Kisah Sariputta Thera

Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhu-bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhu-bhikkhu itu, Beliau bertanya, “Anakku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima kenyataan bahwa dengan cara bermeditasi, seseorang dapat merealisasi nibbana?

Sariputta menjawab, “Bhante, berkaitan dengan perealisasian nibbana dengan meditasi, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya kepada-Mu. Pertanyaan itu hanya bagi seseorang yang belum berhasil merealisasikan nibbana, yang menerima kenyataan dari orang lain.

Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat oleh para bhikkhu. Mereka berpikir: “Sariputta belum melenyapkan pandangan salah, sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka makna sebenarnya dari jawaban Sariputta.

Para bhikkhu, jawaban Sariputa dapat disederhanakan menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai dengan meditasi, tetapi ia menerima hal itu berdasarkan hasil pengalamannya sendiri, dan bukan karena saya telah mengatakan hal itu atau orang lain mengatakan hal itu. Sariputta yakin terhadap-Ku. Ia juga yakin terhadap akibat-akibat dari perbuatan baik dan jahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 97 berikut:

Orang yang telah bebas dari ketahyulan,
yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana),
yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir)
yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat),
yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.

Kisah Seorang Samanera dari Kosambi

Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi samanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah objek meditasi. ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada objek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya, dan juga berkat kamma baiknya di waktu lampau, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambut kepalanya.

Beberapa waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah vihara desa. Tissa thera tidur, tetapi samanera muda duduk sepanjang malam di samping kasur Tissa thera. Pada waktu fajar menyingsing, Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak.

Samanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksanakan tugasnya mempersiapkan air pencuci muka dan mulut Tissa Thera, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika samanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada Tissa Thera, Tissa Thera mencelanya dan berkata bahwa ia seharusnya mempersembahkan dengan dua tangan.

Kemudian, setelah Tissa Thera mengetahui bagaimana samanera itu rusak matanya, seketika itu ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah, ia memohon maaf kepada samanera.

Tetapi samanera berkata bahwa itu bukan kesalahan Tissa Thera, juga bukan kesalahannya sendiri, tapi merupakan buah/akibat perbuatan (karma) lampau, sehingga Tissa Thera tidak lagi terlalu sedih. Tetapi Tissa Thera tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalahan yang tak dikehendakinya.

Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Savatthi dan sampai di Vihara Jetavana dimana Sang Buddha menetap. Tissa Thera berkata kepada Sang Buddha bahwa samanera muda yang datang bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.

Sang Buddha lalu menjawab: “Anakku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun. ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 96 berikut ini:

Orang suci yang memiliki pengetahuan sejati,
yang telah terbebas, damai dan seimbang batinnya,
maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.

Kisah Sariputta Thera

Pada suatu akhir masa vassa, Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan menfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya.

Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan: apakah hal itu benar?

Sariputta menjawab, "Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan kejahatan terhadap bhikkhu pengikutnya? Saya seperti tanah yang tidak merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan dengan tanduk yang patah, saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu."

Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat tertekan dan menderita. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu. Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf. Sariputta thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah.

Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh, seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 95 berikut ini:

Bagaikan tanah, demikian pula orang suci.
Tidak pernah marah,
teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila),
bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur.
Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.

Kisah Mahakaccayana Thera

Pada saat bulan purnama, yang juga merupakan akhir masa vassa, Sakka bersama sejumlah besar dewa datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, yang pada saat itu tinggal di Pubbarama, sebuah vihara yang dibangun oleh Visakha. Waktu itu Sang Buddha disertai oleh murid-murid utama dan semua bhikkhu senior.

Mahakaccayana Thera yang bervassa di Avanti, belum tiba dan tempat duduk untuk beliau masih kosong. Sakka memberi hormat kepada Sang Buddha dengan bunga, dupa, dan wangi-wangian. Pada saat Sakka melihat tempat duduk yang masih kosong, ia mengumumkan agar Mahakaccayana Thera dapat datang segera, sehingga ia dapat menyembah kepadanya. Seketika Mahakaccayana Thera datang, Sakka sangat senang dan dengan tidak sabar mempersembahkan bunga, dupa, dan wangi-wangian.

Para bhikkhu terpesona oleh Sakka yang menunjukkan kesetiaannya kepada Mahakaccayana, tetapi beberapa bhikkhu berpikir bahwa Sakka hanya menyukai Mahakaccayana.

Kepada mereka sang Buddha berkata “Seseorang yang dapat mengendalikan indrianya dicintai oleh para dewa dan manusia.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 94 berikut ini:

Ia yang telah menaklukkan dirinya,
bagaikan seorang kusir mengendalikan kudanya,
yang telah bebas dari kesombongan dan kekotoran batin,
maka para dewa pun akan mengasihi orang suci seperti ini.

Kisah Anuruddha Thera

Suatu hari Anuruddha Thera mencari beberapa kain bekas di dalam timbunan sampah untuk dibuat jubah, sebab jubah lamanya telah kotor dan koyak. Jalini, istrinya pada kehidupan yang lampau, dan sekarang berada di alam dewa melihatnya. Mengetahui bahwa sang thera sedang mencari beberapa kain bekas, ia mengambil tiga lembar kain dari alam dewa dan menaruhnya ke dalam timbunan sampah, serta membuatnya terlihat. Anuruddha Thera menemukan kain tersebut dan membawanya ke vihara.

