Kisah Ananda, Seorang Hartawan

Tinggallah seorang hartawan yang sangat kaya bernama Ananda di Savatthi. Meskipun dia memiliki delapan crore, dia tidak mau memberikan sesuatu apapun untuk berdana. Kepada anaknya Mulasiri, dia sering mengatakan, “Jangan berpikir bahwa kekayaan yang kita miliki saat ini cukup banyak. Jangan berikan sesuatu apapun yang kau punyai, untukmu buatlah semakin bertambah. Jika tidak, kekayaanmu semakin berkurang.”

Orang kaya ini memiliki lima guci berisi emas yang dikubur di dalam rumahnya, dan ia meninggal dunia tanpa memberitahukan tempat penyimpanan guci itu kepada putranya.

Ananda, orang kaya yang telah meninggal tadi, dilahirkan di sebuah perkampungan pengemis, tidak jauh dari Savatthi. Waktu ibunya sedang mengandung, penghasilan dan keberuntungan para pengemis menurun. Penduduk perkampungan itu berpikir bahwa ada seseorang yang tidak beruntung dan menyebabkan kesialan di antara mereka. Dengan membagi mereka kedalam kelompok-kelompok, mereka mengambil kesimpulan bahwa pengemis wanita yang sedang mengandung itu mendatangkan kesialan bagi mereka.

Ia diusir keluar dari desa. Ketika anaknya lahir, anaknya sangat jelek dan menjijikan. Jika wanita itu pergi mengemis sendirian ia akan memperoleh hasil seperti biasa, tetapi jika ia pergi bersama putranya, ia tidak mendapatkan apa-apa. Maka, ketika putranya bertambah dewasa dan dapat berjalan sendiri, ibunya memasang tanda di tangannya dan kemudian meninggalkannya.

Ketika pengemis muda itu berkelana ke Savatthi, ia mengingat rumahnya dan kehidupannya yang lampau. Ia mengunjungi rumah tersebut. Anak-anak dari putranya, Mulasiri, melihatnya. Mereka sangat ketakutan melihat penampilannya yang buruk. Pelayan-pelayan kemudian memukulinya dan mendorongnya keluar rumah.

Sang Buddha yang sedang melakukan pindapatta melihat peristiwa itu dan meminta Y.A. Ananda untuk mengundang Mulasiri. Ketika Mulasiri datang, Sang Buddha memberitahukan bahwa pengemis muda tadi adalah ayahnya sendiri pada kehidupan yang lampau. Tetapi Mulasiri tidak mempercayainya.

Maka Sang Buddha menyuruh pengemis muda itu untuk menunjukkan dimana lima buah guci emas tersebut dikubur. Akhirnya Mulasiri menerima kenyataan yang ada, dan sejak itu ia menjadi umat awam pengikut Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 62 berikut:

"Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku,"
demikianlah pikiran orang bodoh.
Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya,
bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu menjadi miliknya?

Kisah Murid yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera

Ketika Mahakassapa Thera bersemayam dekat Rajagaha, beliau tinggal bersama dua orang bhikkhu muda. Salah satu bhikkhu tersebut sangat hormat, patuh, dan taat kepada Mahakassapa Thera. Tetapi bhikkhu yang satu lagi tidak seperti itu. Ketika Mahakassapa Thera mencela kekurang-taatan melaksanakan tugas-tugas murid yang belakangan, murid tersebut sangat kecewa.

Pada suatu kesempatan, ia pergi ke salah satu rumah umat awam siswa Mahakassapa Thera, dan membohongi mereka bahwa Sang Thera sedang sakit. Ia mendapatkan beberapa makanan dari mereka untuk Mahakassapa Thera. Tetapi ia makan makanan tersebut di perjalanan. Ketika sang thera menasehati tentang kelakuannya itu, bhikkhu tersebut menjadi sangat marah.

Keesokan harinya ketika Mahakassapa Thera pergi keluar untuk berpindapatta, bhikkhu muda yang bodoh ini tidak ikut. Ia memecahkan tempat air dan kuali, serta membakar vihara.

Seorang bhikkhu dari Rajagaha menceritakan peristiwa itu kepada Sang Buddha, Sang Buddha mengatakan lebih baik Mahakassapa Thera tinggal sendirian daripada tinggal bersama orang bodoh.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 61 berikut:

Apabila dalam pengembaraan,
seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya,
maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri.
Janganlah bergaul dengan orang bodoh.

Bhikkhu dari Rajagaha tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Seorang Pemuda

Suatu hari Raja Pasenadi dari Kosala sedang berjalan-jalan di kota. Secara tidak sengaja beliau melihat seorang wanita muda berdiri dekat jendela rumahnya dan beliau langsung jatuh cinta. Raja mencoba untuk menemukan berbagai cara dan kesempatan untuk mendapatkannya. Setelah mengetahui bahwa wanita muda itu telah menikah, Raja memanggil suami wanita muda tersebut dan dijadikan pelayan di istana.

Suatu ketika raja memerintahkan suami wanita muda itu untuk melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Pemuda itu diperintahkan untuk pergi ke suatu tempat, yaitu satu yojana (dua belas mil) jauhnya dari Savatthi, serta membawa pulang beberapa bunga teratai Kumuda dan sedikit tanah merah yang dikenal dengan nama Arunavati, tanahnya Naga, dan kembali ke Savatthi pada sore yang sama, pada waktu raja mandi.

Tujuan raja adalah untuk membunuh suami wanita muda tersebut, jika ia gagal kembali pada waktu yang telah ditentukan, dan mengambil wanita muda itu sebagai istrinya.

Pemuda itu mengambil ransum makanan dari istrinya dengan tergesa-gesa, dan segera berangkat untuk melaksanakan perintah raja. Di perjalanan, pemuda itu membagi bekal makanannya kepada seorang pengembara. Dia juga melemparkan sedikit nasi ke dalam air dan berteriak: "O, makhluk-makhluk penjaga dan naga-naga penghuni sungai ini! Raja Pasenadi telah menyuruhku untuk mengambil beberapa bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati untuk beliau. Hari ini aku telah membagi makananku dengan seorang pengembara; aku juga memberi makanan buat ikan-ikan di sungai; sekarang aku juga membagi manfaat perbuatan baikku yang telah aku lakukan hari ini denganmu. Berilah aku bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati." Raja naga mendengarnya. Dengan menyamar sebagai orang tua memberikan bunga teratai dan tanah merah yang diharapkan.

Sore hari Raja Pasenadi yang cemas, seandainya pemuda tersebut datang kembali tepat pada waktunya, telah memerintahkan untuk menutup gerbang kota lebih awal. Setelah mengetahui bahwa pintu gerbang kota telah ditutup, maka pemuda tadi meletakkan tanah merah pada dinding kota dan menempelinya dengan bunga teratai.

Kemudian dia menyatakan dengan keras: “O, para warga kota! Jadilah saksiku! Hari ini aku telah memenuhi tugasku tepat pada waktunya seperti yang telah diperintahkan oleh Raja. Raja Pasenadi, tanpa ada keadilan, merencanakan untuk membunuhku.”

Setelah itu pemuda tadi munuju Vihara Jetavana untuk mencari perlindungan dan menghibur dirinya di tempat yang penuh kedamaian tersebut.

Di lain pihak Raja Pasenadi yang digoda oleh nafsu seksualnya, tidak dapat tidur, dan terus memikirkan bagaimana menyingkirkan suami wanita muda itu dan memperistrinya. Tengah malam beliau mendengar suara-suara aneh; yang sesungguhnya merupakan suara-suara yang menyayat hati dari empat makhluk menderita di alam Lohakumbhi Niraya. Sang Raja sangat ketakutan mendengar suara-suara yang mengerikan tersebut. Keesokan paginya Raja Pasenadi mengunjungi Sang Buddha, seperti yang disarankan oleh Ratu Mallika.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan tentang empat suara yang didengar raja pada malam hari, beliau mengatakan bahwa suara-suara itu merupakan suara-suara empat makhluk, yang merupakan putra dari seorang hartawan yang hidup pada masa Buddha Kassapa, dan sekarang mereka menderita di Lohakumbhi Niraya, sebab mereka telah melakukan perzinaan dengan istri-istri orang lain.

Raja akhirnya menyadari perbuatan buruk dan akibat yang diperoleh. Raja berjanji tidak akan menginginkan istri orang lain lagi. “Kejadian itu sama dengan nafsu keinginanku untuk memiliki istri orang lain yang membuatku tersiksa dan tidak dapat tidur,” pikir beliau.

