Kisah Lima Ratus Anak Laki-Laki

Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki kota Rajagaha untuk berpindapatta dengan ditemani oleh sejumlah bhikkhu. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan lima ratus anak laki-laki yang sedang berjalan menuju ke suatu taman yang indah. Anak-anak itu membawa beberapa keranjang kue pancake tetapi mereka tidak memberikan satupun kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, kamu akan memakan pancake itu hari ini; pemiliknya akan datang mendekati kita. Kita akan mendapatkannya hanya setelah ada yang mengambil beberapa pancake.

Setelah mengatakan hal itu, Sang Buddha dan para bhikkhu berteduh di bawah pohon.

Pada waktu itu Kassapa Thera datang ke sana sendirian. Anak-anak itu melihatnya dan kemudian menghormati Kassapa Thera, serta mendanakan pancake mereka kepada Sang Thera.

Kassapa Thera kemudian berkata kepada anak-anak itu, “Guruku Yang Mulia beristirahat di sana, di bawah pohon ditemani oleh beberapa bhikkhu. Pergi dan danakan pancake kalian kepada-Nya dan beberapa bhikkhu.

Anak-anak itu melakukan apa yang dikatakan Kassapa Thera. Sang Buddha menerima dana pancake itu. Kemudian, para bhikkhu berkata bahwa anak-anak itu sangat menyukai Kassapa Thera.

Sang Buddha berkata kepada mereka, “Para bhikkhu, semua bhikkhu yang seperti anakKu Kassapa disukai oleh para dewa dan manusia. Beberapa bhikkhu hanya selalu menerima cukup pemberian empat kebutuhan bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 217 berikut :

Barang siapa sempurna dalam sila
dan mempunyai pandangan terang,
teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar
dan memenuhi segala kewajibannya,
maka semua orang akan mencintainya.

Lima ratus anak laki-laki mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Seorang Brahmana

Ada seorang brahmana tinggal di Savatthi, dan dia bukan seorang Buddhis. Tetapi Sang Buddha mengetahui bahwa brahmana akan mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam waktu dekat. Maka Sang Buddha pergi ke tempat brahmana membajak ladangnya dan mengajak berbicara dengannya. Brahmana menjadi sahabat dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah berkenalan dengannya dan memperhatikan pekerjaannya di ladang.

Suatu hari dia berkata kepada Sang Buddha, “Samana Gotama, bila nanti saya menuai padi dari ladang ini, pertama sekali saya akan memberikan sebagian hasil panen ini kepadaMu sebelum saya mengambilnya. Saya tidak akan memakan beras saya sebelum saya memberikan kepadaMu.

Sang Buddha mengetahui bahwa brahmana itu tidak mempunyai kesempatan untuk memanen padi dari ladangnya tahun ini, tetapi Beliau berdiam diri.

Kemudian pada malam sebelum si brahmana memanen padinya, turun hujan lebat menyapu semua tanaman padinya. Sang brahmana sangat sedih karena dia tidak mungkin memberikan sebagian hasil panen kepada temannya, Samana Gotama.

Sang Buddha pergi ke rumah brahmana dan sang brahmana memberitahukan tentang bencana besar yang menimpanya. Sang Buddha menjawab, “Brahmana, kamu tidak mengetahui sebab penderitaan, tetapi saya mengetahui. Jika kesedihan dan ketakutan muncul, hal-hal itu disebabkan oleh keinginan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 216 berikut :

Dari keinginan timbul kesedihan,
dari keinginan timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari keinginan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Anitthigandha Kumara

Anitthigandha tinggal di Savatthi. Dia akan menikah dengan seorang wanita muda cantik dari kota Sagala, dari negara Maddas. Pengantin wanita datang dari kotanya ke Savatthi, dia jatuh sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan. Ketika pengantin pria mendengar kabar tentang kematian pengantin wanitanya, dia menjadi putus asa.

Dalam keadaan ini, Sang Buddha mengetahui bahwa waktunya sudah matang bagi pemuda itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sang Buddha menuju ke rumah pemuda tersebut. Orang tua pemuda itu memberi dana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta orang tua pemuda itu untuk membawa anaknya menghadap Sang Buddha.

Ketika pemuda itu tiba, Sang Buddha bertanya mengapa dia sedih dan putus asa. Pemuda itu menjelaskan seluruh kejadian tragis kematian pengantin wanitanya. Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “O Anittthigandha! Dari nafsu timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi, kesedihan serta ketakutan muncul.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 215 berikut :

Dari nafsu timbul kesedihan,
dari nafsu timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari nafsu,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Anitthigandha mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Pangeran-Pangeran Licchavi

Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki kota Vesali ditemani oleh serombongan bhikkhu. Di perjalanan, mereka bertemu beberapa Pangeran Licchavi yang mengenakan pakaian bagus.

Sang Buddha melihat mereka penuh dengan tanda-tanda kebesaran, berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, siapa saja yang tidak pernah ke alam Dewa Tavatimsa seharusnya melihat pangeran-pangeran Licchavi ini.

Pangeran-pangeran itu menuju ke taman yang indah. Di sana mereka bertengkar perihal seorang pelacur dan pertengkaran itu menjadi perkelahian. Sebagai hasilnya beberapa dari mereka berdarah dan dibawa pulang. Ketika Sang Buddha bersama para bhikkhu berjalan pulang setelah bersantap di kota, mereka melihat pangeran yang luka-luka dibawa pulang ke rumahnya.

Berkaitan dengan kejadian tersebut para bhikkhu berkata, “Demi seorang wanita, pangeran-pangeran Licchavi ini bertengkar.

Kepada mereka, Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, penderitaan dan ketakutan timbul dari kesenangan duniawi dan kemelekatan terhadapnya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 214 berikut :

Dari kemelekatan timbul kesedihan,
dari kemelekatan timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Kisah Visakha

Suatu hari, seorang cucu Visakha yang bernama Sudatta meninggal dunia, dan Visakha merasa sangat kehilangan dan bersedih atas kematian cucu tersebut. Maka dia pergi menghadap Sang Buddha.

Ketika Sang Buddha melihatnya, Beliau berkata, “Visakha, tidakkah kamu menyadari bahwa banyak orang meninggal dunia di Savatthi setiap hari? Jika kamu memperhatikan mereka semua seperti kamu memperhatikan cucumu, kamu pasti akan menangis dan berkabung tidak henti-hentinya. Jangan biarkan kematian seorang anak mempengaruhi kamu berlebih-lebihan. Kesedihan dan ketakutan timbul dari kecintaan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 213 berikut :

Dari cinta timbul kesedihan,
dari cinta timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari rasa cinta,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Kisah Seorang Perumah Tangga Kaya

Suatu saat, seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas kematian putranya. Dia sering ke makam dan menangis di sana. Suatu pagi, Sang Buddha melihat perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan Beliau. Oleh karena itu, Sang Buddha bersama seorang bhikkhu pergi menuju ke rumah perumah tangga kaya tersebut.

Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut mengapa dia merasa sangat tidak bahagia. Lelaki tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha tentang kematian putranya, dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya. Kepadanya, Sang Buddha berkata, “Murid-Ku, kematian tidak hanya terjadi di satu tempat. Semua mahluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari, sesungguhnya kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian. Janganlah kau anggap hanya putra tersayangmu saja yang mengalami kematian. Jangan terlalu sedih ataupun terlalu goncang. Duka cita dan ketakutan timbul dari kesayangan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 212 berikut :

Dari yang disayangi timbul kesedihan,
dari yang disayangi timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari yang disayangi,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Perumah tangga kaya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Tiga Pertapa

Suatu ketika terjadi di Savatthi, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lainnya sehingga mereka jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihara seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat bhikkhu-bhikkhu lain merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha memanggil mereka.

Sang Buddha berkata, “Sekali kamu telah bergabung dalam pasamuan Sangha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang kaucinta dan melihat mereka yang tidak kaucinta, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut :

Orang yang memperjuangkan
apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan
apa yang seharusnya diperjuangkan;
melepaskan apa yang baik
dan melekat pada apa yang tidak menyenangkan,
akan merasa iri terhadap mereka yang tekun dalam latihan.

Janganlah melekat pada apa yang dicintai
atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai
dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan.

Oleh sebab itu,
janganlah mencintai apapun,
karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan.
Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas
dari mencintai dan tidak mencintai.

Kisah Sakka

Kira-kira sepuluh bulan sebelum Sang Buddha merealisasi kebebasan akhir (parinibbana), Beliau melaksanakan masa vassa di Veluva, sebuah desa dekat Vesali. Ketika bertempat tinggal di sana, Beliau mengalami sakit desentri. Ketika Dewa Sakka mengetahui Sang Buddha sakit, dia datang ke desa Veluva untuk merawat Sang Buddha selama sakit.

Sang Buddha berkata kepadanya, agar jangan mengkhawatirkan perihal kesehatan Beliau, karena terdapat banyak bhikkhu di dekat Beliau. Tetapi Sakka tidak mendengarkan-Nya dan tetap merawat Sang Buddha hingga sembuh.

Para bhikkhu terkesan dan kagum mengetahui Sakka sendiri yang merawat Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mendengar kata-kata para bhikkhu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Tidaklah mengagetkan perihal cinta kasih dan bakti Sakka kepada Saya. Pernah, ketika Sakka yang dulu bertambah tua dan akan meninggal dunia, dia datang menjumpai Saya. Kemudian Saya menjelaskan Dhamma kepadanya. Saat mendengarkan Dhamma dia mencapai tingkat kesucian sotapatti; kemudian dia meninggal dunia dan lahir kembali sebagai Sakka yang sekarang. Semua yang terjadi kepadanya adalah sederhana karena dia mendengarkan Dhamma yang telah Saya jelaskan. Sesungguhnya para bhikkhu, adalah baik bertemu dengan orang suci (ariya); adalah berbahagia dapat tinggal bersama mereka; tinggal bersama orang bodoh sesungguhnya adalah menderita.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 206, 207, dan 208 berikut ini :

Bertemu dengan para ariya adalah baik,
tinggal bersama mereka merupakan suatu kebahagiaan,
orang akan selalu berbahagia
bila tak menjumpai orang bodoh.

