak berani menemui orang lain; ia juga menghindari Sang Buddha. Setelah beberapa waktu, ia pergi menjumpai Sang Buddha dan Beliau bertanya mengapa laki-laki itu tidak kelihatan selama ini dan iapun menjelaskan semuanya.

Setelah mendengarkan alasan ketidakhadiran laki-laki itu, Sang Buddha berkata, “Murid-Ku, wanita itu seperti sebuah sungai, atau jalan, atau toko minuman, atau rumah peristirahatan, atau pot air, yang berdiri di pinggir jalan, mereka berhubungan (bergaul) dengan semua jenis orang. Tentunya hubungan intim yang salah merupakan penyebab kehancuran seorang wanita.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 242 dan 243 berikut ini :

Kelakuan buruk adalah noda bagi seorang wanita,
kekikiran adalah noda bagi seorang dermawan.
Sesungguhnya, segala bentuk kejahatan merupakan noda,
baik dalam dunia ini maupun dalam dunia selanjutnya.

Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan.
Kebodohan merupakan noda paling buruk.
O, para bhikkhu, singkirkanlah noda ini
dan hiduplah tanpa noda.

Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Laludayi

Di Savatti, banyak orang memberikan pujian setelah mendengar khotbah-khotbah dari dua Murid Utama, Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera.

Suatu ketika, Laludayi, setelah mendengar pujian mereka. Ia berkata kepada orang-orang tersebut bahwa mereka akan mengatakan hal yang sama tentang dirinya setelah mendengar khotbah-khotbahnya.

Mendengar hal itu, Laludayi diminta untuk menyampaikan suatu khotbah. Ia naik ke panggung khotbah tetapi ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Maka ia meminta para pendengar untuk mempersilahkan bhikkhu yang lain terlebih dahulu dan ia akan mengambil giliran berikutnya. Dengan cara yang sama, ia menunda sampai tiga kali.

Para pendengar kehilangan kesabaran dan berteriak, “Engkau orang bodoh! Ketika kami memuji kedua Murid Utama engkau membual bahwa engkau bisa berkhotbah seperti mereka. Mengapa engkau tidak berkhotbah sekarang?

Laludayi melarikan diri dan kerumunan orang tersebut mengejarnya. Karena sangat takut dan tidak memperhatikan kemana ia melangkah, Laludayi terjatuh ke dalam sebuah lobang kotoran.

Ketika Sang Buddha mendengar kejadian tersebut, Beliau berkata, “Laludayi sangat sedikit mempelajari Dhamma; dia tidak mengulang-ulang pengetahuan Dhamma secara teratur; dia tidak mengingat apapun. Apapun yang telah sedikit ia pelajari menjadi berkarat karena tidak diulang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 241 berikut :

Tidak membaca ulang adalah noda bagi mantra,
tidak berusaha adalah noda bagi kehidupan berumah tangga.
Kemalasan adalah noda bagi kecantikan,
dan kelengahan adalah noda bagi seorang penjaga.

Kisah Tissa Thera

Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Savatti. Pada suatu hari, ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia.

Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa seperangkat jubah tersebut akan dibagi bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain.

Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak, “Mereka sedang merusak jubahku!

Teriakan ini didengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan para bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk menyelesaaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada hari ke delapan, seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha ditanya oleh para bhikkhu, mengapa Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian jubah Tissa Thera.

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Ketika engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu, Tissa, si kutu akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di alam neraka (niraya). Tetapi sekarang Tissa telah bertumimbal lahir di alam dewa Tusita, dan sebab itu, Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah tersebut."

Sebenarnya, para bhikkhu, kemelekatan sangatlah berbahaya, seperti karat merusak besi di mana ia terbentuk, begitu pula kemelekatan menghancurkan seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang bhikkhu sebaiknya tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan pokok.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 240 berikut :

Bagaikan karat yang timbul dari besi,
bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri,
begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk
akan menjerumuskan pelakunya
ke alam kehidupan yang menyedihkan.

Kisah Seorang Brahmana

Suatu saat, seorang brahmana menyaksikan sekelompok bhikkhu sedang membenahi jubah, ketika mereka mempersiapkan diri memasuki kota untuk menerima dana makanan. Sementara menyaksikan, ia melihat bahwa jubah beberapa bhikkhu tersebut menyentuh tanah dan menjadi basah oleh embun yang terdapat di rerumputan. Maka ia membersihkan bidang tanah itu.