Kemudian Raja Pasenadi mengatakan kepada Sang Buddha, "Bhante, sekarang saya menyadari bagaimana lamanya malam untuk seseorang yang tidak dapat tidur." Pemuda tadi juga mengatakan, "Bhante, saya telah melakukan perjalanan penuh satu yojana kemarin, saya juga mengetahui bagaimana panjangnya satu yojana bagi seseorang yang lelah.”

Sang Buddha kemudian membabarkan syair 60 dengan menggabungkan kedua pernyataan di atas seperti berikut ini:

Malam terasa panjang bagi orang yang berjaga,
satu yojana terasa jauh bagi orang yang lelah;
sungguh panjang siklus kehidupan bagi orang bodoh
yang tidak mengenal Ajaran Benar.

Pemuda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah kotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Garahadinna

Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.

Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna seringkali berkata kepada Sirigutta, “Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha? Kemarilah, jadilah pengikut guruku.” Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kapada Garahadinna, “Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?” Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui segalanya. Dengan kekuatannya, dia dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.

Sirigutta ingin mengetahui kebenaran tentang Nigantha, apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan untuk mengetahui pikiran seseorang, masa lampau, sekarang dan masa depan seseorang.

Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.

Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilahkan untuk masuk satu per satu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.

Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, “Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?” Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.

Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.

Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangnya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga menunjukkan rasa takut undangan tersebut mungkin suatu jebakan.

Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.

Garahadinna membuat sebuah parit, dipenuhi dengan bara yang menyala dan ditutup dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang, agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.

Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridnya duduk.

Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: “Bantulah saya, teman. Bukan keinginan saya untuk membalas dendam. Saya telah melakukan perbuatan yang salah. Rencana buruk saya tidak ada yang berpengaruh terhadap semua gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. Tolonglah saya.”

Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur, semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut kemudian disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya.

Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan Beliau berkata, “Mereka yang tidak-tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 58 dan 59 berikut ini:

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

Begitu juga di antara orang duniawi,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna,
bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.

Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.

Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.

Kisah Godhika Thera

Godhika Thera, pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai kemajuan, beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.

Tanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.

Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan dimana Godhika Thera tersebut dilahirkan, tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang Buddha dan bertanya dimana Godhika Thera sekarang. Sang Buddha menjawab, “Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran moral, ia mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah meninggal dunia.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 57 berikut:

Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.

Kisah Mahakassapa Thera

Setelah mencapai Nirodhasamapatti (pencerapan batin mendalam), Mahakassapa Thera memasuki suatu desa yang miskin di kota Rajagaha untuk berpindapatta. Beliau bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi orang-orang miskin tersebut untuk memperoleh jasa baik sebagai hasil berdana kepada seseorang yang baru saja mencapai Nirodhasamapatti.

Sakka, raja para dewa, yang berharap mendapat kesempatan untuk berdana kepada Mahakassapa Thera, menyamar sebagai tukang tenun yang sudah tua dan miskin dan datang ke Rajagaha dengan istrinya Sujata yang menyamar sebagai wanita tua.

Mahakassapa Thera berdiri di depan pintu rumah mereka. Tukang tenun yang sudah tua itu mengambil mangkuk dari Mahakassapa Thera dan mengisi mangkuk tersebut penuh dengan nasi dan kari, dan harumnya kari tersebut menyebar ke seluruh kota. Kejadian ini menyadarkan Mahakassapa Thera bahwa orang tersebut bukan manusia biasa. Dia menghampiri untuk meyakinkan bahwa orang tersebut adalah Sakka.

Sakka mengakui siapa dia sebenarnya dan menyatakan bahwa dia juga miskin, sebab dia jarang mempunyai kesempatan untuk mendanakan sesuatu kepada seseorang selama masa kehidupan para Buddha. Setelah mengatakan hal tersebut, Sakka dan istrinya meninggalkan Mahakassapa Thera; setelah memberikan penghormatan kepadanya.

Sang Buddha, dari vihara tempat Beliau tinggal, mengetahui bahwa Sakka dan Sujata telah pergi dan mengatakan kepada para bhikkhu tentang dana makanan dari Sakka kepada Mahakassapa Thera. Para bhikkhu kagum bagaimana Sakka mengetahui bahwa Mahakassapa Thera baru mencapai Nirodhasamapatti, dan merupakan waktu yang sangat tepat dan bermanfaat baginya untuk berdana kepada Sang Thera. Pertanyaan ini diajukan kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, kebajikan seseorang seperti putraKu, Mahakassapa Thera, menyebar luas dan jauh; bahkan mencapai alam dewa. Karena timbunan perbuatan baiknya, Sakka sendiri telah datang untuk berdana makanan kepadanya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 56 berikut:

Tidaklah seberapa,
harumnya bunga tagara dan kayu cendana;
tetapi harumnya mereka,
yang memiliki sila (kebajikan),
menyebar sampai ke surga.

Kisah Pertanyaan Ananda

Di suatu senja, Y.A. Ananda sedang duduk sendiri. Dalam pikiran beliau timbul masalah yang berkaitan dengan bau dan wangi-wangian. Ia berpikir: “Harumnya kayu, harumnya bunga-bunga, dan harumnya akar-akaran semuanya menyebar searah dengan arah angin, tetapi tidak bisa berlawanan dengan arah angin. Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat melawan arah angin? Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat merebak ke seluruh dunia?”

Tanpa menjawab pertanyaannya sendiri, Y.A.Ananda menghampiri Sang Buddha dan meminta jawaban dari-Nya.

Sang Buddha mengatakan, “Ananda, andai saja ada seseorang yang berlindung terhadap Tiga Permata (Buddha, Dhamma, Sangha), yang melaksanakan lima latihan sila, yang murah hati dan tidak kikir, seseorang yang sungguh bijaksana dan layak memperoleh pujian. Kebajikan orang tersebut akan menyebar jauh dan luas, dan para bhikkhu, brahmana dan semua umat akan menghormatinya di manapun ia tinggal.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 54 dan 55 berikut :

Harumnya bunga,
tidak dapat melawan arah angin.
Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati.
Tetapi harumnya kebajikan,
dapat melawan arah angin;
harumnya nama orang bajik dapat menyebar ke segenap penjuru.

Harumnya kebajikan,
adalah jauh melebihi harumnya kayu cendana,
bunga tagara, teratai maupun melati.

Kisah Visakha

Seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Danancaya, dari istrinya Sumanadevi mempunyai puteri yang dinamai Visakha. Visakha juga merupakan cucu dari Mendaka, salah seorang dari lima hartawan yang ada di wilayah kerajaan Raja Bimbisara. Ketika Visakha berusia tujuh belas tahun, Sang Buddha berkunjung ke Bhaddiya.

Pada suatu kesempatan hartawan Mendaka mengajak Visakha dan lima ratus pengawalnya untuk memberikan penghormatan pada Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Visakha, kakeknya dan semua lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Ketika Visakha dewasa, dia menikah dengan Punnavaddhana, putera Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Suatu hari, ketika Migara sedang makan siang, seorang bhikkhu berhenti untuk berpindapatta di rumah orang tersebut; tetapi Migara menolak bhikkhu tersebut.

Visakha melihat hal ini, kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut: “Maafkan saya, teruslah berjalan bhante, ayah mertua saya hanya makan makanan basi.”

Mendengar hal itu Migara menjadi sangat marah dan menyuruhnya untuk pergi. Tetapi Visakha mengatakan bahwa ia tidak akan pergi, dan dia akan memanggil delapan wali yang dikirim oleh ayahnya untuk menemaninya dan menasehatinya. Wali-wali tersebut akan memutuskan apakah Visakha bersalah atau tidak bersalah.

Ketika para wali telah berkumpul, Migara berkata : “Ketika saya sedang makan nasi dan susu dengan mangkuk emas, Visakha mengatakan bhawa saya makan makanan kotor dan basi. Untuk kesalahan itu saya akan mengirimnya pulang.”

Kemudian Visakha menjelaskan sebagai berikut: “Ketika saya melihat ayah mertua saya membiarkan seorang bhikkhu berdiri untuk berpindapatta. Saya berpikir bahwa ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik pada saat ini, beliau hanya makan dari hasil perbuatan baiknya yang lampau. Maka, saya mengatakan, ayah mertua saya hanya makan makanan basi. Sekarang tuan-tuan, apakah anda pikir, saya bersalah?” Para wali memutuskan bahwa Visakha tidak bersalah.

Visakha kemudian mengatakan bahwa dia salah seorang pengikut Buddha yang taat dan berkeyakinan kuat dan tidak dapat tinggal diam ketika para bhikkhu datang. Juga, apabila dia tidak diberikan izin untuk mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan dan persembahan lainnya, dia akan meninggalkan rumah. Maka Visakha memperoleh izin untuk mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk ke rumahnya.