Seseorang yang sering bergaul dengan orang bodoh
pasti akan meratap lama sekali.
Karena bergaul dengan orang bodoh
adalah penderitaan seperti tinggal bersama musuh.
Tetapi, siapa yang tinggal bersama orang bijaksana
akan berbahagia,
sama seperti sanak keluarga yang kumpul bersama.

Karena itu, ikutilah orang yang pandai, bijaksana, terpelajar, tekun, patuh dan mulia;
hendaklah engkau selalu dekat dengan
orang yang bajik dan pandai seperti itu,
bagaikan bulan mengikuti peredaran bintang.

Kisah Tissa Thera

Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa dalam waktu empat bulan lagi Beliau akan merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana), banyak bhikkhu puthujjana gelisah. Mereka kehilangan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Maka, mereka selalu berada dekat dengan Sang Buddha. Tetapi, Tissa Thera memutuskan bahwa dia akan mencapai tingkat kesucian arahat pada saat Sang Buddha masih hidup.

Dia tidak pergi ke dekat Sang Buddha, tetapi dia pergi ke suatu tempat menyendiri untuk berlatih meditasi. Bhikkhu-bhikkhu lain tidak mengerti hal itu, sehingga mereka membawa Tissa Thera menghadap Sang Buddha, dan mereka berkata, “Bhante, bhikkhu ini tidak kelihatan menghargai dan menghormati Bhante, dia hanya peduli pada dirinya sendiri, tidak kepada kehadiran Bhante.

Tissa Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa dia berusaha keras untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha mangkat (parinibbana), dan itulah alasannya mengapa dia tidak datang mendekati Sang Buddha.

Setelah mendengar penjelasan itu, Sang Buddha berkata pada para bhikkhu, “Para bhikkhu, siapapun yang mencintai dan menghormati saya, seharusnya berbuat seperti Tissa Thera. Kalian menghormati Saya jangan hanya dengan mempersembahkan bunga, wewangian, dan dupa. Tetapi hendaknya kalian menghormati Saya dengan mempraktekkan Lokuttara-Dhamma, yaitu meditasi pandangan terang (vipassana-bhavana).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 205 berikut :

Setelah mencicipi rasa penyepian dan ketentraman,
maka ia akan bebas dari duka-cita dan tidak ternoda,
serta mereguk kebahagiaan dalam Dhamma.

Kisah Raja Pasenadi dari Kosala

Suatu hari raja Pasenadi dari Kosala pergi ke Vihara Jetavana setelah menyelesaikan makan pagi. Dikatakan raja telah memakan seperempat keranjang (kira-kira setengah gantang) nasi dengan kari daging pada hari itu. Maka pada saat mendengarkan khotbah Sang Buddha, dia tertidur dan mengantuk sepanjang waktu. Melihat dia mengantuk, Sang Buddha menasehati dia untuk memakan sedikit nasi setiap harinya, dan mengurangi sedikit demi sedikit nasi setiap hari sehingga mencapai jumlah minimum dari seperenambelas jumlah nasi yang biasa dimakan.

Raja melaksanakan nasehat yang dikatakan Sang Buddha. Dengan memakan sedikit nasi, dia menjadi kurus, dan merasa sangat ringan. Raja menikmati kesehatan yang lebih baik.

Ketika dia mengabarkan hal itu kepada Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, “O Raja! kesehatan adalah anugerah yang besar, kepuasan adalah kekayaan yang besar, kepercayaan adalah kerabat terbaik, nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 204 berikut :

Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar.
Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga.
Kepercayaan adalah saudara yang paling baik.
Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi.

Kisah Seorang Murid Awam

Suatu hari Sang Buddha mengetahui dari penglihatan-Nya bahwa terdapat seorang laki-laki miskin yang akan mampu mencapai tingkat kesucian sotapatti di desa Alavi. Maka sang Buddha pergi ke desa tersebut yang berjarak 30 yojana dari Savatthi.

Pada dini hari laki-laki tersebut kehilangan kerbau, maka dia pergi mencari kerbaunya. Sementara itu, dana makanan sedang diberikan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu di sebuah rumah di desa Alavi. Setelah bersantap, orang-orang bersiap untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha; tetapi Sang Buddha menunggu laki-laki itu.

Setelah menemukan kerbaunya, laki-laki itu datang dengan berlari-lari ke rumah tempat Sang Buddha berada. Laki-laki tersebut letih dan lapar, maka Sang Buddha meminta pada pendana yang berada di situ untuk memberi makan kepada laki-laki tersebut. Setelah laki-laki tersebut selesai makan, Sang Buddha memberikan khotbah, menjelaskan Dhamma tahap demi tahap, dan akhirnya sampai pada penjelasan tentang ‘Empat Kebenaran Mulia’. Murid awam tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat khotbah berakhir.

Setelah itu Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Dalam perjalanan pulang, para bhikkhu berkata, sangat mengagetkan Sang Buddha meminta makanan pada pendana makanan untuk memberikan makanan kepada laki-laki muda sebelum Beliau mulai khotbah.

Mendengar perkataan tersebut, Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, apa yang kamu katakan adalah benar, tetapi kamu tidak mengerti mengapa Saya datang ke tempat itu, yang berjarak 30 yojana; karena Saya mengetahui bahwa ia dalam kondisi siap menerima Dhamma. Jika ia merasa sangat lapar, rasa sakit kelaparan itu akan menghalangi ia menerima Dhamma secara utuh. Laki-laki itu telah bepergian mencari kerbaunya sepanjang pagi, oleh karena itu ia sangat letih dan juga sangat lapar. Para bhikkhu, dari semuanya, tidak ada penderitaan yang sangat sulit ditanggung seperti kelaparan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 203 berikut :

Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat.
Segala sesuatu yang berkondisi
merupakan penderitaan yang paling besar.
Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya,
orang bijaksana memahami bahwa
nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi.

Kisah Pengantin Muda Wanita

Pada hari pernikahan seorang wanita muda, orang tua pengantin wanita mengundang Sang Buddha dan delapan puluh bhikkhu untuk menerima dana makanan. Melihat gadis di rumahnya membantu mempersembahkan dana makanan, pengantin pria sangat gembira dan dia dapat sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya. Sang Buddha mengetahui dengan pasti perasaan pengantin laki-laki itu. Pada saat itu, pengantin laki-laki dan pengantin wanita sudah siap untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Sang Buddha membuat pengantin wanita tidak tampak oleh pengantin laki-laki. Saat laki-laki muda itu tidak lagi melihat pengantin wanita, dia dapat mencurahkan perhatiannya kepada Sang Buddha, sehingga hormatnya kepada Sang Buddha bertambah kuat.

Kemudian Sang Buddha berkata pada laki-laki muda itu, “O anak muda, tidak ada api yang menyamai nafsu, tidak ada kejahatan yang menyamai marah dan benci, tidak ada penderitaan yang menyamai kemelekatan lima kelompok kehidupan (khandha), tidak ada kebahagiaan yang menyamai ‘Kedamaian Abadi’ (nibbana).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 202 berikut:

Tiada api yang menyamai nafsu;
tiada kejahatan yang menyamai kebencian;
tiada penderitaan yang menyamai kelompok kehidupan (khandha);
dan tiada kebahagiaan yang lebih tinggi
daripada ‘Kedamaian Abadi’ (nibbana).

Pengantin laki-laki maupun wanita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah mendengar khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Kekalahan Raja Kosala

Dalam pertempuran melawan Ajatasattu, Raja Kosala kalah tiga kali. Ajatasattu adalah anak dari Raja Bimbisara dan Ratu Vedehi, saudara perempuan dari Raja Kosala.

Raja Kosala malu dan sangat sedih atas kekalahannya. Kemudian dia mengeluh, “Sungguh memalukan! Saya bahkan tidak dapat menaklukkan anak yang masih berbau susu ibunya. Lebih baik saya meninggal dunia.

Merasa sedih dan sangat malu raja menolak makan, dan terus berbaring.

Berita tentang kesedihan sang raja menyebar seperti api yang liar dan ketika Sang Buddha mendengar perihal itu, Beliau berkata, “Para bhikkhu! Pada diri seseorang yang menang, permusuhan dan kebencian meningkat, seseorang yang dikalahkan akan menderita kesakitan dan kesukaran.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 201 berikut :

Kemenangan menimbulkan kebencian,
dan yang kalah hidup dalam penderitaan.
Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan kekalahan,
orang yang penuh damai akan hidup bahagia

Kisah Mara

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, melihat lima ratus gadis dari desa Pancasala yang akan mencapai tingkat kesucian sotapatti. Oleh karena itu, Sang Buddha pergi dan tinggal di dekat desa tersebut. Kelima ratus gadis pergi mandi ke sungai; setelah selesai mandi mereka pergi ke desa dengan berpakaian lengkap, karena hari itu adalah hari festival.

Pada waktu bersamaan, Sang Buddha memasuki desa Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorangpun penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena mereka telah dipengaruhi oleh Mara.

Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup.

Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari itu dan berkata, “Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak saya. Karena kau telah mempengaruhi mereka untuk tidak memberi dana makanan pada saya. Apakah saya bersalah?

Mara tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia berpikir akan memperolok Sang Buddha dengan membujuknya kembali ke desa, sehingga penduduk desa akan menghina Sang Buddha dengan memperolok-olokNya.

Maka Mara menyarankan, “O Buddha, mengapa Engkau tidak kembali ke desa lagi? Kali ini Engkau pasti akan mendapatkan makanan.