Hari berikutnya, ia melihat bahwa jubah para bhikkhu menyentuh tanah lumpur, jubah tersebut menjadi kotor. Maka ia menutupi tanah tersebut dengan pasir. Kemudian pula, ia memperhatikan bahwa para bhikkhu akan berkeringat saat matahari bersinar dan menjadi basah saat hujan turun. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah peristirahatan untuk para bhikkhu di tempat mereka biasa berkumpul sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan.

Ketika bangunan tersebut telah selesai, ia mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Brahmana tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah melaksanakan perbuatan baik tersebut selangkah demi selangkah.

Kepadanya Sang Buddha berkata, “O Brahmana! Para bijaksana melaksanakan perbuatan baik mereka sedikit demi sedikit, dan secara bertahap serta terus menerus mereka menanggalkan noda-noda kekotoran batin,

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 239 berikut :

Dengan latihan bertahap,
sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu
hendaklah orang bijaksana
membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya,
bagaikan seorang pandai perak
membersihkan perak yang berkarat.

Brahmana itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

Kisah Putra Seorang Penjagal

Suatu ketika di Savatthi, ada seorang pria yang menjadi penjagal ternak selama dua puluh lima tahun. Selama itu ia menyembelih ternak dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging. Suatu hari ia memberikan sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai.

Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari daging, maka si penjagal bergegas pergi ke belakang rumah, dimana terdapat seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di atas api. Ketika makan si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut, tetapi bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas piring nasi. Jadi sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama, sama-sama terpotong lidahnya.

Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang teramat sangat, dan ia merangkak ke sana ke mari, dengan banyak darah bercucuran dari mulutnya. Kemudian penjagal tersebut meninggal dan terlahir kembali di alam neraka Avici (Niraya Avici).

Istri si penjagal merasa sangat gelisah dan ia menginginkan putranya pindah ke tempat tinggal yang lain, agar kemalangan tidak menimpa dirinya pula. Maka ia mengirimkan putranya ke Taxila. Di Taxila, putra si penjagal mempelajari seni dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi putri gurunya dan mempunyai beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka sudah dewasa, ia kembali ke Savatthi.

Anak-anaknya menganut ajaran Sang Buddha dan telah meningkat keyakinannya. Mereka mengkhawatirkan ayah mereka, yang telah menjadi tua tanpa pernah memikirkan Dhamma maupun kehidupannya yang akan datang. Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan.

Setelah bersantap, mereka berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari ini atas nama ayah kami. Berikanlah khotbah secara khusus padanya.

Sang Buddha berkata, “Murid-Ku! Engkau telah menjadi tua, tapi engkau belum membuat persiapan kebajikan untuk perjalananmu pada kelahiran berikutnya, sekarang engkau sebaiknya mencari penolong bagi dirimu sendiri.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 235,236,237 dan 238 berikut ini :

Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu.
Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan,
namun tidak kaumiliki bekal untuk perjalanan nanti.

Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda
dan bebas dari nafsu keinginan,
maka engkau akan mencapai alam kedamaian para Ariya.

Sekarang kehidupanmu telah mendekati akhir,
dan engkau telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian (Yama).
Tidak ada tempat bagimu berhenti di perjalanan,
sedangkan engkau belum memiliki bekal untuk perjalananmu.

Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda
dan bebas dari nafsu keinginan,
maka kelahiran dan kematian
tidak akan datang lagi padamu.


Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal) mencapai tingkat kesucian anagami setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

Kisah Enam Bhikkhu

Enam bhikkhu dengan mengenakan sandal kayu, serta masing-masing memegang tongkat pada kedua tangannya, berjalan mondar-mandir pada sebuah batu yang besar, sehingga menimbulkan suara keras. Sang Buddha mendengar suara ribut itu dan bertanya kepada Ananda Thera, apa yang terjadi. Ananda Thera menjelaskan perihal perilaku enam bhikkhu tersebut. Kemudian Sang Buddha melarang para bhikkhu untuk menggunakan sandal kayu. Selanjutnya Beliau menganjurkan para bhikkhu agar mengendalikan diri mereka; baik dalam ucapan maupun perbuatannya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 231, 232, 233, dan 234 berikut ini :

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan jasmani,
hendaklah ia selalu mengendalikan jasmaninya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui jasmani,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui jasmani.

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapan,
hendaklah ia mengendalikan ucapannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan pikiran,
hendaklah ia mengendalikan pikirannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui pikiran,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran.

Para bijaksana terkendali perbuatan, ucapan, dan pikirannya.
Sesungguhnya mereka itu benar-benar telah dapat menguasai diri.