Ketika beliau sedang membuat jubah, Sang Buddha datang beserta murid-murid utama dan beberapa murid senior Beliau. Mereka menolong menjahit jubah.

Ketika itu, Jalini, dalam ujud gadis muda datang ke desa dan memperhatikan kedatangan Sang Buddha beserta murid Beliau dan juga bagaimana mereka menolong Anuruddha Thera. Ia menganjurkan penduduk desa untuk mengirimkan makanan yang lezat ke vihara dan sebagai akibatnya terjadi kelebihan makanan. Bhikkhu yang lain melihat terlalu banyak makanan tersisa, mencela Anuruddha Thera.

Anuruddha Thera seharusnya berkata kepada keluarga dan murid-muridnya agar mengirim makanan secukupnya, mungkin ia ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak pengikut.

Kepada para bhikkhu itu, Sang Buddha berkata, “Bhikkhu janganlah berpikir: anak-Ku telah berkata kepada keluarga dan murid-muridnya untuk mengirimkan bubur nasi dan makanan lainnya, seorang arahat tidak membicarakan perihal makanan dan pakaian. Jumlah makanan berlebihan yang dikirimkan ke vihara pagi hari ini berasal dari kemauan makhluk alam lain dan bukan dari manusia.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 93 berikut ini:

Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin,
yang tidak lagi terikat pada makanan,
yang telah menyadari Kebebasan Mutlak,
maka jejaknya tidak dapat dilacak,
bagaikan burung-burung di angkasa.

Kisah Belatthasisa Thera

Belatthasisa Thera, setelah pergi berpindapatta di suatu desa, berhenti di tepi jalan dan memakan makanannya. Setelah makan, ia meneruskan berpindapatta untuk memperoleh dana makanan lagi. Ketika telah merasa cukup, ia kembali ke vihara, mengeringkan nasi dan menyimpannya. Jadi ia tidak perlu berpindapatta setiap hari, sehingga ia dapat bermeditasi Jhana selama dua atau tiga hari. Begitu selesai meditasi, ia memakan nasi kering yang telah disimpannya, setelah merendamnya terlebih dahulu dalam air, Bhikkhu-bhikkhu lain berpikiran buruk terhadap kelakuan thera itu. Mereka melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha.

Sang Buddha berpikir, jika hal itu ditiru oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya, ada kemungkinan menjadi disalahgunakan. Oleh karena itu, Beliau melarang para bhikkhu untuk menyimpan makanan. Beliau juga menganjurkan para bhikkhu agar berusaha mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian hidupnya dengan tidak memiliki barang-barang selain keperluan bhikkhu.

Sedangkan untuk Belatthasisa, ia menyimpan nasi sebelum peraturan ditetapkan, lagi pula ia tidak serakah terhadap makanan, tetapi hanya menghemat waktu untuk keperluan bermeditasi. Sang Buddha menetapkan bahwa ia tidak bersalah dan tidak tercela.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 92 berikut ini:

Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi,
yang sederhana dalam makanan,
yang telah mencapai “Kebebasan Mutlak”,
maka jejak mereka tidak dapat dilacak,
bagaikan burung-burung di angkasa.

Kisah Mahakassapa Thera

Pada suatu saat, Sang Buddha menjalani masa vassa di Rajagaha, bersama sejumlah bhikkhu. Sekitar dua minggu sebelum akhir masa vassa, Sang Buddha memberitahu para bhikkhu bahwa tidak lama lagi ia akan meninggalkan Rajagaha dan mengatakan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk keberangkatan tersebut.

Sebagian bhikkhu menjahit dan mewarnai jubah baru mereka dan sebagian lagi mencuci jubah lama. Ketika beberapa bhikkhu melihat Mahakassapa mencuci jubahnya, mereka berpikir, “Terdapat banyak umat awam di dalam maupun di luar kota Rajagaha yang mencintai dan menghormati Mahakassapa Thera dan secara terus-menerus memenuhi semua kebutuhannya. Apakah mungkin Mahakassapa Thera meninggalkan umat awam di Rajagaha, dan mengikuti Sang Buddha pergi?

Pada akhir hari kelima belas, pada malam sebelum keberangkatan, Sang Buddha mengatakan bahwa di sini akan banyak upacara seperti upacara persembahan dana makanan, pentahbisan samanera, pembakaran jenazah, dan lain sebagainya. Maka tidaklah tepat jika semua bhikkhu meninggalkan Rajagaha. Jadi Beliau memutuskan sejumlah bhikkhu tetap tinggal di Vihara Veluvana dan orang yang paling cocok adalah Mahakassapa Thera. Oleh karena itu, Mahakassapa Thera dan beberapa bhikkhu muda tetap tinggal di Rajagaha.

Kemudian beberapa bhikkhu lainnya berkata, “Mahakassapa tidak menyertai Sang Buddha, seperti yang kita perkirakan!

Sang Buddha yang mendengar ucapan mereka, berkata: “Para bhikkhu! Apakah kamu bermaksud mengatakan bahwa Mahakassapa Thera melekat kepada murid umat awam di Rajagaha dan pada semua hal yang mereka persembahkan kepadanya? Kamu semua keliru. Anak-Ku Mahakassapa tinggal disini karena perintah-Ku, ia tidak terikat kepada segala hal yang ada disini.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 91 berikut ini:

Orang yang telah telah sadar dan meninggalkan kehidupan rumah tangga,
tidak lagi terikat pada tempat kediaman.
Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam,
demikianlah mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.