Keesokan harinya Sang Buddha dan murid-muridNya diundang ke rumah Visakha. Ketika dana makanan telah disajikan, Visakha mengundang ayah mertuanya untuk bersama-sama mendanakan makanan tersebut. Tetapi ayah mertuanya tidak mau datang. Setelah makan siang berakhir, sekali lagi dia mengundang ayah mertuanya, kali ini dengan pesan agar ayah mertuanya untuk datang ikut mendengarkan yang akan segera diberikan oleh Sang Buddha. Ayah mertuanya merasa bahwa tidak seharusnya dia menolak untuk kedua kalinya. Tetapi, gurunya, pertapa Nigantha, tidak mengizinkan dia pergi. Mereka memutuskan untuk mendengarkan dari balik tirai. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dia sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan juga menantunya.

Sebagai bentuk rasa terima kasihnya, dia menyatakan bahwa mulai sekarang Visakha akan menjadi ibunya, dan Visakha kemudian dikenal sebagai Migaramata.

Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan, dan masing-masing anak mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.

Visakha memiliki sebuah perhiasan yang dihiasi dengan permata-permata yang mahal harganya, pemberian ayahnya pada hari pernikahannya. Suatu hari Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama para pengikutnya. Saat tiba di vihara, dia merasa bahwa perhiasannya sangat berat. Maka, ia melepaskan perhiasannya dan membungkusnya dengan selendang, memberikan kepada pelayannya untuk dibawa dan dijaganya. Ternyata pelayan tersebut lupa ketika mereka meninggalkan vihara. Sudah menjadi kebiasaan Y.A. Ananda menyimpan barang-barang yang ditinggalkan umat.

Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara: “Pergi dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Y.A. Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Y.A. Ananda.” Tetapi Y.A. Ananda tidak menerima dana tersebut.

Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan score dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota: Vihara ini dikenal dengan nama Pubbarama.

Setelah upacara pelimpahan jasa ia mengundang seluruh keluarganya dan mengatakan kepada mereka bahwa semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi mempunyai keinginan. Kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar mengelilingi vihara.

Beberapa bhikkhu mendengarnya. Mereka berpikir bahwa kelakuan Visakha sangat berlebihan. Maka mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa Visakha tidak seperti sebelumnya berkeliling vihara sambil menyanyi. Para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: “Apakah itu berarti Visakha kehilangan akal sehatnya?”

Sang Buddha menjawab, “Hari ini, Visakha telah memenuhi keinginannya di masa lampau maupun saat ini dan atas usahanya sendiri. Ia merasa gembira dan puas. Visakha sedang melantunkan beberapa syair kegembiraan yang pasti ia tidak kehilangan akal sehatnya. Visakha, pada kehidupan lampau selalu menjadi seorang pendana yang murah hati dan bersemangat mendukung ajaran-ajaran para Buddha. Ia juga berkecenderungan kuat melakukan perbuatan-perbuatan baik dan telah melakukan hal-hal baik juga pada kehidupan lampaunya, seperti seorang ahli bunga menyusun banyak rangkaian bunga dari setumpuk bunga.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 53 berikut :

Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga;
demikian pula hendaknya banyak kebajikan
dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.

Kisah Chattapani, Seorang Umat Awam

Seorang umat awam bernama Chattapani yang merupakan seorang Anagami tinggal di Savatthi. Pada suatu kesempatan, Chattapani menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana mendengarkan khotbah Dhamma dengan penuh hormat dan penuh perhatian.

Ketika itu Raja Pasenadi juga sedang mengunjungi Sang Buddha. Chattapani tidak berdiri sebab dia berpikir bahwa berdiri berarti dia memberikan hormat kepada raja bukan kepada Sang Buddha. Raja menganggap hal ini adalah suatu penghinaan dan melanggar suatu paraturan. Sang Buddha mengetahui pemikiran Raja Pasenadi; maka Beliau memuji Chattapani, yang sangat baik dalam Dhamma dan juga telah mencapai tingkat kesucian Anagami.

Mendengar hal ini, Raja Pasenadi sangat terpesona dan memberikan penghormatan kepada Chattapani.

Pada pertemuan berikutnya, raja bertemu dengan Chattapani dan berkata, “Anda sangat pandai; dapatkah anda datang ke istana dan memberikan pelajaran Dhamma kepada dua orang istriku?” Chattapani menolak tetapi beliau menyarankan untuk meminta izin kepada Sang Buddha agar menugaskan seorang bhikkhu untuk memberikan pelajaran Dhamma. Raja menghampiri Sang Buddha dan menceritakan maksudnya. Sang Buddha memerintahkan Ananda untuk memberikan pelajaran Dhamma secara teratur kepada Ratu Mallika dan Ratu Vasabhakhattiya di istana.

Setelah beberapa waktu, Sang Buddha bertanya kepada Ananda tentang kemajuan dari kedua orang ratu tersebut. Ananda menjawab bahwa Ratu Mallika mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh sedangkan Vasabhakhattiya tidak sungguh-sungguh belajar Dhamma. Mendengar ini Sang Buddha berkata bahwa Dhamma akan memberikan manfaat bagi seseorang yang mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, penuh hormat, dan penuh perhatian serta rajin mempraktekkan apa yang telah dipelajari.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 51 dan 52 berikut :

Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum;
demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum;
demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.

Kisah Pertapa Paveyya

Seorang wanita kaya berasal dari Savatthi telah mengangkat Paveyya, seorang pertapa, sebagai seorang anak dan memenuhi semua kebutuhannya. Ketika dia mendengar tetangganya memuji Sang Buddha, dia sangat berharap dapat mengundang Beliau ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Maka, Sang Buddha diundang ke rumah wanita kaya tersebut dan makanan terpilih telah disiapkan.

Ketika Sang Buddha sedang menyampaikan anumodana, Paveyya, yang berada di ruang sebelah, menjadi sangat murka. Dia menyalahkan dan mengutuk wanita tersebut karena menghormati Sang Buddha. Wanita tersebut mendengar kutukan serta teriakannya, menjadi sangat malu sehingga dia tidak dapat berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan oleh Sang Buddha. Sang Budha berkata kepada wanita itu agar tidak usah memperhatikan kutukan-kutukan dan perlakuan tersebut, tetapi perhatikan saja perbuatan baik dan perbutan buruk yang dilakukan oleh dirinya sendiri.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 50 berikut :

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain.
Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.

Wanita kaya tersebut mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Kosiya, Orang Kaya yang Kikir

Di desa Sakkara, dekat Rajagaha, tinggallah orang yang sangat kaya tapi kikir, bernama Kosiya. Dia tidak suka memberikan sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari, untuk menghindari membagi miliknya dengan orang lain, orang kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.

Suatu pagi, Sang Buddha dengan penglihatan supranatural-Nya, melihat orang kaya tersebut dan istrinya. Beliau mengetahui bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut dengan petunjuk untuk membawa mereka ke Vihara Jetavana pada saat makan siang.

Murid utama, Maha Moggallana, dengan kekuatan batin luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan berdiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya : ”Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut.” Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan meletakkannya di panggangan roti, dan roti tersebut mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa pasti istrinya menaruh adonan terlalu banyak, maka dia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat besar. Hal ini terulang terus menerus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil.

Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanakan satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggallana. Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari keranjang, roti tersebut tidak dapat keluar karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah tentang kemurahan hati kepada orang kaya kikir beserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka dengan lima ratus bhikkhu di Vihara Jetavana, di Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha.

Maha Moggallana, dengan kekuatan batin luar biasanya, membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut, untuk menghadap Sang Buddha. Di sana dia mendanakan roti tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai makan siang, Sang Buddha menyampaikan khotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Keesokan sore harinya, ketika para bhikkhu bercakap-cakap dan memuji Maha Moggallana, Sang Buddha menghampiri mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seharusnya kamu juga berdiam dan berkelakuan di desa seperti Maha Moggallana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka, atau kesejahteraan mereka.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 49 berikut :

Bagaikan seorang kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna dan baunya;
demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.

Kisah Patipujika Kumari

Patipujika Kumari adalah seorang wanita dari Savatthi. Dia menikah pada usia 16 tahun dan mempunyai empat orang putra. Patipujika Kumari merupakan seorang wanita yang baik budi dan murah hati, suka memberikan dana makanan dan kebutuhan lain kepada para bhikkhu. Dia juga sering pergi ke vihara dan membersihkan halaman, mengisi tempat air, dan memberikan pelayanan lainnya.