Sejenak kemudian, kelima ratus gadis desa tiba di tempat itu dan menghormat Sang Buddha. Di tengah kehadiran mereka, Mara mengejek Sang Buddha, “O Buddha, Engkau tidak menerima dana makanan pagi ini, Engkau pasti merasa sakit karena kelaparan!

Kepada Mara, Sang Buddha menjawab, “O Mara jahat, meskipun kami tidak mendapatkan makanan, seperti Brahma Abhassara yang hidup dengan kepuasan yang sangat menyenangkan (piti) dan kebahagiaan (sukha) pemusatan pikiran (jhana), kami hidup dengan kepuasan yang menyenangkan dan kabahagiaan Dhamma.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 200 berikut :

Sungguh bahagia hidup kita ini
apabila sudah tidak terikat lagi oleh rasa ingin memiliki.
Kita akan hidup dengan bahagia
bagaikan dewa-dewa di alam yang cemerlang.

Lima ratus gadis mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Kesabaran Kerabat Sang Buddha

Kapilavatthu, kota suku Sakya; dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masing-masing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat melipatgandakan aliran air ke ladang mereka, barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.

Pada sisi lain, penduduk Kapivatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan makanan.

Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing-masing, sehingga tumbuh keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertengkaran antar petani itu sampai didengar oleh para menteri negara masing-masing, dan mereka melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka masing-masing, sehingga orang-orang di kedua sisi sungai siap bertempur.

Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui kerabat-kerabat Beliau pada kedua sisi sungai akan bertempur, Beliau memutuskan untuk mencegahnya. Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai. Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka meletakkan senjatanya ke samping dan menghormat kepada Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha berkata pada mereka, “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini? Jika Saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan mengalir seperti air di sungai sekarang. kalian hidup dengan saling membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin, tetapi Saya sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya sudah tidak berusaha untuk itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 197, 198, dan 199 berikut ini :

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci
di antara orang-orang yang membenci;
di antara orang-orang yang membenci,
kita hidup tanpa benci.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit
di antara orang-orang yang berpenyakit;
di antara orang-orang yang berpenyakit,
kita hidup tanpa penyakit.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan
di antara orang-orang yang serakah;
di antara orang-orang yang serakah,
kita hidup tanpa keserakahan.

Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Stupa Emas Buddha Kassapa

Suatu saat, ketika Sang Buddha dan para pengikutnya sedang dalam perjalanan ke Baranasi mereka tiba di sebuah tanah lapang di mana terdapat sebuah stupa suci. Tidak jauh dari kuil tersebut, seorang brahmana sedang membajak ladang, melihat sang brahmana, Sang Buddha memanggilnya.

Ketika ia tiba, sang brahmana memberi penghormatan kepada stupa tersebut tetapi bukan kepada Sang Buddha.

Kepadanya Sang Buddha berkata, “Brahmana, dengan memberikan penghormatan kepada stupa tersebut engkau telah melakukan sebuah perbuatan yang terpuji.

Hal itu membuat sang brahmana gembira. Setelah membuat keadaan batinnya tenang, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, memunculkan stupa emas Buddha Kassapa dan membuatnya tetap tampak di langit. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada sang brahmana dan para bhikkhu yang hadir bahwa terdapat empat golongan orang yang patut dibuatkan stupa.

Mereka adalah:
  • Para Buddha (Tathagata) yang patut dihormati dan telah mencapai Penerangan Sempurna dengan usahanya sendiri; 
  • Para Paccekabuddha; 
  • Para Murid-murid Ariya, 
  • dan Raja Dunia.

Beliau juga mengatakan kepada mereka tentang tiga macam stupa yang patut dibangun untuk menghormati empat golongan orang itu.
  • Stupa-stupa tempat di mana relik sisa-sisa jasmani disimpan, dikenal dengan nama Saridhatu-cetiya; 
  • Stupa-stupa dan bentuk-bentuk yang dibuat menyerupai orang-orang tersebut di atas, dikenal dengan nama Uddissa-cetiya; 
  • dan stupa-stupa tempat menyimpan barang-barang seperti jubah, mangkuk, dan lain sebagainya dikenal dengan nama Paribhoga-cetiya. 

Sang Buddha menekankan pentingnya memberi penghormatan kepada mereka yang patut dihormati.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 195 dan 196 berikut ini :

Ia yang menghormati
mereka yang patut dihormati,
yakni Para Buddha atau siswa-siswa-Nya,
yang telah dapat mengatasi rintangan-rintangan,
akan bebas dari kesedihan dan ratap tangis.

Ia yang menghormati orang-orang suci
yang telah menemukan kedamaian
dan telah bebas dari ketakutan;
maka jasa perbuatannya
tak dapat diukur dengan ukuran apapun.

Sang brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Stupa Buddha Kassapa masih dengan jelas tertampak lebih dari tujuh hari, dan masyarakat tetap berdatangan ke stupa tersebut untuk memberikan penghormatan dan bersujud. Pada akhir hari ke tujuh, seperti yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, stupa tersebut menghilang, dan di tempat di mana stupa tersebut tertampak dengan kekuatan batin, muncul keajaiban berupa stupa batu yang besar.

Kisah Banyak Bhikkhu

Suatu saat lima ratus bhikkhu sedang mendiskusikan pertanyaan, “Apakah yang merupakan kebahagiaan?

Bhikkhu-bhikkhu ini berpendapat bahwa ujud kebahagiaan berbeda-beda bagi setiap orang. Jadi mereka berkata, “Untuk beberapa orang memiliki kekayaan dan kemuliaan seperti raja adalah kebahagiaan; untuk beberapa orang, pemuasan terhadap nafsu indria adalah kebahagiaan, tetapi untuk yang lainnya memiliki makanan nasi dan daging adalah kebahagiaan.

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Sang Buddha menghampirinya. Setelah mengetahui masalah yang sedang mereka perbincangkan, Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, segala kesenangan yang telah kalian sebutkan tidak akan membuatmu keluar dari proses lingkaran kehidupan. Dalam dunia ini, hal-hal yang merupakan kebahagiaan adalah munculnya seorang Buddha, kesempatan untuk mendengarkan Ajaran Kebenaran Mulia, dan keharmonisan diantara para bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 194 berikut :

Kelahiran Para Buddha merupakan sebab kebahagiaan.
Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab kebahagiaan.
Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan.
Dan usaha perjuangan mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan.

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah mendengar khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Oleh Ananda Thera

Suatu hari, Ananda Thera merenung demikian, “Guru kami mengatakan kepada kami bahwa keturunan-keturunan gajah hanya akan terlahir di antara keturunan-keturunan Chaddanta dan Uposatha; keturunan-keturunan kuda hanya akan lahir di antara keturunan Sindh; keturunan-keturunan lembu hanya akan terlahir di antara keturunan Usabha. Jadi, Beliau telah mengatakan kepada kami hanya tentang keturunan-keturunan gajah, kuda, dan lembu tetapi tidak tentang orang-orang yang mulia (purisajanno).

Setelah merenung demikian, Ananda Thera pergi menghadap Sang Buddha, dan menanyakan tentang orang-orang mulia. Kepadanya Sang Buddha menjawab, “Ananda, orang-orang mulia tidak akan terlahir di manapun, ia hanya akan terlahir di antara Khattiyamahasala dan Brahmanamahasala, kaum hartawan dari Khattiya dan Brahmana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 193 berikut :

Sukar untuk berjumpa dengan manusia yang mempunyai kebijaksanaan Agung.
Orang seperti itu tidak akan dilahirkan di sebarang tempat.
Tetapi di manapun orang seperti itu dilahirkan,
maka keluarganya akan hidup bahagia.

Kisah Aggidatta

Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama pemerintahan Raja Mahakosala, ayah dari raja Pasenadi. Setelah kematian Raja Mahakosala, Aggidatta mendanakan kekayaannya, dan meninggalkan rumah menjadi seorang pertapa non-Buddhis. Ia tinggal bersama dengan sepuluh ribu orang pengikutnya di sebuah tempat dekat perbatasan antara tiga kerajaan Anga, Magadha dan Kuru, tidak jauh dari sebuah bukit pasir, dimana tinggal seekor naga yang buas.

Kepada pengikut-pengikutnya dan orang-orang di ketiga kerajaan ini, Aggidatta mendesak, “Sembahlah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon; dengan melakukan ini, kamu terbebas dari segala penyakit di dunia ini.

Suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan para pengikutnya dalam pandangan-Nya dan menyadari bahwa sudah tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha mengutus Maha Moggallana Thera menemui Aggidatta dan para pengikutnya serta mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri akan menjadi pengikutnya.

Maha Moggallana Thera pergi ke tempat Aggidatta dan para pengikutnya serta meminta mereka untuk memberikannya tempat menginap semalam. Mulanya mereka menolak permintaannya, tetapi akhirnya mereka setuju untuk membiarkannya bermalam di bukit pasir, rumah sang naga.

Sang naga sangat tidak menyukai Maha Moggallana Thera, dan kemudian yang terjadi adalah adu kekuatan antara naga dan thera, pada dua sisi, terdapat tontonan kesaktian pancaran asap dan lidah api. Bagaimanapun juga, akhirnya sang naga dapat ditaklukkan. Ia menggulung dirinya mengitari bukit pasir tersebut, dan menegakkan kepalanya serta melebarkannya seperti sebuah payung di atas Maha Moggallana Thera, menunjukkan rasa hormat kepadanya.

Pagi-pagi sekali, Aggidatta dan para pertapa lainnya datang ke bukit pasir untuk mengetahui apakah Maha Moggallana Thera masih hidup, mereka berharap melihatnya sudah meninggal dunia. Ketika mereka mengetahui sang naga telah jinak, dan tanpa perlawanan membiarkan kepalanya seperti sebuah payung di atas tubuh Maha Moggallana Thera mereka amat sangat terkejut.

