Kisah Atula Seorang Umat Awam

Suatu saat, Atula bersama dengan 500 orang temannya, mengunjungi Revata Thera, dengan harapan dapat mendengarkan Dhamma. Revata Thera yang pendiam seperti seekor singa, tidak mengatakan apapun pada mereka.

Atula dan teman-temannya sangat tidak puas dan kemudian pergi menghadap Sariputta Thera. Saat Sariputta Thera mengetahui mengapa mereka datang ke hadapannya, beliau menjelaskan Abhidhamma secara mendalam. Apa yang dijelaskan Sariputta Thera juga bukanlah yang mereka harapkan, dan mereka mengeluh bahwa uraian Sariputta Thera panjang dan terlalu mendalam.

Kemudian Atula dan rombongannya mendekati Ananda Thera. Ananda Thera menjelaskan pada mereka sedikit tentang inti dari ajaran Dhamma. Kali ini, mereka menilai bahwa penjelasan Ananda Thera terlalu singkat dan kurang lengkap.

Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, “Bhante, kami datang untuk mendengarkan ajaran-Mu. Kami telah menemui beberapa guru sebelum kami datang kemari, tapi kami tidak puas terhadap mereka. Revata Thera tidak berkenan mengajar kami dan ia hanya berdiam diri. Penjelasan Sariputta Thera terlalu mendalam dan Dhamma yang beliau ajarkan terlalu sukar buat kami. Begitu pula Ananda Thera, beliau menjelaskan terlalu singkat dan kurang lengkap. Kami tidak menyukai apa yang mereka ajarkan.

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Murid-murid-Ku, mencela orang lain bukanlah hal yang baru. Tak satu pun orang di dunia ini yang tak pernah dicela; orang-orang akan mencela meskipun seorang raja atau bahkan seorang Buddha. Dicela atau dipuji oleh orang bodoh, tidaklah berarti. Seseorang akan benar-benar tercela hanya bila ia dicela oleh orang bijaksana, dan benar-benar terpuji hanya bila dipuji oleh orang bijaksana.

Kemudian Sang buddha membabarkan syair 227, 228, 229 dan 230 berikut ini :

O Atula, hal ini telah ada sejak dahulu
dan bukan saja ada sekarang,
di mana mereka mencela orang yang duduk diam,
mereka mencela orang yang banyak bicara,
mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.
Tak ada seorangpun di dunia ini
yang tak dicela.

Tidak pada zaman dahulu,
waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang,
dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela
maupun yang selalu dipuji.

Setelah memperhatikan secara seksama,
orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela,
pandai serta memiliki kebijaksanaan dan sila.

Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela
seperti sepotong emas murni?
Para dewa akan selalu memujinya,
begitu pula para brahmana.

Atula dan teman-temannya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Punna Seorang Budak Wanita

Suatu malam, Punna, seorang budak wanita, sedang menumbuk padi untuk tuannya. Karena lelah, ia beristirahat sejenak. Saat beristirahat, ia melihat Dabba Thera memimpin beberapa bhikkhu berjalan menuju vihara, setelah mereka mendengarkan Dhamma.

Gadis itu melihat mereka masih terjaga, ia pun merenung, “Aku masih terjaga hingga larut malam karena aku seorang yang miskin dan harus bekerja keras. Tapi mengapa orang-orang baik ini masih terjaga pada malam selarut ini? Mungkinkah ada bhikkhu yang sakit, ataukah mereka diganggu seekor ular?

Esok pagi harinya, Punna mengmbil sedikit beras hancur, merendamnya dalam air dan mengolahnya menjadi roti. Kemudian dengan maksud memakannya di tepi sungai, ia membawa roti kasar dan sederhana itu bersamanya.

Pada saat itu, ia melihat Sang Buddha datang dan sedang berpindapatta. Ia bermaksud mendanakan roti itu pada Sang Buddha, tapi ia tak yakin apakah Sang Buddha berkenan memakan roti murah yang kasar itu. Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirkan gadis tersebut. Beliau menerima rotinya dan menyuruh Ananda Thera untuk menggelar tikar kecil di tanah. Sang Buddha duduk di atas tikar dan memakan roti yang diberikan oleh budak wanita itu.