Patipujika juga mempunyai kemampuan “Jatissara”, yaitu kemampuan batin untuk mengingat kehidupannya yang lampau dimana dia adalah salah seorang istri Malabhari, yang tinggal di alam dewa Tavatimsa. Dia juga ingat bahwa dia telah meninggal dunia di alam dewa ketika para dewa sedang berjalan-jalan dan menikmati kesenangan di taman, dan memetik bunga-bunga.

Maka, setiap saat dia berdana kepada para bhikkhu atau melakukan perbuatan-perbuatan baik lainnya, dia berharap daapt dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari, suaminya terdahulu.

Suatu hari, Patipujika jatuh sakit dan meninggal dunia pada sore itu juga. Seperti apa yang dia inginkan, dia dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari. Seratus tahun di alam manusia sama dengan satu hari di alam Tavatimsa, Malabhari dan istri-istrinya yang lain masih bermain-main di taman; dan kepergian Patipujika hampir tidak dirasakan oleh mereka. Maka, ketika dia kembali bergabung dengan mereka, Malabhari menanyakan ke mana Patipujika pagi hari tadi. Dia kemudian menceritakan kematiannya di alam Tavatimsa dan kelahirannya kembali di alam manusia. Pernikahannya dengan seorang manusia dan juga tentang bagaimana dia telah mempunyai empat orang putra. Kematiannya di alam manusia dan lahir kembali di alam Tavatimsa.

Ketika para bhikkhu mendengar kematian Patipujika, mereka bersedih. Kemudian mereka menghadap Sang Buddha dan mealaporkan kematian Patipujika, orang yang sering memberikan dana makanan pada pagi hari, telah meninggal pada sore hari.

Sang Buddha menjawab bahwa kehidupan suatu makhluk sangat singkat; dan sebelum mereka puas dengan kesenangan-kesenangan indrianya, kematian telah menguasainya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 48 berikut :

Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria,
yang pikirannya kacau dan tak pernah puas,
akan berada di bawah kekuasaan Sang Penghancur (kematian)

Kisah Vitatubha

Raja Pasenadi dari Kosala, yang berharap dapat menikah dengan seorang putri dari suku Sakya, mengirimkan beberapa utusan ke Kapilavatthu dengan suatu permohonan meminang salah seorang putri suku Sakya.

Tanpa bermaksud untuk menyakiti Raja Pasenadi, pangeran suku Sakya membalas bahwa mereka akan memenuhi permintaan tersebut, tetapi mereka tidak mengirimkan seorang putri, melainkan seorang gadis cantik yang lahir dari Raja Mahanama dengan seorang budak wanita. Raja Pasenadi mengangkat gadis tersebut sebagai permaisuri, kemudian berputera dan diberi nama Vitatubha.

Ketika sang pengeran berusia 16 tahun, Raja Pasenadi mengirimnya untuk mengunjungi Raja Mahanama dan pangeran-pangera suku Sakya. Di sana sang pangeran diterima dengan ramah.

Tetapi semua pangeran suku Sakya yang lebih muda dari Vitatubha telah pergi ke suatu desa, karena mereka tidak akan memberikan penghormatan kepada Vitatubha.

Setelah tinggal selama beberapa hari di Kapilavatthu, Vitatubha dan rombongannya berniat untuk pulang. Segera setelah sang pangeran dan rombongannya pergi, seorang budak wanita mencuci tempat-tempat dimana Vitatubha duduk dengan susu. Dia juga mengutuk sambil berteriak: “Ini adalah tempat dimana putra seorang budak telah duduk,…..”.

Waktu itu, salah seorang pengikut Vitatubha kembali untuk mengambil barang yang tertinggal, dan kebetulan mendengar apa yang diucapkan oleh gadis itu. Budak wanita itu juga mengatakan bahwa ibu Vitatubha, Vasabhakhattiya, adalah putri dari seorang budak wanita milik Mahanama.

Ketika Vitatubha diberi tahu tentang kejadian tersebut, dia menjadi sangat marah dan mengatakan bahwa suatu hari dia akan menghancurkan semua suku Sakya. Untuk membuktikan ucapannya, ketika Vitatubha menjadi raja, dia menyerbu dan membunuh semua suku Sakya, terkecuali beberapa orang yang bersama Mahanama.

Dalam perjalanan pulang, Vitatubha dan pasukannya berkemah di muara Sungai Aciravati. Akibat hujan turun dengan lebatnya di kota bagian atas pada malam yang gelap itu, sungai meluap dan mengalir ke bawah dengan derasnya menghanyutkan Vitatubha dan pasukannya ke samudera.

Mendengar dua kejadian tragis ini, Sang Buddha menerangkan kepada para bhikkhu bahwa saudara-saudaranya, pangeran-pangeran suku Sakya, pada kehidupan mereka sebelumnya, mereka menaruh racun ke dalam sungai untuk membunuh ikan-ikan. Kematian para pangeran suku Sakya dalam suatu pembantaian merupakan buah dari perbuatan yang telah mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.

Berkaitan dengan kejadian yang menimpa Vitatubha dan pasukannya, Sang Buddha mengatakan: “Bagaikan banjir besar menghanyutkan penduduk desa pada sebuah desa yang tertidur, demikian juga, kematian menghanyutkan semua makhluk yang memiliki nafsu keinginan kesenangan indria.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 47 berikut:

Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria,
yang pikirannya kacau,
akan diseret oleh kematian.
Bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

Bhikkhu yang Memandang Tubuh Sebagai Suatu Bayangan

Pada suatu kesempatan, setelah belajar bermeditasi dari Sang Buddha, seorang bhikkhu segera pergi ke hutan. Meskipun ia telah berusaha dengan keras, dia hanya mendapat kemajuan yang kecil dalam latihan meditasinya; sehingga ia memutuskan untuk kembali menemui Sang Buddha untuk belajar lebih jauh.

Dalam perjalanan pulang, dia melihat sebuah bayangan, dimana hanya merupakan penampakan semu dari air. Segera ia menyadari bahwa tubuh ini juga semu seperti bayangan. Dengan tetap memelihara pikiran tersebut, dia kembali ke muara sungai Aciravati. Ketika ia sedang duduk di bawah pohon dekat sungai, melihat ombak yang pecah, ia menyadari bahwa tubuh ini tidak kekal.

Kemudian Sang Buddha menampakkan diri dan berkata kepadanya: “Anak-Ku, apa yang kamu telah sadari bahwa tubuh tidak kekal seperti halnya busa, dan semu seperti halnya sebuah bayangan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 46 berikut:

Setelah mengetahui bahwa,
tubuh ini bagaikan busa,
dan setelah menyadari sifat mayanya,
maka hendaknya seseorang mematahkan bunga nafsu keinginan,
dan menghilang dari pandangan raja kematian.

Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Setelah mengikuti Sang Buddha ke suatu desa, lima ratus bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Sorenya, para bhikkhu tersebut membicarakan perjalanan yang baru dilakukan, khususnya kondisi desa tersebut, apakah berbukit-bukit, menanjak, tanahnya berlumpur, berpasir, merah atau hitam, dan sebagainya, Sang Buddha menghampiri mereka.

Mengetahui apa yang mereka bicarakan, Sang Buddha berkata, “Bhikkhu, bumi yang engkau bicarakan ada di luar tubuh ini. Sesungguhnya lebih baik meneliti diri sendiri dan mempersiapkan diri untuk berlatih meditasi.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 44 dan 45 berikut ini:

Siapakah yang akan menaklukkan dunia ini
beserta alam Yama dan alam Dewa?
Siapakah yang akan menyelidiki Jalan Kebajikan
yang telah diterangkan dengan jelas,
seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga?

Seorang Sekha (siswa yang masih berlatih) akan menaklukkan dunia ini beserta alam Yama dan alam Dewa.
Seorang siswa yang masih berlatih ini akan menyelidiki jalan kebajikan yang telah diajarkan dengan jelas,
seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga.

Sang Buddha menambahkan, bahwa dengan mengerti diri sendiri, seorang bhikkhu akan mengerti akan dunia ini, surga dan neraka, ia juga akan dapat merealisasikan Dhamma yang Agung, seperti rangkaian bunga yang dirangkai oleh seorang akhli merangkai bunga.