Sesaat kemudian, Sang Buddha tiba dan Maha Moggallana Thera berdiri dari tempat duduknya di bukit pasir dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Kemudian Maha Moggallana Thera mengumumkan kepada para pertapa, “Inilah Guru saya, Sang Buddha Yang Maha Suci, dan saya adalah murid yang rendah dari Guru Agung ini!

Mendengarnya, para pertapa yang sangat terkesan oleh kesaktian Maha Moggallana Thera terpesona oleh kesaktian Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Aggidatta apa yang telah diajarkan kepada pengikut-pengikutnya dan para penduduk yang saling bertetangga.

Aggidatta menjawab bahwa ia telah mengajarkan kepada mereka untuk memberi hormat kepada gunung-gunung, hutan-hutan, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon, dan dengan melakukan hal tersebut, mereka akan terbebas dari segala penyakit di dunia ini.

Jawaban Sang Buddha kepada Aggidatta adalah, “Aggidatta, orang-orang pergi ke gunung-gunung, hutan-hutan, taman-taman dan kebun-kebun, serta pohon-pohon untuk mengungsi ketika mereka terancam bahaya, tetapi benda-benda ini tidak dapat memberikan perlindungan. Hanya mereka yang berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha akan terbebas dari proses lingkaran kehidupan (samsara).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 188, 189, 190, 191 dan 192 berikut ini :

Karena rasa takut,
banyak orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung,
ke arama-arama (hutan buatan), ke pohon-pohon
dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.

Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman,
bukanlah perlindungan yang utama.
Dengan mencari perlindungan seperti itu,
orang tidak akan bebas dari penderitaan.

Ia yang telah berlindung kepada
Buddha, Dhamma dan Sangha,
dengan bijaksana dapat melihat
Empat Kebenaran Mulia, yaitu:

Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha,
serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan
yang menuju pada akhir dukkha.

Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama.
Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu,
orang akan bebas dari segala penderitaan.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Aggidatta dan seluruh pengikutnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Mereka semua menjadi bhikkhu. Pada hari itu, ketika para murid Aggidatta dari Anga, Magadha dan Kuru datang untuk memberi penghormatan kepadanya, mereka melihat gurunya dan para pengikutnya berpakaian bhikkhu, mereka menjadi bingung dan heran, “Siapa yang lebih sakti? Guru kami atau Samana Gotama? Guru kami pasti lebih sakti karena Samana Gotama telah datang kepada guru kami.

Sang Buddha tahu apa yang sedang mereka pikirkan, Aggidatta juga merasa bahwa ia harus menenangkan pikiran mereka, maka ia menghormati Sang Buddha dihadapan murid-muridnya, dan berkata, “Bhante, Andalah guru saya! saya hanyalah seorang murid-Mu.

Seluruh muridnya yang hadir menyadari kemuliaan Sang Buddha.

Kisah Seorang Bhikkhu Muda Yang Tidak Puas

Suatu saat, ada seorang bhikkhu muda di Vihara Jetavana. Suatu hari gurunya mengirim bhikkhu itu ke vihara lain untuk belajar. Ketika ia sedang pergi, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia tanpa diketahui bhikkhu muda itu. Tetapi ayahnya meninggalkan uang seratus kahapana kepada saudara lelakinya, paman bhikkhu muda itu. Pada saat bhikkhu muda kembali, pamannya menceritakan tentang kematian ayahnya dan tentang uang seratus kahapana yang ditinggalkan untuknya. Mulanya, ia berkata bahwa ia tidak memerlukan uang tersebut. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin lebih baik kembali pada kehidupan berumahtangga, dan akibatnya ia menjadi tidak puas dengan kehidupan seorang bhikkhu. Pelan-pelan ia mulai kehilangan ketertarikan pada hidupnya dan juga kehilangan berat badannya. Ketika para bhikkhu yang lain tahu tentang hal ini, mereka membawanya menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha bertanya kepadanya bahwa apakah benar ia merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan apakah ia memiliki modal untuk memulai kehidupan sebagai seorang berumahtangga.

Ia menjawab benar dan ia memiliki uang seratus kahapana untuk memulai kehidupannya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepadanya bahwa ia akan membutuhkan makanan, pakaian, perabot rumah tangga, dua ekor lembu jantan, bajak-bajak, pangkur-pangkur, pisau-pisau, dan lain sebagainya, sehingga uang tunai seratus itu akan sangat sulit menutupi biaya-biaya tersebut.

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bagi kehidupan manusia tidak akan pernah cukup, tidak terkecuali bagi kehidupan raja dunia yang dapat mendatangkan hujan uang atau mutiara, sejumlah kekayaan lainnya dan harta karun pada setiap saat.

Lebih lanjut, Sang Buddha menceritakan sebuah cerita tentang Mandatu, raja dunia, yang menikmati kebahagiaan hidup surgawi di alam surga Catumaharajika dan Tavatimsa secara bersamaan untuk waktu yang lama. Setelah menghabiskan waktu yang lama di surga Tavatimsa, suatu hari Mandatu berkeinginan untuk menjadi satu-satunya penguasa surga Tavatimsa , daripada membagi kekuasaan dengan Sakka. Tapi pada saat itu, keinginannya tidak dapat dipenuhi dan serta merta ia menjadi tua dan lemah, ia kembali ke alam manusia dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 186 dan 187 berikut ini :

Bukan dalam hujan emas
dapat ditemukan kepuasan nafsu indria.
Nafsu indria hanya merupakan kesenangan sekejap
yang membuahkan penderitaan.

Bagi orang bijaksana yang dapat memahami,
hal itu tidak membuatnya bergembira
bila mendapat kesenangan surgawi sekalipun.
Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bergembira
dalam penghancuran nafsu-nafsu keinginan.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Oleh Ananda Thera

Pada suatu saat, Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha, apakah pelajaran-pelajaran dasar yang diberikan kepada para bhikkhu oleh para Buddha terdahulu adalah sama seperti pelajaran Sang Buddha sendiri sekarang. Kepadanya Sang Buddha menjawab bahwa pelajaran-pelajaran yang dibabarkan oleh seluruh Buddha adalah seperti yang diberikan pada syair 183, 184 dan 185 berikut ini :

Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.

Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”, begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

Tidak menghina, tidak menyakiti,
dapat mengendalikan diri sesuai dengan peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal makan,
berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan batin nan luhur;
inilah Ajaran Para Buddha.

Kisah Raja Naga Erakapatta

Ada seekor raja naga yang bernama Erakapatta. Dalam salah satu kehidupannya yang lampau selama masa Buddha Kassapa ia telah menjadi seorang bhikkhu untuk waktu yang lama. Karena gelisah (kukkucca) ia telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kecil selama itu, dan ia terlahir sebagai seekor naga.

Sebagai seekor naga, ia menunggu munculnya seorang Buddha baru. Erakapatta memiliki seorang putri yang cantik, dan ia memanfatkannya untuk tujuan menemukan Sang Buddha. Ia membuat putrinya terkenal sehingga siapapun yang dapat menjawab pertanyaan sang putri berhak memperistrinya. Dua kali dalam sebulan, Ekarapatta membuat putrinya menari di udara terbuka dan mengumandangkan pertanyaan-pertanyaannya. Banyak pelamar yang datang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan berharap memilikinya, tetapi tak seorangpun dapat memberikan jawaban yang benar.

Suatu hari, Sang Buddha melihat seorang pemuda yang bernama Uttara dalam pandangannya. Beliau juga mengetahui bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh putri Ekarapatta, sang naga. Pada saat itu si pemuda telah siap dalam perjalanannya untuk bertemu dengan putri Ekarapatta. Sang Buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sekarang di saat ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Bagaimanapun Uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk kebaikan pagi para makhluk.

Keempat pertanyaan pertama adalah sebagai berikut :
  1. Siapakah penguasa ?
  2. Apakah seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral dapat disebut sebagai seorang penguasa ?
  3.  Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran moral ?
  4. Orang yang seperti apakah yang disebut tolol 

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut :
  1. Ia yang mengontrol keenam indra adalah seorang penguasa.
  2. Seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral tidak dapat disebut seorang penguasa; ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
  3. Penguasa yang bebas dari kemelekatan adalah yang bebas dari kekotoran moral.
  4. Seseorang yang menginginkan kesenangan – kesenangan hawa nafsu adalah yang disebut tolol

Mendapat jawaban yang benar seperti di atas, putri naga meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandangan-pandangan salah, dan kebodohan, dan bagaimana mereka ditanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Ketika Erapatta mendengar jawaban-jawaban ini, ia tahu bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Sehingga ia meminta kepada Uttara untuk mengantarkannya menghadap Sang Buddha. Saat melihat Sang Buddha, Erakapatta menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah menjadi seorang bhikkhu selama masa Buddha Kassapa, bagaimana ia tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika ia sedang melakukan perjalanan di atas perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir bahwa kesalahan kecil yang telah diperbuatnya akan mengagalkan usaha pembebasan dirinya, dan akhirnya bagaimana ia terlahir sebagai seekor naga.

Setelah mendengarnya, Sang Buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 182 berikut :

Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia,
sungguh sulit kehidupan manusia,
sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar,
begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.

Khotbah di atas bermanfaat bagi banyak makhluk. Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kisah Kembalinya Sang Buddha Dari Surga Tavatimsa

Pada suatu saat, ketika berada di Savatthi, Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ganda dalam menjawab tantangan para pertapa dari berbagai sekte. Setelah itu, Sang Buddha pergi ke surga Tavatimsa; ibu-Nya yang telah lahir di surga Tusita sebagai dewa yang dikenal sebagai Santusita juga datang ke surga Tavatimsa. Di sana Sang Buddha menjelaskan tentang Abhidhamma kepada para dewa dan brahmana selama tiga bulan masa vassa. Hasilnya, dewa Santusita mencapai tingkat kesucian sotapatti; begitu pula dengan banyak dewa dan brahma.