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Soreyya

Suatu hari Soreyya beserta seorang teman dan beberapa pembantu pergi dengan sebuah kereta yang mewah untuk membersihkan diri (mandi). Pada saat itu, Mahakaccayana Thera sedang mengatur jubahnya di pinggir luar kota, karena ia akan memasuki kota Soreyya untuk berpindapatta. Pemuda Soreyya melihat sinar keemasan dari Mahakaccayana Thera, berpikir: “Bagaimana apabila Mahakaccayana Thera menjadi istriku, atau bagaimana apabila warna kulit istriku seperti itu.” Karena muncul keinginan seperti itu, kelaminnya berubah menjadi seorang wanita.

Dengan sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari, pada jalan menuju ke arah Taxila. Pembantunya kehilangan dia, mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya.

Soreyya, sekarang seorang wanita, memberikan cincinnya sebagai ongkos kepada beberapa orang yang bepergian ke Taxila, dengan harapan agar ia diizinkan ikut dalam kereta mereka. Setelah tiba di Taxila, teman-teman Soreyya berkata kepada seorang pemuda kaya di Taxila, tentang perempuan yang datang bersama mereka. Pemuda kaya itu melihat Soreyya yang begitu cantik dan seumur dengannya, menikahi Soreyya.

Perkawinan itu membuahkan dua anak laki-laki, dan ada juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreyya pada waktu masih sebagai pria.

Suatu hari, seorang anak orang kaya dari kota Soreyya datang di Taxila dengan limaratus kereta. Perempuan Soreyya mengenalinya sebagai seseorang yang telah diutus oleh teman lamanya. Laki-laki dari kota Soreyya itu merasa senang bahwa ia diundang oleh seorang perempuan yang tidak dikenalnya. Ia berbicara dengan Soreyya bahwa ia tidak mengenalnya, dan bertanya kepada Soreyya apakah Soreyya mengetahui dirinya. Soreyya menjawab bahwa ia tahu tentang dirinya dan menanyakan kesehatan keluarganya dan beberapa orang-orang di kota Soreyya. Laki-laki dari kota Soreyya berbicara tentang anak orang kaya yang hilang secara misterius ketika pergi ke luar kota untuk mandi. Soreyya mengungkapkan identitas dirinya dan menghubungkan semua apa yang telah terjadi, tentang pikiran salahnya kepada Mahakaccaya Thera, tentang perubahan kelamin, dan perkawinannya dengan orang kaya di Taxila.

Laki-laki dari kota Soreyya menasehatinya untuk meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang ke rumah perempuan Soreyya dan menerima dana makanan darinya. Sesudah bersantap perempuan Soreyya dibawa menghadap Mahakaccayana Thera, dan laki-laki dari kota Soreyya berbicara kepada Mahakaccayana Thera bahwa perempuan ini pada waktu dulu adalah seorang anak laki-laki orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian menjelaskan kepada Mahakaccayana Thera bagaimana Soreyya menjadi perempuan karena berpikiran jelek pada saat menghormati Mahakaccayana Thera. Perempuan Soreyya dengan hormat meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera berkata, “Bangunlah, saya memaafkanmu.” Segera setelah kata-kata itu diucapkan, perempuan tersebut berubah kelamin menjadi seorang laki-laki. Soreyya kemudian merenungkan bagaimana dengan satu keberadaan diri dan dengan satu keberadaan tubuh jasmani ia berubah kelamin, bagaimana anak-anak telah dilahirkannya. Merasa sangat cemas dan jijik terhadap segala hal itu, ia memutuskan untuk meninggalkan hidup berumah tangga, dan memasuki Pasamuan Sangha dibawah bimbingan Mahakaccayana Thera.

Sesudah itu ia sering ditanyai, “Siapa yang kamu cintai, dua anak laki-laki pada saat ia sebagai seorang laki-laki, atau dua anak lain pada saat ia menjadi seorang istri?” Terhadap hal itu ia menjawab bahwa cinta kepada mereka yang dilahirkan dari rahimnya adalah lebih besar. Pertanyaan ini seringkali seringkali muncul, ia merasa sangat terganggu dan malu. Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin, merenungkan penghancuran dan proses tubuh jasmani.

Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai kesucian arahat, bersamaan dengan pandangan terang analitis. Ketika pertanyaan lama ditanyakan kepadanya, ia menjawab bahwa ia telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada sesuatu yang khusus. Bhikkhu-bhikkhu yang lain mendengarnya berpikir bahwa ia pasti berkata tidak benar.

Pada saat dilapori dua jawaban berbeda Soreyya itu, Sang Buddha berkata, “Anakku berkata benar, ia telah berbicara benar. Jawabannya sekarang lain karena ia sekarang telah mencapai tingkat kesucian arahat, sehingga ia tidak lagi menyayangi sesuatu yang khusus. Dengan pikiran terarah benar, anak-Ku telah membuat dirinya berada pada suatu kehidupan baik, yang diberikan oleh ayah maupun ibu.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 43 berikut:

Bukan dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak keluarga;
namun pikiran yang diarahkan dengan baik,
yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.

Banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Nanda, Seorang Pengawas

Nanda adalah seorang pengawas yang bertugas mengurus sapi-sapi milik Anathapindika. Meskipun ia hanya seorang pengawas, tetapi ia telah bertindak seperti pemiliknya.

Pada kesempatan-kesempatan tertentu, ia pergi ke rumah Anathapindika dan di sana ia kadang-kadang bertemu Sang Buddha dan mendengarkan khotbah-Nya. Nanda memohon Sang Buddha untuk berkunjung ke rumahnya. Tetapi Sang Buddha menolaknya dengan alasan bahwa saatnya belum tepat.

Setelah beberapa waktu, ketika mengadakan perjalanan dengan pengikutNya, Sang Buddha akhirnya pergi mengunjungi Nanda. Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi Nanda untuk mendapatkan ajaran sebagaimana mestinya.

Nanda dengan hormat menerima Sang Buddha dan para pengikutNya. Ia menjamu para tamu dengan susu, produk susu, dan pilihan menu makanan lainnya selama tujuh hari. Pada hari terakhir, setelah mendengarkan khotbah yang diberikan Sang Buddha, Nanda mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian Sang Buddha mohon diri pada hari itu. Nanda membawakan mangkuk Sang Buddha, mengikuti Sang Buddha sampai dengan jarak tertentu, lalu menghormat Sang Buddha dan pulang kembali ke rumah.

Pada saat itu, seorang pemburu yang merupakan musuh lama Nanda, memanahnya. Bhikkhu-bhikkhu, yang mengikuti Sang Buddha, melihat Nanda mati terjatuh. Mereka melaporkan hal itu kepada Sang Buddha: “Bhante, karena kedatangan Bhante, Nanda yang telah memberikan banyak persembahan dan menyertai Bhante pulang telah dibunuh pada saat ia pulang kembali ke rumahnya.”

Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, apakah saya datang kemari atau tidak, ia tidak dapat melarikan diri dari kematian, akibat dari kamma lampaunya. Seperti halnya pikiran yang diarahkan secara keliru akan menjadikan seseorang jauh lebih berat terluka daripada luka yang dibuat oleh musuh ataupun pencuri. Pikiran yang diarahkan secara benar, adalah satu-satunya jaminan bagi seseorang untuk menjauhkan diri dari bahaya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 42 berikut:

Luka dan kesakitan macam apa pun,
dapat dibuat oleh orang yang saling bermusuhan atau saling membenci.
Namun pikiran yang diarahkan secara salah,
akan melukai seseorang jauh lebih berat.

Kisah Putigattatissa Thera

Sesudah mendapatkan cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, Tissa Thera rajin  melaksanakan meditasi dalam keadaan menderita suatu penyakit. Bisul-bisul kecil nampak di seluruh tubuh dan bisul itu berkembang menjadi luka yang besar. Ketika luka ini pecah, jubah atas dan bawahnya menjadi lengket, dicemari nanah dan darah, seluruh tubuhnya berbau busuk. Karena hal itu, beliau dikenal dengan sebutan Putigattatissa, Tissa yang tubuhnya berbau.

Pada saat Sang Buddha memandang alam semesta dengan penglihatan batin sempurna, Tissa Thera nampak dalam penglihatannya. Beliau melihat kesedihan Tissa Thera, yang telah ditinggal sendirian oleh murid-muridnya karena tubuhnya berbau. Dalam waktu yang sama, Sang Buddha mengetahui bahwa Tissa dapat segera mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha mengeluarkan pancaran api di dekat tempat tinggal Tissa. Di tempat itu, Sang Buddha mendidihkan air, kemudian Beliau datang ke tempat Tissa berbaring, memegang tepi dipan.

Hal ini membuat murid-murid Tissa Thera berkumpul mengelilingi gurunya. Sesuai petunjuk Sang Buddha, mereka mengangkat Tissa Thera mendekati tempat pancaran api. Di tempat tersebut Tissa Thera dibasuh dan dimandikan. Ketika ia masih dimandikan, jubah atas dan bawahnya dicuci dan dikeringkan. Sesudah mandi, tubuh dan pikiran Tissa Thera menjadi segar. Segera batinnya berkembang mencapai satu titik konsentrasi.

Berdiri pada kepala dipan, Sang Buddha berkata kepadanya bahwa dalam tubuh ini tidak ada inti seperti sebatang kayu yang terbujur di atas tanah.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 41 berikut:

Aduh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah, 
dibiarkan saja, 
tanpa kesadaran, 
bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pencapaian pandangan terang analitis setelah khotbah Dhamma itu berakhir, kemudian beliau meninggal dunia. Sang Buddha kemudian menyuruh murid-murid Tissa Thera untuk segera mengkremasikan tubuh gurunya.

Atas pertanyaan mengapa Tissa tubuhnya berbau, Sang Buddha menerangkan bahwa Tissa, pada salah satu kehidupannya yang lampau adalah penangkap unggas yang kejam. Setelah tertangkap, tulang kaki dan tulang sayap burung itu selalu dipatahkannya, agar tak bisa melarikan diri. Akibat perbuatan kejamnya itu, Tissa terlahir kembali dengan tubuh berbau.

Sampai Menjadi Spontanitas



Pada suatu ketika, dua orang anak laki-laki kakak beradik tengah berjalan-jalan menyusuri tepian sungai. Tatkala mereka asyik menimati gemericik air bening dan temaram senja, tiba-tiba tampaklah oleh mereka seekor kalajengking hanyut terbawa arus sungai.

Hewan yang cukup ditakuti oleh sesamanya ini rupanya belum pernah les berenang, sehingga hanya bisa menggelepar tanpa daya ketika harus tercemplung di dimensi alam yang bukan zona nyamannya. Bisa dipastikan senja itu tidak indah sama sekali bagi kalajengking sial yang tengah hanyut menyongsong hilir ajalnya ini.

Menyaksikan tragedi maut ini, sang adik bergegas mencari cari ranting pohon atau apa saja yang bisa dipakai untuk mengangkat hewan malang itu dari badan sungai, namun dia tidak menemukan apa pun disekitar situ yang bisa dipakainya. Rupanya alam belum tentu menyediakan piranti "P3K" pas saat- saat genting seperti ini. Kalajengking itu terus terseret arus...

Tanpa berfikir panjang lagi, sang adik mengejar dari bibir sungai dan langsung menjulurkan tangan kosong meraih kalajengking itu. Kena! Namun, belum dia memindahkan kalajengking itu ke daratan yang aman, si kalajengking rupanya kaget setengah mati ada yang mencekalnya dengan mendadak. Kontan, si kalajengking menghunjamkan sengat sakitnya ke pencengkeram dak dikenal yang tak diketahui gelagatnya itu.

"Aaaaaaaahhh...!" jerit si adik yang tersengat, jari -jari mungilnya spontan melepaskan kalajengking yang hendak diselamatkannya. Dan... kalajengking itu pun kembali tercemplung ke sungai, tergulung riak... kalau bisa ngomong, pasti kalajengking itu akan bilang, "Tuolooonngg..!!"

Tanpa menggubris keadaan tangannya, sedetik kemudian sang adik kembali menjulurkan tangan yang sama untuk menggapai kalajengking itu sebelum terseret arus lebih jauh. Dia langsung melemparkan si kalajengking ke tanah pasir ditepian. aman... Si kalajengking menggeliat, terpana sejenak, lalu pergi begitu saja, jelas tanpa mengucap terima kasih sedikitpun kepada juru selamatnya..

Menyaksikan drama dadakan ini, sang kakak terlongo longo dan begitu melihat tangan adiknya yang memerah lepuh, mulailah dia mengomel, "Kamu ngapain sih? lihat tuh sekarang tanganmu menjadi begitu!"

"Nggak apa-apa kok kak, cuma sakit sedikit saja...," kata adiknya sembari meniup-niup tangan mungilnya yang agak melepuh.

"Kamu ini menyusahkan saja! Kita kesini kan mau bersenang -senang! Sekarang repot jadinya! Kita malah harus ke dokter!" tukas sang kakak.

"Iya Kak, maaf kalau jadi merepotkan," lirih adiknya.

Kakaknya terus menyalahkan, "Kamu kan tahu kalajengking itu bisa menyengat. Ngapain kamu tolong? Itu namanya bodoh!"

Kali ini sang adik menjawab, "Kalajengking menyengat kan kebiasaannya. Apa dia salah? saya menolong kan sudah kebiasaan saya. Apa saya salah?"

sang kakak pun terdiam...



Dalam perspektif materialisme, nilai-nilai semacam itu barangkali tidak mendapat tempat bahkan dianggap konyol.



Kisah seorang rabi bernama Schmelke menyuarakan pesan yang senada.



Schmelke sangat kondang dengan kemurahan hatinya. Orang -orang miskin di kotanya tahu bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan pintu rumah Budi dengan tangan kosong.

Suatu hari seorang pengemis datang meminta uang kepada Schmelke untuk membeli obat bagi putri sang pengemis yang lagi sakit keras. Schmelke waktu itu sedang tidak ada uang. Ia lalu mencari-cari apa yang bisa diberikannya kepada sang pengemis, akhirnya ia memberi pengemis itu sebuah cincin yang mahal. Pengemis itu terpana, dan berlalu dengan sukacita, tentu.

"Apa-apaan yang kamu berikan?!" teriak istrinya. "Cincin itu harganya seribu dinnar!"

"Hah seribu dinnar?" sentak Schmelke. Ia spontan mengejar pengemis tadi sembari berteriak, "Ooii, tungguuuu!!". Sang pengemis berhenti dan berbalik mendengar teriakan itu, "Ada apa Tuan?"

"Cincin itu harganya seribu dinnar!" seru Schmelke. Pengemis itu pun menjadi ketar-ketir kalau Schmelke meralat pemberiannya yang mahal tersebut. "Iya, Tuan...,jadi..?"

"Jangan dijual terlalu murah ya!" ujar Schmelke sambil tersenyum.



Crita diatas menunjukkan bahwa Schmelke bukanlah manusia tolol yang tidak paham nilai uang. Dia memahami nilai-nilai duniawi ini, namun dia membuat pilihan sadar untuk menjalankan keyakinannya itu dan menerima konsekuensi dari pilihan hidupnya, tak peduli apa pun yang orang lain katakan.

Pilihan selalu ada di tangan kita masing-masing:apakah kita menjalani apa yang kita yakini sebagai suatu kebenaran ataukah kita ikut-ikutan dengan apa yang khalayak anggap "lumrah"?

Segenap pengembangan spiritual yang benar akan secara alamiah membuat kita menjadi lebih penuh kasih sayang, tanpa pamrih apapun. Apa pun tindakan kebaikan yang kita pilih, lakukanlah dengan segenap hati, sesering mungkin, sampai tertanam menjadi kebiasaan, sampai menjadi karakter, sampai menjadi spontanitas.

Sang Juara



Suatu ketika ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan.
Suasana sungguh meriah siang itu karena ini adalah babak final.
Hanya tersisa empat orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki.
Semuanya buatan sendiri sebab memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak yang bernama Mark.
Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam empat anak yang masuk final.
Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tidak sempurna.
Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah memang mobil itu tidak begitu menarik.
Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya.
Namun Mark bangga dengan semua itu karena mobil itu adalah buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan, final kejuaraan mobil balap mainan.
Setiap anak mulai bersiap di garis start untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang.
Di setiap jalur lintasan telah siap empat mobil dengan empat "pembalap" kecilnya.
Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan empat jalur terpisah di antaranya.

Namun sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai.
Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa.
Matanya terpejam dengan tangan yang tertangkup memanjatkan doa.
Lalu semenit kemudian ia berkata, "Ya, aku siap!"

Dor! Tanda telah dimulai.
Dengan satu hentakan kuat mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat.
Semua mobil itupun meluncur dengan cepat.
Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat menjagokan mobilnya masing-masing.

"Ayo... ayo... cepat... cepat... maju... maju..," begitu teriak mereka.
Ahha... sang pemenang harus ditentukan.
Tali lintasan finish pun telah terlambai.

Dan Mark-lah pemenangnya.
Ya, semuanya senang, begitu juga Mark.
Ia berucap dan berkomat-kamit lagi dalam hati, "Terima kasih."

Saat pembagian piala tiba, Mark maju ke depan dengan bangga.
Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya, "Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?"
Mark terdiam. "Bukan Pak, bukan itu yang aku panjatkan," kata Mark.

Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya tak adil meminta pada Tuhan untuk menolongmu mengalahkan orang lain. Aku hanya memohon pada Tuhan supaya aku tak menangis jika aku kalah."
Semua hadirin terdiam mendengar itu.
Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan.

Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua.
Mark tidak memohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian.
Mark tak memohon pada Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya.
Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya.
Ia tak berdoa untuk menang dan menyakiti yang lainnya.
Namun Mark memohon pada Tuhan agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua.
Ia berdoa agar diberikan kemuliaan dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.

Mungkin telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan agar mengabulkan setiap permintaan kita.
Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian.
Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal bukankah yang kita butuhkan adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya dan panduan-Nya?

Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini.
Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin Tuhan memberikan kita ujian yang berat bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah namun agar setiap kita menjadi kuat.

My Special Friend

Mereka bilang ini adalah kisah nyata ....

Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur (Filipina) yang setiap hari mengambil rute melintasi daerah tanah berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan.

Setiap kali berhasil menyeberangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke Gereja setiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan.

Tindakannya selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.

"Bagaimana kabarmu Andy? Apakah kamu akan ke sekolah ?"

"Ya, Bapa Pendeta!" balas Andy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.

Dia begitu memperhatikan keselamatan Andy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut, "Jangan menyeberang jalan raya sendirian, setiap kali pulang sekolah kamu boleh mampir ke Gereja dan saya akan menemani kamu ke seberang jalan. Jadi dengan cara tersebut saya bisa memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat."

"Terima kasih, Bapa Pendeta."

"Kenapa kamu tidak pulang sekarang?? Apakah kamu tinggal di Gereja setelah pulang sekolah?"

"Aku hanya ingin menyapa kepada Tuhan .. sahabatku."

Dan Pendeta itu segera meninggalkan Andy untuk melewatkan waktunya didepan altar berbicara sendiri, tapi kemudian Pendeta tersebut bersembunyi dibalik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andy kepada Bapa di Surga.

"Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya.

Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue ini. Terima kasih buat kue ini Tuhan! Aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya. Lucunya kucing itu, melihatnya, aku jadi nggak begitu lapar.

Lihat, ini selopku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau tahu ini sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa.. Paling tidak aku tetap dapat pergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa temanku sudah berhenti sekolah. Tolong Bantu mereka supaya bisa sekolah lagi. Tolong Tuhan??

Oh ya, Engkau tahu Ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang Ibu. Tuhan, Engkau mau lihat lukaku??? Aku tahu Engkau mampu menyembuhkannya, disini .. disini .. aku rasa Engkau tahu yang ini khan.....?? Tolong jangan marahi Ibuku ya..??? Dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makanan dan biaya sekolahku.. Itulah mengapa dia memukul kami.

Oh Tuhan, aku rasa aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang cantik dikelasku, namanya Anita... Menurut Engkau apakah dia akan menyukaiku??? Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.

Hei.. ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira?? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu. Aku berharap Engkau akan menyukainya. Ooops aku harus pergi sekarang."

Kemudian Andy segera berdiri dan memanggil Pendeta itu, "Bapa Pendeta.... Bapa Pendeta.. aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyeberang jalan sekarang!"

Kegiatan tersebut berlangsung setiap hari, Andy tidak pernah absen sekalipun.

Pendeta Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di Gerejanya setiap hari Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Allah.. Suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.

Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bisa memimpin gereja dan dirawat di rumah sakit. Gereja diserahkan pengelolaannya kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga sering mengutuki orang yang menyinggung mereka.

Mereka sedang berlutut memegangi rosario mereka ketika Andy tiba dari pesta natal di sekolahnya, dan menyapa "Halo Tuhan..Aku ..."

"Kurang ajar kamu bocah!!! tidakkah kamu lihat kami sedang berdoa??!!! Keluar.!!!"

Andy begitu terkejut, " Dimana Bapa Pendeta Agaton .??? Dia seharusnya membantuku menyeberangi jalan raya. Dia selalu menyuruhku mampir lewat pintu belakang Gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus ini hari ulang tahunNya, aku punya hadiah untukNya ...."

Ketika Andy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar Gereja.

Sambil membuat tanda salib ia berkata "Keluarlah bocah.. kamu akan mendapatkannya !!!"

Oleh karena itu Andy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyeberangi jalan raya yang berbahaya tersebut didepan Gereja. Dia mulai menyeberang. Tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang disitu ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andy melindungi hadiah tersebut di dalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut.

Waktunya hanya sedikit untuk menghindar.. Dan Andy tewas seketika.

Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang sudah tak bernyawa.

Tiba-tiba, entah muncul darimana ada seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut namun penuh dengan air mata datang dan memeluk tubuh bocah malang tersebut. Dia menangis.

Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya, " Maaf Tuan. Apakah Anda keluarga bocah malang ini? Apakah Anda mengenalnya?"

Pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam segera berdiri dan berkata," Dia adalah sahabatKu." Hanya itulah yang Dia katakan.

Dia mengambil bungkusan hadiah dari dalam baju bocah malang tersebut dan menaruhnya didadaNya. Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh bocah malang tersebut dan keduanya kemudian menghilang. Kerumunan orang tersebut semakin penasaran...

Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sungguh mengejutkan.

Dia berkunjung ke rumah Andy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dan bercakap-cakap dengan kedua orang tua Andy.

"Bagaimana anda mengetahui putera anda meninggal ?"

"Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari." ucap ibu Andy terisak.

"Apa katanya ?"

Ayah Andy berkata ,"Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andy sepertinya Dia begitu mengenal Andy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai Dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andy dari wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya kemudian Dia membisikkan sesuatu ..."

"Apa yang dia katakan?"

"Dia berkata kepada puteraku .." Ujar sang Ayah "Terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaKu."

Dan sang Ayah melanjutkan, "Anda tahu kemudian. semuanya itu terasa begitu indah.. aku menangis tetapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu aku menangis karena bahagia.. aku tidak dapat menjelaskannya Bapa Pendeta, tetapi ketika Dia meninggalkan kami ada suatu Kedamaian yang memenuhi hati kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku.. Aku tidak dapat melukiskan sukacita didalam hatiku. Aku tahu puteraku sudah berada di Surga sekarang. Tapi tolong katakan padaku, Bapa Pendeta.. Siapakah Pria ini yang selalu bicara dengan puteraku setiap hari di Gerejamu? anda seharusnya mengetahui karena anda selalu berada disana setiap hari, kecuali pada waktu puteraku meninggal ."

Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes dipipinya, dengan lutut gemetar dia berbisik," Dia tidak berbicara dengan siapa-siapa, kecuali dengan Tuhan."



T.T

Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya



Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan.

Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : "Makanlah nak, aku tidak lapar"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA


Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : "Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA


Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja." Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku tidak capek"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA


Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : "Minumlah nak, aku tidak haus!"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : "Saya tidak butuh cinta"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : "Saya punya duit"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku "Aku tidak terbiasa"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : "Jangan menangis anakku, aku tidak kesakitan"

---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.



Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : "Terima kasih ibu !"

Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah.

Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita?

Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum?
Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum?
Apakah ini benar?

Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi.

Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata "MENYESAL" di kemudian hari.

Apakah Tuhan Menciptakan Segala yang Ada?



Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?
Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?"

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".

"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.

"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.

Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor.

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu ya?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas".

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

..
..
..
..
..
..

Dan, tahukah anda?

..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..

nama mahasiswa itu adalah ALBERT EINSTEIN ~

Ketika Tuhan Menciptakan Wanita



Ketika Tuhan menciptakan wanita, Dia lembur pada hari ke enam.

Malaikat datang dan bertanya, "Mengapa begitu lama, Tuhan?"

Tuhan menjawab, "Sudahkah engkau lihat semua detail yang saya buat untuk menciptakan mereka?"

"Dua tangan ini harus bisa selalu dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastik. Setidaknya terdiri dari 200 bagian yang bisa digerakkan dan berfungsi baik agar dapat mengolah berbagai jenis makanan...


Mampu meberikan kenyamanan bagi anak2nya... Punya pelukan yang dapat menyembuhkan rasa sakit hati dan keterpurukan..,


Dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan ini."

Malaikat itu takjub, "Hanya dengan dua tangan ini? ... Imposible! Dan itu model standar?! Sudahlah Tuhan, cukup dulu untuk hari ini, besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya."

"Oh.. tidak, SAYA akan menyelesaikan ciptaan ini, karena ini adalah ciptaan favorit SAYA.", demikian kata Tuhan.