Selama masa itu Sariputta Thera menghabiskan vassa di Sankassanagara, tiga puluh yojana dari Savatthi. Selama ia tinggal disana, seperti yang telah dianjurkan secara tetap oleh Sang Buddha, ia mengajarkan Abhidhamma kepada lima ratus orang bhikkhu yang tinggal bersamanya dan menutup keseluruhan ceramah pada saat berakhirnya masa vassa.

Menjelang akhir masa vassa, Maha Moggallana Thera pergi ke surga Tavatimsa untuk menjenguk Sang Buddha. Kemudian, ia diberitahu bahwa Sang Buddha akan kembali ke dunia manusia pada saat bulan purnama di akhir masa vassa di tempat Sariputta Thera melaksanakan masa vassa.

Seperti yang telah dijanjikan, Sang Buddha datang dengan sinar enam warna yang terus menerus bersinar dari tubuh-Nya ke gerbang kota Sankassanagara, pada malam hari di bulan purnama di bulan Assayuja ketika bulan bersinar dengan terangnya. Beliau ditemani oleh sekumpulan besar dewa di satu sisi dan sekumpulan besar brahma di sisi yang lainnya. Sekumpulan besar orang yang dipimpin oleh Sariputta Thera menyambut kedatangan Sang Buddha ke dunia ini; dan seluruh kota diterangi cahaya. Sariputta Thera terpesona oleh keagungan dan kemuliaan dari seluruh pemandangan kembalinya Sang Buddha.

Ia dengan hormat mendatangi Sang Buddha dan berkata, “Bhante! kami tidak pernah melihat ataupun mendengar kemuliaan yang begitu indah dan gemerlapan. Sungguh, Bhante dicintai, dihormati, dan dipuja oleh para dewa, brahma dan manusia!

Kepadanya Sang Buddha berkata, “Anakku Sariputta, seorang Buddha yang memiliki sifat-sifat unik sesungguhnya dicintai oleh manusia dan para dewa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 181 berikut :

Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, yang bergembira dalam kedamaian pelepasan, yang memiliki kesadaran sejati dan telah mencapai Penerangan Sempurna, akan dicintai oleh para dewa.

Kelima ratus orang bhikkhu yang merupakan murid-murid dari Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian arahat, dan banyak sekali dari kumpulan orang yang hadir di sana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Tiga Putri Mara

Brahmana Magandiya dan istrinya tinggal di kerajaan Kuru bersama dengan Magandiya, putri mereka yang amat cantik. Begitu cantiknya putrinya itu sehingga ayahnya dengan keras menolak semua pelamarnya. Suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Sang Buddha meninjau sekeliling dunia, Beliau mengetahui bahwa sudah saatnya bagi Brahmana Magandiya dan istrinya untuk mencapai tingkat kesucian anagami. Sambil membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sang Buddha berangkat ke tempat di mana sang brahmana biasanya melakukan pengorbanan dengan api.

Begitu melihat Sang Buddha, sang brahmana dengan seketika memutuskan bahwa Sang Buddha adalah orang yang layak menjadi suami putrinya. Ia meminta Sang Buddha untuk menunggu di sana dan dengan terburu-buru ia pergi menjemput istri dan putrinya.

Sang Buddha meninggalkan jejak kaki-Nya dan pergi ke tempat lain, yang berada di dekatnya. Ketika Sang brahmana dan keluarganya tiba, mereka hanya menemukan jejak kaki Sang Buddha, istri brahmana berkata bahwa itu adalah jejak kaki dari seorang yang telah terbebas dari keinginan-keinginan hawa nafsu. Kemudian, sang brahmana melihat Sang Buddha dan menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Sang Buddha.

Sang Buddha tidak menerima ataupun tidak menolak penawaran itu, tetapi pertama kali Beliau menceritakan kepada sang brahmana bagaimana putri-putri Mara menggoda-Nya pada saat Beliau baru saja mencapai Ke-buddha-an. Kepada putri-putri Mara yang cantik, Tanha, Arati dan Raga, Sang Buddha berkata, “Tidak ada gunanya menggoda seseorang yang telah terbebas dari keinginan, kemelekatan dan nafsu, karena ia tidak lagi dapat terpikat oleh godaan apapun juga.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 179 dan 180 berikut ini :

Beliau yang kemenangannya tak dapat dikalahkan lagi,
yang nafsunya telah diatasi
dan tidak mengikutinya lagi,
Sang Buddha yang tiada bandingnya,
yang tanpa jejak nafsu,
dengan cara apa akan kaugoda Beliau?

Beliau yang tak terjerat dan
terlibat nafsu keinginan yang menyebabkan kelahiran,
Sang Buddha yang tiada bandingnya,
yang tanpa jejak nafsu,
dengan cara apa akan kaugoda Beliau?

Kemudian, Sang Buddha melanjutkan, “Brahmana Magandiya, walaupun saya melihat putri-putri Mara yang tiada bandingnya, saya tidak merasakan hawa nafsu dalam diri saya. Lagipula, apakah tubuh putrimu ini? Hanya penuh dengan air kencing dan kotoran; Saya tidak ingin menyentuhnya walaupun dengan kaki saya!

Begitu mendengar kata-kata Sang Buddha tersebut, mereka berdua, sang brahmana dan istrinya, mencapai tingkat kesucian anagami. Kemudian, mereka bergabung dengan bhikkhu yang lainnya dan akhirnya mereka berdua mencapai tingkat kesucian arahat.

Kisah Kala, Putra Anathapindika

Kala, putra Anathapindika, selalu menghindar ketika Sang Buddha dan para bhikkhu rombonganNya datang berkunjung ke rumahnya.

Anathapindika khawatir jika putranya tetap bersikap seperti itu, ia akan terlahir kembali di salah satu alam yang rendah (apaya). Ia membujuk putranya dengan menjanjikan sejumlah uang. Anathapindika berjanji untuk memberikan sejumlah uang jika putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana selama sehari pada saat hari uposatha. Putranya pergi ke vihara dan pulang kembali pada esok harinya, tanpa mendengarkan khotbah-khotbah. Ayahnya memberikan nasi kepadanya, tetapi daripada mengambil makanannya, ia terlebih dahulu menuntut untuk diberi uang.

Pada hari berikutnya, sang ayah berkata pada putranya, “Putraku, jika kamu mempelajari sebait syair dari Sang Buddha, saya akan memberimu sejumlah uang yang lebih banyak pada saat kau kembali.

Kemudian Kala pergi ke vihara, dan mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia ingin mempelajari sesuatu. Sang Buddha memberikannya sebuah syair pendek untuk dihafal luar kepala; dalam waktu yang singkat Beliau merasa bahwa si pemuda tidak mudah mengingatnya. Jadi, si pemuda harus mengulangi satu syair berulang kali. Karena ia harus mengulanginya berulang kali, pada akhirnya ia mengerti penuh tentang Dhamma dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Pagi-pagi sekali pada hari berikutnya, ia mengikuti Sang Buddha dan para bhikkhu menuju ke rumah orang tuanya. Tetapi pada hari itu, ia dengan diam-diam berharap, “Saya berharap ayahku tidak akan memberikan kepadaku sejumlah besar uang pada saat kehadiran Sang Buddha nanti. Saya tidak berharap Sang Buddha mengetahui bahwa saya berdiam di vihara hanya demi uang.

Ayahnya memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, dan juga kepadanya. Kemudian, ayahnya membawa sejumlah besar uang, dan menyuruh Kala untuk mengambil uang tersebut. Dengan terkejut Kala menolak. Ayahnya memaksa Kala untuk menerima uang itu, tetapi Kala tetap menolak. Kemudian, Anathapindika berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, putra saya benar-benar berubah; sekarang ia berkelakuan sangat menyenangkan.

Kemudian ia menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia membujuk putranya dengan uang agar putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana pada saat hari uposatha, serta untuk mepelajari beberapa syair Dhamma.

Sang Buddha menjawab, “Anathapindika! Hari ini, putramu telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, yang lebih baik daripada kekayaan kerajaan duniawi atau alam para dewa maupun alam para brahma.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 178 berikut:

Ada yang lebih baik
daripada kekuasaan mutlak atas bumi,
daripada pergi ke surga,
atau daripada memerintah seluruh dunia,
yakni hasil kemuliaan dari seorang suci
yang telah memenangkan arus (sotapatti-phala).

Kisah Pemberian Dana Yang Tiada Taranya

Suatu saat raja memberi dana makanan kepada Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya dalam jumlah besar. Saingan-saingannya, yang bersaing dengannya, telah mengatur upacara pemberian dana yang lainnya dalam jumlah yang lebih besar dari raja. Jadi, raja dan para saingannya bersaing dalam pemberian dana.

Akhirnya, ratu Mallika memikirkan sebuah rencana. Untuk melaksanakan rencana ini, ia meminta raja membangun sebuah paviliun besar. Berikutnya, ia meminta lima ratus buah payung putih memayungi lima ratus bhikkhu. Di tengah paviliun, mereka membuat sepuluh perahu yang telah diisi dengan wewangian dan dupa. Di sana juga terdapat dua ratus lima puluh orang putri, yang akan mengipasi ke lima ratus orang bhikkhu tersebut. Sedangkan saingan-saingan raja tidak memiliki putri-putri, payung-payung putih, ataupun gajah-gajah, mereka tidak lagi dapat bersaing dengan raja. Ketika semua persiapan telah selesai dilaksanakan, dana makanan diberikan. Setelah bersantap, raja mempersembahkan seluruh benda yang berada di paviliun, yang seharga empat belas crores.

Pada saat itu, dua menteri raja hadir. Salah seorang yang bernama Junha sangat senang dan memuji kemurahan hati raja atas pemberian dana kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Ia juga mengatakan bahwa pemberian yang sebesar itu hanya dapat dilakukan oleh seorang raja. Ia sangat senang karena raja akan membagi kebaikan atas perbuatan baiknya kepada semua mahluk. Dengan kata lain, menteri Junha bergembira atas kemurahan hati raja yang tiada taranya. Di lain pihak, menteri Kala berpikir bahwa raja hanya menghambur-hamburkan uang, dengan memberikan empat belas crores dalam sehari, dan karena setelah itu para bhikkhu akan kembali ke Vihara dan tidur.

Setelah bersantap, Sang Buddha menatap kepada orang-orang yang hadir dan mengetahui bagaimana perasaan menteri Kala. Kemudian, Beliau berpikir bahwa jika Ia menyampaikan khotbah panjang tentang pengertian, Kala akan bertambah kecewa, dan akibatnya akan lebih menderita dalam kehidupannya yang akan datang. Jadi, dengan perasaan kasihan terhadap Kala, Sang Buddha hanya menyampaikan khotbah singkat dan kembali ke Vihara Jetavana. Raja mengharapkan khotbah panjang tentang pengertian, oleh karena itu ia menjadi sangat sedih karena Sang Buddha hanya memberikan khotbah singkat. Raja berpikir bahwa ia telah gagal melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, dan akhirnya ia pergi ke vihara.

Begitu melihat raja, Sang Buddha berkata, “Raja yang agung! Anda seharusnya bergembira karena berhasil mempersembahkan dana yang tiada taranya (asadisadana). Sebuah kesempatan yang jarang sekali datangnya; dan datang hanya sekali selama kemunculan setiap Buddha. Tetapi menteri Kala merasa bahwa hal itu hanyalah sebuah pemborosan, dan sama sekali tidak berharga. Jadi, jika saya memberikan khotbah panjang, ia akan menjadi kecewa dan tidak senang, dan akibatnya, ia akan sangat menderita pada kehidupannya yang sekarang maupun pada kehidupan-kehidupan berikutnya. Itulah mengapa Saya berkhotbah sangat singkat sekali.

Kemudian Sang Buddha menambahkan,”Raja yang agung! Adalah suatu kebodohan tidak bergembira atas kemurahan hati yang telah diberikan oleh orang lain dan akan pergi ke alam yang rendah. Orang bijaksana bergembira atas kemurahan hati orang lain, dan melalui pengertian, mereka saling membagi keuntungan kebaikan dengan yang lainnya dan akan pergi ke tempat kediaman para dewa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 177 berikut:

Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa.
Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati.
Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi,

Kisah Cincamanavika

Pada saat Sang Buddha pergi mengajarkan Dhamma, banyak orang datang berduyun-duyun kepada-Nya. Pertapa keyakinan lain mengetahui bahwa para pengikut mereka menjadi berkurang. Mereka menjadi sangat marah, sehingga mereka membuat sebuah rencana yang akan merusak nama baik Sang Buddha. Mereka memanggil Cincamanavika yang sangat cantik, murid kesayangan mereka, dan berkata kepadanya, “Jika dalam hatimu terdapat keyakinan pada kami, tolonglah kami. Buatlah Samana Gotama menjadi malu.

Cincamanavika menyetujui untuk melaksanakan.

Pada malam itu, dia mengambil beberapa bunga dan pergi berkunjung ke Vihara Jetavana. Ketika orang-orang bertanya padanya kemana dia akan pergi, dia menjawab, “Apa gunanya kalian tahu kemana saya akan pergi?

Dia lalu bermalam di tempat para pertapa lain yang berada dekat Vihara Jetavana, dan dia akan kembali pagi-pagi sekali agar kelihatan bahwa dia telah bermalam di Vihara Jetavana. Ketika ditanya, dia akan menjawab, “Saya menghabiskan malam hari dengan Samana Gotama di kamar yang harum di Vihara Jetavana.

Setelah lewat tiga atau empat bulan, dia membungkus perutnya dengan kain agar dia kelihatan hamil. Setelah delapan atau sembilan bulan, dia membungkus perutnya dengan memasukkan papan kayu tipis ke dalamnya; ia juga memukuli paha dan kakinya agar kelihatan bengkak; ia juga pura-pura merasa lelah dan lesu. Dengan demikian, ia menggambarkan seorang wanita hamil yang sungguh-sungguh dalam kehamilan besar. Kemudian, pada malamnya, ia pergi ke Vihara Jetavana untuk menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha sedang menjelaskan Dhamma kepada sekumpulan bhikkhu dan umat awam. Melihat Beliau mengajar di atas mimbar, ia menuduh Sang Buddha demikian: ”O…, kamu Samana besar! Kamu hanya berkhotbah kepada orang lain. Saya sekarang hamil karena kamu, dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk persalinan saya. Kamu hanya tahu bagaimana menyenangkan dirimu sendiri!

Sang Buddha menghentikan khotbahnya untuk sementara dan berkata kepadanya, “Saudari, hanya kamu dan saya yang tahu, apakah kamu berkata yang sebenarnya atau tidak,

dan Cincamanavika menjawab, “Ya, kamu benar, bagaimana orang lain tahu apa yang hanya kamu dan saya ketahui?

Pada saat itu juga, Sakka, raja para dewa, mengetahui masalah yang terjadi di Vihara Jetavana, sehingga ia mengirim empat orang dewanya dalam bentuk tikus-tikus besar. Keempat ekor tikus tersebut pergi ke bawah pakaian Cincamanavika dan menggigit putus benang yang mengikat erat papan kayu di sekeliling perutnya. Pada saat benang tersebut putus, papan kayu terjatuh, memotong bagian depan kakinya.

Akhirnya, tipu muslihat Cincamanavika terbongkar, dan banyak orang yang berkerumun berteriak dengan marah, “Oh kamu perempuan jahat! Seorang pembohong dan penipu! Beraninya kamu menuduh Guru Agung kami!

Beberapa dari mereka meludahinya dan menggiringnya keluar. Ia lari secepat yang ia bisa, dan ketika ia telah pergi agak jauh, bumi terbelah dan retak, ia tertelan masuk ke dalam bumi.

Pada hari berikutnya, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang Cincamanavika, Sang Buddha mendekati mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seseorang yang tidak takut untuk berkata bohong, dan seseorang yang tidak perduli apa yang akan terjadi pada kehidupan yang akan datang, tidak akan ragu-ragu untuk berbuat jahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 176 berikut:

Orang yang melanggar salah satu Dhamma
(sila keempat, yakni selalu berkata bohong),
yang tidak memperdulikan dunia mendatang,
maka tak ada kejahatan yang tidak dilakukannya.

Kisah Tiga Puluh Bhikkhu

Suatu saat tiga puluh bhikkhu datang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka masuk, Y.A. Ananda, yang berada di samping Sang Buddha, meninggalkan ruangan dan menunggu di luar. Setelah beberapa waktu, Ananda Thera masuk, tetapi dia tidak menemukan seorang bhikkhu pun. Sehingga, dia bertanya kepada Sang Buddha kemana para bhikkhu itu telah pergi.

Kemudian Sang Buddha menjawab, “Ananda, kesemua bhikkhu itu, setelah mendengar khotbah saya, telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan dengan kemampuan batin luar biasa, mereka meninggalkan ruang ini dengan terbang di udara.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 175 berikut:

Kawanan angsa terbang menuju matahari,
orang-orang yang memiliki kekuatan gaib terbang di udara.
Orang bijaksana berjalan menuju kesucian
setelah menaklukkan Mara beserta bala tentaranya.

Kisah Gadis Penenun

Pada akhir upacara pemberian dana makanan di Alavi, Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidakkekalan dari kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha). Pada hari itu Sang Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini:

Hidupku adalah tidak pasti bagiku,
hanya kematianlah satu-satunya yang pasti.
Aku pasti mati;
hidupku berakhir dengan kematian.
Hidup tidaklah pasti;
kematian adalah pasti.

Sang Buddha juga menasehati orang-orang yang mendengarkan Beliau agar selalu sadar dan berusaha untuk memahami kesunyataan tentang kelompok kehidupan (khandha). Beliau juga berkata, “Seperti seseorang yang bersenjatakan tongkat atau tombak telah bersiap untuk bertemu dengan musuh (misal seekor ular berbisa), demikian pula halnya seseorang yang selalu sadar terhadap kematian akan menghadapi kematian dengan penuh kesadaran. Kemudian ia akan meninggalkan dunia ini untuk mencapai tujuan kebahagiaan (sugati).

Banyak orang yang tidak memperhatikan penjelasan di atas dengan serius, tetapi seorang gadis penenun muda berusia enam belas tahun mengerti makna penjelasan tersebut. Setelah memberikan khotbah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.

Selang tiga tahun kemudian, ketika Sang Buddha melihat dunia kehidupan, Beliau melihat penenun muda, dan mengetahui bahwa sudah saatnya bagi gadis itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sehingga Sang Buddha datang ke negara Alavi untuk menjelaskan Dhamma untuk kedua kalinya.

Ketika sang gadis mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba beserta lima ratus bhikkhu, dia ingin pergi dan mendengarkan khotbah yang akan diberikan oleh Sang Buddha. Tetapi, ayahnya juga meminta kepadanya untuk menggulung beberapa gulungan benang yang dibutuhkan dengan segera, sehingga dia dengan cepat menggulung beberapa gulungan dan membawanya kepada ayahnya. Dalam perjalanan menuju ke tempat ayahnya berada, dia berhenti untuk sementara di samping orang-orang yang telah tiba untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha.

Ketika itu Sang Buddha mengetahui bahwa gadis penenun muda akan datang untuk mendengarkan khotbah-Nya; Beliau juga mengetahui bahwa sang gadis akan meninggal pada saat dia pergi ke tempat penenunan. Oleh karena itu, sangatlah penting baginya untuk mendengarkan Dhamma dalam perjalanan menuju ke tempat penenunan dan bukan pada saat dia kembali. Jadi, ketika gadis penenun muda itu muncul dalam kumpulan orang-orang, Sang Buddha melihatnya. Ketika dia melihat Sang Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan penuh hormat mendekati Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha memberikan empat pertanyaan kepadanya dan dia menjawab semua pertanyaan tersebut. Pertanyaan dan jawaban diberikan seperti di bawah ini:

Pertanyaan 1, Dari mana asalmu?