"O ya.. Dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari dan tetap tegar setelah semuanya sakit dan tak berdaya".

Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan Tuhan itu dan berkata "Tapi Engkau membuatnya begitu lembut Tuhan?"

"Yah.. SAYA membuatnya lembut. Tapi engkau belum bisa bayangkan kekuatan yang SAYA berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa yang tidak bisa dikerjakan oleh seorang lelaki sekalipun"

"Apakah dia bisa berpikir?", tanya malaikat.

Tuhan menjawab, "Tidak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi dan mengutarakan pendapatnya".

Malaikat itu menyentuh dagunya.. "Tuhan, Engkat buat ciptaan ini kelihatan lelah dan rapuh! Seolah terlalu banyak beban baginya."

"Itu bukan lelah atau rapuh.. Itu air mata", koreksi Tuhan.

"Untuk apa?" tanya malaikat.

Tuhan melanjutkannya, "air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaaan dan KEBANGGAAN."

"Luar biasa, Engkau jenius Tuhan", kata malaikat. "Engkau memikirkan segala sesuatunya, wanita ciptaan Mu ini akan sungguh menakjubkan!"

"Ya harus…..! Wanita ini mempunyai kekuatan mempesona laki-laki..


Dia dapat mengatasi beban hidup, mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri..
Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit..
Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan.
Dia bisa berkorban demi orang yang dicintainya.
Mampu berdiri melawan ketidakadilan.
Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik.
Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat.
Cintanya tanpa syarat.
Dia menangis saat melihat yang dicintainya adalah PEMENANG.
Dia girang dan bersorak saat melihat kawannya tertawa.
Dia begitu bahagia mendengar kesuksesan.
Hatinya terluka saat melihat kesedihan. Tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup.
Dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka."

Malaikat sangat kagum, "Lalu apa kekurangannya?"

Tuhan menjawab "Hanya ada satu hal.. Dia terkadang lupa betapa berharganya dia........."



untuk semua wanita di dunia, semangat selalu yaa ^^

Malaikat Penjaga



Pada suatu ketika,ada seorang anak kecil yang siap dilahirkan.

Anak kecil itu berkata kepada Tuhan "mereka mengatakan kepadaku, kau akan mengirimku ke bumi hari ini, tetapi bagaimana aku dapat hidup disana, menjadi begitu kecil dan tanpa pertolongan."

Tuhan berkata "anak-ku, dari semua malaikat-Ku Aku memilihkan satu yang sangat istimewa bagimu. malaikat penjagamu akan menungguimu dan akan mempedulikanmu."

si anak kecil berkata, "tetapi Tuhan, di sini adalah surga, saya tidak melakukan apapun kecuali bernyanyi dan tersenyum, dan hal itu membuat aku bahagia."

Tuhan berkata "malaikat penjagamu akan menyanyi dan tersenyum untukmu, dan kau akan merasakan kasih dari malaikat penjagamu, dan hal itu akan membuatmu bahagia."

si anak kecil berkata "dan bagaimana aku tidak mengerti ketika manusia berkata kepadaku, jika aku tidak mengetahui bahasa manusia di bumi?"

Tuhan menjawab "malaikat penjagamu akan mengatakan kepadamu banyak kata-kata indah dan manis yang akan kau dengar, dan malaikat penjagamu akan mengajarmu dengan penuh kesabaran dan perhatian bagaimana engkau harus berbicara."

"dan Tuhan," jawab si anak kecil "apa yang harus aku lakukan ketika aku ingin berbicara dengan-Mu?"

Tuhan menjawab "malaikat penjagamu akan merapatkan kedua tanganmu bersamaan dan akan mengajarkanmu bagaimana berdoa, dan Aku akan mendengar doamu."

si anak kecil berkata "aku mendengar di bumi banyak orang jahat dan banyak hal-hal yang jahat, siapa yang akan melindungi aku?"

"malaikat penjagamu akan membelamu," kata Tuhan "walaupun itu akan membahayakan jiwanya. baginya, kau lebih berharga dari apapun juga"

si anak kecil berkata "tetapi aku akan selalu sedih, karena aku tidak dapat melihat-Mu lagi."

Tuhan tersenyum dan berkata, "malaikat penjagamu akan mengajarmu jalan bagimu untuk menjadi baik dan datang kembali kepada-Ku. dan melaluinya, kau akan tahu bahwa Aku selalu menjagamu."

kemudian terdengar suara panggilan dari bumi. si anak mengetahui sudah saatnya untuk pergi "Tuhan," si anak bertanya dengan lembut "jika aku pergi sekarang, dapatkah Engkau memberi tahu nama dari malaikat penjagaku, jadi aku dapat mengenalnya?"

dan Tuhan berkata "nama asli dari malaikat penjagamu tidaklah penting... kau akan memanggil malaikat penjagamu 'mama'."



Moral cerita ini menurut saya : orang tua adalah pelindung sejati di kehidupan kita saat ini.. Bagaimana menurut anda?

Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai berdiam di pohon bersama-sama mereka.

Para makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, “Ah, para bhikkhu itu hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir dari pohon.” Tetapi, sampai dini hari, para bhikkhu itu belum pergi juga.

“Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa. Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama.” Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi. Mereka segera berunding dan memutuskan untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.

Bhikkhu-bhikkhu sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.

Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha mengajarkan “Metta Sutta” (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka, diawali dengan syair berikut:

Karaniyamattha kusalena
Yantam santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju ca
Suvaco c’assa mudu anatimani dst.

Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat mencapai ketenangan sempurna (Nibbana).

Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dst.

Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.

Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.

Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh. Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan objek tubuh jasmani, dan mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal keberadaannya.

Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan kehadiran beliau.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah realisasikan, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah tempayan tanah.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 40 berikut:

Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan,
hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota,
dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan.
Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya,
dan hidup tanpa ikatan lagi.

Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Cittahatta Thera

Seorang laki-laki yang berasal dari Savatthi, ketika mengetahui lembu jantannya hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.

Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja, tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu

Kemudian ia bertanya kepada para bhikkhu untuk memperoleh izin memasuki pasamuan Sangha. Saat di vihara, laki-laki itu melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang bhikkhu dan di vihara terdapat banyak makanan, sehingga ia segera menjadi gemuk.

Sesudah beberapa waktu, ia bosan berpindapatta dan kembali pada kehidupan berumah tangga.

Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan ia kembali ke vihara untuk diizinkan menjadi seorang bhikkhu untuk kedua kalinya.

Untuk kedua kalinya, ia meninggalkan pasamuan Sangha dan kembali menjadi perumah tangga.

Lagi, ia pergi ke vihara untuk ketiga kalinya dan kemudian lepas jubah lagi.

Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya saja, maka ia dikenal sebagai Cittahattha Thera.

Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, istrinya hamil. Sebenarnya ia belum siap menjadi bhikkhu. Ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga, maupun sebagai seorang bhikkhu.

Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat istrinya sedang tidur. Istrinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian terjulai jatuh. Istrinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari mulutnya keluar lendir dan ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang gembung, ia terlihat hanya seperti mayat.

Melihat keadaan istrinya, ia tiba-tiba merasa ketidakkekalan dan ketidakindahan tubuh jasmani, dan ia membayangkan: "Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hal ini hanya dikarenakan perempuan ini, yang menjadikan saya tidak dapat menjadi seorang bhikkhu....."

Kemudian ia mengambil jubah kuningnya, dan pergi meninggalkan rumahnya pergi ke vihara untuk ke tujuh kalinya. Karena ia dalam perjalanan mengulangi kata-kata "tidak kekal" dan "penderitaan" (anicca dan dukkha) dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam perjalanan ke vihara.

Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha. Para bhikkhu menolak dan berkata, "Kami tidak dapat mengizinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulangkali mencukur rambut kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah."

Masih ia memohon dengan amat sangat agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha sekali ini dan mereka memenuhinya. Dalam beberapa hari, bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis.

Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya? Terhadap hal itu, beliau menjawab, "Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya, tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong."

Bhikkhu-bhikkhu yang tidak percaya kepadanya, menghadap Sang Buddha dan melaporkan hal itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Bhikkhu Cittahattha telah berbicara benar, ia berpindah-pindah antara rumah dan vihara, karena waktu itu pikirannya tidak mantap dan tidak mengerti Dhamma. Tetapi pada saat ini, Cittahattha telah menjadi seorang arahat, ia telah mengatasi kebaikan dan kejahatan."

Kemudian sang Buddha membabarkan syair 38 dan 39 berikut ini:

Orang yang pikirannya tidak teguh,
yang tidak mengenal ajaran yang benar,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian,
yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk,
di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.