Jawaban 1, Saya tidak tahu.

Pertanyaan 2, Kemana kamu akan pergi?

Jawaban 2, Saya tidak tahu.

Pertanyaan 3, Tidakkah kau tahu?

Jawaban 3, Ya, saya tahu.

Pertanyaan 4, Tahukah kamu?

Jawaban 4, Saya tidak tahu, Bhante.

Mendengar jawaban itu, orang-orang berpikir bahwa gadis penenun muda sangat tidak hormat. Kemudian, Sang Buddha meminta untuk menjelaskan apa maksud jawabannya, dan diapun menjelaskan.

Bhante! Engkau tahu bahwa saya datang dari rumah saya; saya mengartikan pertanyaan pertama Anda, Anda bermaksud untuk menanyakan dari kehidupan yang lampau manakah saya datang, karena itu jawaban saya, “Saya tidak tahu.”

Maksud pertanyaan kedua, pada kehidupan yang akan datang manakah akan saya tempuh setelah ini; oleh karena itu jawaban saya, “Saya tidak tahu.”

Maksud pertanyaan ketiga, apakah saya tidak tahu bahwa suatu hari saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, “Ya, saya tahu.”

Maksud pertanyaan terakhir apakah saya tahu kapan saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, “Saya tidak tahu.”

Sang Buddha sangat puas dengan penjelasannya dan berkata kepada orang-orang hadir, “Banyak dari kalian yang mungkin tidak mengerti dengan jelas maksud dari jawaban yang diberikan oleh gadis penenun muda. Mereka yang bodoh berada dalam kegelapan, seperti orang buta.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 174 berikut:

Dunia ini terselubung kegelapan,
dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas.
Bagaikan burung-burung kena jerat,
hanya sedikit yang dapat melepaskan diri;
demikian pula hanya sedikit orang
yang dapat pergi ke alam surga.

Gadis penenun muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat penenunan. Ketika dia sampai di sana, ayahnya tertidur di atas kursi peralatan tenun. Saat ayahnya terbangun dengan tiba-tiba, dia dengan tidak sengaja menarik gulungan dan ujungnya menusuk tepat di dada sang gadis. Gadis penenun muda meninggal dunia di tempat itu juga, dan ayahnya sangat sedih. Dengan berlinang air mata ayah gadis itu pergi menghadap Sang Buddha dan memohon agar Sang Buddha menerimanya sebagai bhikkhu. Kemudian, dia mencapai tingkat kesucian arahat.

Kisah Anggulimala Thera

Angulimala adalah putera seorang kepala pendeta di istana Raja Pasenadi dari Kosala. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Ketika dia sudah cukup umur, ia dikirim ke Taxila, sebuah universitas besar yang terkenal. Ahimsaka sangat pandai dan juga patuh kepada gurunya. Oleh karena itu ia disenangi oleh guru maupun istri gurunya.

Murid-murid yang lain menjadi iri hati kepadanya. Mereka pergi kepada gurunya dan dengan berbohong melaporkan bahwa Ahimsaka terlibat hubungan gelap dengan istri gurunya. Mulanya, sang guru tidak mempercayai mereka, tetapi setelah disampaikan beberapa kali dia mempercayai mereka.

Dia bersumpah untuk mengenyahkan Ahimsaka. Untuk melenyapkan anak tersebut harus dengan cara yang sangat kejam, sehingga dia memikirkan sebuah rencana yang lebih buruk daripada pembunuhan. Dia mengajarkan Ahimsaka untuk membunuh seribu orang lelaki ataupun wanita dan setelah kembali dia berjanji untuk memberikan kepada Ahimsaka pengetahuan yang tak ternilai. Anak itu ingin memiliki pengetahuan ini, tetapi sangat segan untuk membunuh. Terpaksa dia menyetujui untuk melaksanakan apa yang telah diajarkan kepadanya.

Ahimsaka melakukan pembunuhan manusia, dan tidak pernah lalai menghitung. Dia merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan nama Angulimala, dan menjadi pengacau daerah itu. Raja mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala, mendengar maksud raja. Karena cinta kepada anaknya, ia memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapau sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.

Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya. Karena hal itu, Agulimala akan menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana Angulimala berada.

Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam, sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat cemas untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Dia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya.

Ketika sedang menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan ia mengejar-Nya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar sehingga dirinya sangat lelah.

Sambil memperhatikan Sang Buddha, dia menangis, “O bhikkhu, berhenti! berhenti!

dan Sang Buddha menjawab, “Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti.

Angulimala tidak mengerti arti kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya, “O bhikkhu! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti?

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Aku berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti membunuh semua mahluk, Aku telah berhenti menyiksa semua mahluk, dan karena Aku telah mengembangkan diriKu dalam cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa mahluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah yang belum berhenti.

Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha, Angulimala berpikir, “Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana. Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu dia adalah Sang Buddha sendiri! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar.

Dengan berpikir demikian, dia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.

Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.

Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat di mana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka saling melemparkan batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan melukainya.

Dia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, “Angulimala anakku! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya).

Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).

Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha di manakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha menjawab, “Anakku telah merealisasi kebebasan akhir (parinibbana).

Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai parinibbana.

Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 173 berikut:

Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan
dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.

Kisah Sammajjana Thera

Sammajjana Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk menyapu halaman vihara. Pada waktu itu, Revata Thera juga tinggal di vihara, tetapi tidak seperti Sammajjana, Revata Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk bermeditasi atau pemusatan batin secara mendalam. Melihat kebiasaan Revata Thera, Sammajjana Thera berpikir bahwa Thera-Thera yang lain hanya bermalas-malasan saja menghabiskan waktunya.

Suatu hari Sammajjana pergi menemui Revata Thera dan berkata, “Kamu sangat malas, hidup dari pemberian makanan yang diberikan dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati, tidakkah kamu berpikir kamu sewaktu-waktu harus membersihkan lantai, halaman, atau tempat-tempat lain?

Revata Thera menjawab, “Teman, seorang bhikkhu tidak seharusnya menghabiskan seluruh waktunya untuk menyapu. Ia harus menyapu pagi-pagi sekali, kemudian pergi untuk menerima dana makanan. Setelah menyantap makanan, sambil merenungkan kondisi tubuhnya ia harus berusaha untuk menyadari kesunyataan tentang kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha), atau lainnya, membaca buku-buku pelajaran sampai malam tiba. Kemudian ia dapat melakukan lagi pekerjaan menyapu jika ia menginginkannya.

Sammajjana Thera dengan tekun mengikuti saran yang diberikan oleh Revata Thera dan tidak lama kemudian Sammajjana mencapai tingkat kesucian arahat.

Bhikkhu-bhikkhu lain mengetahui sampah yang tertimbun di halaman. Mereka bertanya kepada Sammajjana, mengapa ia tidak menyapu seperti biasanya, Sammajjana menjawab, “Ketika saya tidak sadar, saya setiap saat menyapu, tetapi sekarang saya tidak lagi tidak sadar.

Ketika para bhikkhu mendengar jawaban tersebut, mereka menjadi sangsi, sehingga mereka pergi menghadap Sang Buddha, dan berkata, “Bhante, Sammajjana Thera secara tidak benar mengatakan dirinya sendiri telah menjadi seorang arahat, ia mengatakan yang tidak benar.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, “Sammajjana telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat, ia mengatakan hal yang sebenarnya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 172 berikut:

Barang siapa yang sebelumnya pernah malas,
tetapi kemudian tidak malas,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.

Kisah Pangeran Abhaya

Suatu waktu, Pangeran Abhaya pulang kembali dengan kemenangan setelah berhasil memberantas sebuah pemberontakan di perbatasan negara. Raja Bimbisara sangat senang kepadanya sehingga selama tujuh hari, Abhaya yang telah memberikan kejayaan dan kemuliaan negara mendapat sambutan dan hiburan, bersama seorang gadis penari untuk menghiburnya.

Pada hari terakhir, ketika si penari sedang menghibur pangeran dan teman-temannya di taman, penari itu terkena stroke yang hebat, dia terjatuh dan meninggal dunia seketika. Pangeran terkejut dan amat sangat sedih. Dengan sedih, pangeran pergi menemui Sang Buddha untuk mencari pelipur lara.

Kepadanya Sang Buddha berkata, “O Pangeran, air mata yang engkau cucurkan melalui kelahiran yang berulang-ulang tidak dapat diukur. Kumpulan-kumpulan di dunia ini (khandha) adalah tempat dimana orang bodoh terlelap di dalamnya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 171 berikut:

Marilah, pandanglah dunia ini yang seperti kereta kerajaan yang penuh hiasan,
yang membuat orang bodoh terlelap di dalamnya.
Tetapi bagi orang yang mengetahui,
maka tak ada lagi ikatan dalam dirinya.

Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Pada suatu saat, lima ratus bhikkhu, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, pergi masuk ke hutan untuk melatih meditasi. Tetapi mereka mendapat kemajuan yang sangat sedikit, sehingga mereka kembali kepada Sang Buddha untuk menanyakan objek meditasi yang lebih cocok.

Dalam perjalanan menghadap Sang Buddha, mereka melihat fatamorgana, kemudian bermeditasi tentang hal itu. Segera setelah mereka memasuki halaman vihara, terjadi angin besar, hujan besar turun, gelembung-gelembung terbentuk di permukaan tanah dan segera menghilang.

Melihat gelembung-gelembung tadi, para bhikkhu merenung, “Tubuh kami ini tidak kekal seperti gelembung-gelembung tadi”, dan merasakan ketidakkekalan dari kumpulan-kumpulan itu (khandha).

Sang Buddha melihat mereka dari kamarNya yang harum dan terus menerus memancarkan cahaya, serta menerangi batin mereka.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 170 berikut:

Barangsiapa dapat memandang dunia ini seperti melihat busa atau seperti ia melihat fatamorgana, maka Raja Kematian tidak dapat menemukan dirinya.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Raja Suddhodana

Ketika Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu untuk pertama kalinya Beliau tinggal di Vihara Nigrodharama. Di sana Beliau menjelaskan Dhamma kepada sanak saudaranya. Raja Suddhodana berpikir bahwa Buddha Gotama, yang adalah anaknya sendiri, tidak akan pergi ke tempat lain, tetapi pasti akan datang di istananya untuk menerima dana makanan pada hari berikutnya; tetapi ia tidak dengan resmi mengundang Sang Buddha datang untuk menerima dana makanan. Bagaimanapun, pada hari berikutnya, ia menyediakan dana makanan untuk dua puluh ribu bhikkhu. Pada pagi hari itu Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha.

Yasodhara, istri Pangeran Siddhattha sebelum beliau meninggalkan hidup keduniawian, melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan dari jendela istana. Dia memberitahukan ayah mertuanya, Raja Suddhodana, dan sang raja tergesa-gesa menghampiri Sang Buddha. Raja memberitahukan Sang Buddha bahwa untuk seorang anggota keluarga Kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan. Kemudian Sang Buddha menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 168 dan 169 berikut:

Bangun! Jangan lengah!
Tempuhlah kehidupan benar.
Barang siapa menempuh kehidupan benar,
maka ia akan hidup bahagia
di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma
dan tak menempuh cara-cara jahat.
Barang siapa hidup sesuai Dhamma,
maka ia akan hidup bahagia di dunia ini
maupun di dunia selanjutnya.

Ayah Buddha Gotama mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Seorang Bhikkhu Muda

Suatu saat seorang bhikkhu muda menemani seorangan bhikkhu tua menuju ke rumah Visakha. Setelah menerima dana makanan, bhikkhu tua pergi ke tempat lain, meninggalkan bhikkhu muda di rumah Visakha. Cucu perempuan Visakha sedang menyaring air untuk bhikkhu muda. Ketika ia melihat bayangannya sendiri pada panci besar ia tersenyum. Melihat ia tersenyum, bhikkhu muda menatapnya dan balas tersenyum. Ketika ia melihat bhikkhu muda itu menatapnya dan tersenyum padanya, ia menjadi marah, dan menangis lalu berkata, “Kamu, kepala gundul! Mengapa kau tersenyum padaku?

Sang bhikkhu muda menjawab, “Dirimu adalah kepala gundul; ayah dan ibumu juga berkepala gundul!

Kemudian, mereka bertengkar dan sang gadis dengan bercucuran air mata pergi kepada neneknya.

Visakha datang dan berkata kepada bhikkhu muda, “Tolong janganlah marah kepada cucu saya. Bukankah seorang bhikkhu memang berkepala gundul, kuku tangan dan kakinya dipotong, dan memakai jubah yang terbuat dari potongan-potangan kain, bepergian untuk menerima dana makanan dengan sebuah mangkuk yang bundar. Apakah yang telah dikatakan oleh gadis muda ini benar?

Sang Bhikku muda menjawab, “Itu memang benar, tapi mengapa ia harus memaki saya karena hal tersebut?

Kemudian bhikkhu yang lebih tua datang kembali, tetapi mereka berdua, Visakha dan bhikkhu tua gagal mendamaikan bhikkhu muda dan sang gadis.

Tidak lama kemudian, Sang Buddha tiba dan mempelajari tentang pertengkaran tadi. Sang Buddha tahu bahwa sudah saatnya bagi bhikkhu muda untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dalam usaha untuk membuat bhikkhu muda lebih mendengarkan kata-kataNya, Beliau nampaknya berpihak kepadanya dan berkata kepada Visakha, “Visakha ada alasan apa bagi cucumu untuk menegur putraku sebagai seorang berkepala gundul hanya karena ia memiliki kepala yang gundul? Bagaimanapun, ia menggunduli kepalanya untuk mengikutiKu, bukan?

Mendengar kata-kata ini bhikkhu muda berlutut, memberi hormat kepada Sang Buddha, dan berkata, “Bhante, hanya Bhante yang mengerti saya; bukanlah guru saya ataupun dermawan kaya dari vihara ini yang mengerti saya.

Sang Buddha tahu bahwa sang bhikkhu kemudian mau menerima dan Beliau berkata, “Tersenyum penuh hawa nafsu adalah tercela, adalah tidak benar dan tidak pantas memiliki pikiran-pikiran jahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 167 berikut :

Janganlah mengejar sesuatu yang rendah,
janganlah hidup dalam kelengahan.
Janganlah menganut pandangan-pandangan salah,
dan janganlah menjadi pendukung keduniawian.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Attadattha Thera

Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan mencapai parinibbana dalam waktu 4 bulan lagi, banyak bhikkhu puthujjana (bhikkhu-bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian) merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, lalu mereka berusaha dekat dengan Sang Buddha.

Attadattha, meskipun tidak pergi ke hadapan Sang Buddha, bertekat untuk mencapai tingkat kesucian arahat selama Sang Buddha masih hidup, berusaha keras dalam latihan meditasi. Bhikkhu-bhikkhu lain yang tidak memahaminya, membawanya di hadapan Sang Buddha dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini tidak terlihat mencintai dan memuja-Mu seperti yang kami lakukan, ia hanya menyendiri.

Attadattha Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa ia sedang berusaha untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha mencapai parinibbana, dan itulah alasannya mengapa ia tidak berada dekat Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, barang siapa yang mencintai dan menghormati-Ku seharusnya berkelakuan seperti Attadattha. Kalian tidak menghormat saya hanya dengan memberikan bunga-bunga, wangi-wangian, dupa, atau datang menjenguk-Ku. Kalian memberi penghormatan kepada saya bila mempraktekkan Dhamma yang telah Kuajarkan kepada kalian seperti Lokuttara Dhamma.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 166 berikut :

Jangan karena demi kesejahteraan orang lain
lalu seseorang melalaikan kesejahteraan sendiri.
Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri,
hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya.

Attadattha Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Upasaka Culakala

Culakala adalah seorang upasaka yang sangat mentaati peraturan uposatha pada hari-hari tertentu dan tinggal sepanjang malam di Vihara Jetavana, untuk mendengarkan uraian Dhamma. Keesokan pagi harinya, ketika ia mencuci muka di kolam dekat vihara, beberapa pencuri meninggalkan seberkas barang curian di dekatnya. Pemilik barang melihat Culakala berada dekat barang-barangnya yang dicuri. Mengira Culakala adalah pencurinya, ia memukulnya dengan keras. Untunglah beberapa pelayan wanita yang datang untuk mengambil air dan menyatakan bahwa mereka mengenalinya, bahwa ia bukanlah pencuri. Kemudian Culakala dilepaskan.

Ketika Sang Buddha mendengar hal tersebut, Beliau berkata kepada Culakala, “Kamu dilepaskan tidak hanya karena pelayan-pelayan wanita berkata bahwa kamu bukanlah pencuri, tetapi juga karena kamu tidak mencuri dan oleh sebab itu kamu tidak bersalah. Barang siapa yang berbuat jahat akan ke alam neraka (niraya), tetapi barang siapa yang berbuat baik akan terlahir kembali di alam sorga (dewa) atau merealisir kebebasan mutlak (nibbana).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 165 berikut :

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

Upasaka Culakala mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Kala Thera

Di Savatthi ada seorang wanita tua yang melayani seorang Thera bernama Kala seperti putranya sendiri. Suatu hari, wanita tua ini mendengar dari tetangganya, mengenai kebaikan hati Sang Buddha, ia sangat berharap untuk pergi ke Vihara Jetavana dan mendengarkan khotbah Sang Buddha. Lalu ia mengatakan kepada Kala Thera tentang harapannya tersebut, tetapi Kala Thera menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu. Tiga kali wanita tersebut mengatakan kepada Kala Thera mengenai keinginannya tersebut, tetapi Kala Thera selalu mencegahnya.

Pada suatu hari, dengan tidak mengindahkan larangannya, wanita itu memutuskan untuk pergi ke vihara. Setelah meminta putrinya untuk menyediakan kebutuhan Kala Thera, ia meninggalkan rumahnya. Ketika Kala Thera datang saat berkeliling pindapata, ia mengetahui wanita tersebut telah pergi ke Vihara Jetavana. Kemudian ia berpikir, “Kemungkinan wanita di rumah ini telah hilang kepercayaannya kepada saya.

Lalu dengan cepat dan tergesah-gesa ia menyusul wanita tersebut ke vihara. Di sana ia menemukan wanita itu sedang mendengarkan khotbah yang diberkan oleh Sang Buddha. Ia mendekati Sang Buddha dengan perasaan hormat dan berkata. “Bhante, wanita ini sangat bodoh, ia tidak akan mengerti Dhamma yang tinggi, tolong ajari ia hanya mengenai pemberian (dana) dan kesusilaan (sila).

Sang Buddha mengetahui dengan baik bahwa Kala Thera sedang membicarakan kegusarannya dan mempunyai maksud yang tersembunyi. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Kala Thera, “Bhikkhu ! Karena kamu bodoh dan berpandangan salah, kamu merendahkan ajaran-Ku. Kamu membuat hancur dirimu sendiri; kenyataannya, kamu hanya mencoba untuk menghancurkan dirimu sendiri.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 164 berikut :

Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina
ajaran orang mulia, orang suci dan orang bijak.
Ia akan menerima akibatnya yang buruk,
seperti rumput kastha yang berbuah
hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.

Wanita tua itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.