Setelah bersantap, Sang Buddha memanggil Punna dan menjawab pertanyaan semalam yang membuatnya bingung. “Punna, kau tidak dapat pergi tidur karena kau miskin dan harus bekerja keras. Begitu pula dengan anak-anak-Ku, para bhikkhu, mereka tidak tidur karena mereka harus selalu waspada dan sadar.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 226 berikut :

Mereka yang senantiasa sadar,
tekun melatih diri siang dan malam,
selalu mengarahkan batin ke nibbana,
maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah.

Punna mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah mendengar khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Seorang Brahmana Yang Mengaku Sebagai "Ayah Sang Buddha"

Suatu saat Sang Buddha bersama beberapa bhikkhu memasuki kota Saketa untuk berpindapatta.

Seorang brahmana tua melihat Sang Buddha, mendekati-Nya dan berseru, “O Nak! Mengapa Engkau tidak mengijinkan kami melihatmu selama ini? Ikutlah bersamaku dan biarlah ibuMu juga melihatMu.

Setelah berkata demikian, ia mengundang Sang Buddha ke rumahnya. Sampai di rumahnya, istri brahmana pun mengatakan hal yang sama dan memperkenalkan Sang Buddha sebagai ‘kakak tertua’ kepada anak-anaknya dan menyuruh mereka memberi hormat kepada-Nya. Sejak hari itu, suami istri tersebut memberikan dana makanan kepada Sang Buddha setiap hari dan setelah mendengarkan beberapa khotbah Dhamma, suami istri itu mencapai tingkat kesucian anagami.

Para bhikkhu heran, mengapa pasangan brahmana itu mengatakan bahwa Sang Buddha adalah putra mereka; merekapun bertanya kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, mereka memanggilku ‘Nak’ karena aku adalah anak atau kemenakan dari salah satu di antara mereka selama 1.500 kali kelahiran yang lampau.

Sang Buddha terus tinggal di dekat rumah pasangan brahmana sampai tiga bulan lebih, dan selama itu baik brahmana maupun istrinya mencapai tingkat kesucian arahat, kemudian merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).

Para bhikkhu tidak mengetahui bahwa pasangan brahmana itu telah mencapai tingkat kesucian arahat, mereka bertanya kepada Sang Buddha, di mana pasangan itu akan terlahir kembali. Sang Buddha menjawab, “Mereka yang telah mencapai tingkat kesucian arahat, tidak akan terlahir kembali di mana pun juga, mereka telah merealisasi ‘Kebebasan Mutlak’ (nibbana).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 225 berikut :

Orang-orang suci yang tidak menganiaya mahluk lain
dan selalu terkendali jasmaninya,
akan sampai pada ‘Keadaan Tanpa Kematian’ (nibbana);
dan setelah sampai pada keadaan itu,
kesedihan tak akan ada lagi dalam dirinya.

Kisah Pertanyaan Maha Moggallana Thera

Ketika itu, Maha Moggallana Thera mengunjungi alam surga dan menjumpai banyak dewa yang tinggal di tempat mewah. Beliau bertanya kepada mereka, perbuatan baik apa yang menyebabkan mereka terlahir di alam surga, dan mereka pun memberikan jawaban yang berbeda-beda.

Dewa yang satu mengatakan ia terlahir di alam surga bukan karena ia banyak berdana atau sering mendengarkan Dhamma, tetapi hanya karena ia selalu berbicara benar.

Dewa kedua adalah dewa wanita yang terlahir di alam surga karena ia tidak pernah marah pada tuannya dan tidak memiliki maksud buruk padanya meskipun tuannya sering memukul dan menyiksanya. Dengan meredam kemarahan dan menghindari kebencian, ia terlahir di alam surga.

Selanjutnya, ada yang terlahir di alam surga karena sedikit berdana seperti mendanakan gula tebu, buah, atau beberapa sayuran kepada seorang bhikkhu atau pada orang lain.

Setelah kembali dari alam surga, Maha Moggallana Thera bertanya kepada Sang Buddha, apakah mungkin meraih banyak keuntungan hanya dengan bicara benar, atau mengendalikan perbuatan atau dengan memberikan sedikit barang seperti buah dan sayuran.

Sang Buddha menjawab, “Anak-Ku, mengapa kau bertanya hal itu? Apakah kamu tidak melihat dan mendengar sendiri apa yang dewa-dewa itu katakan? Seharusnya engkau tidak meragukannya. Sedikit perbuatan baik pasti akan membawa seseorang terlahir di alam surga.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 224 berikut :

Hendaknya orang berbicara benar,
hendaknya orang tidak marah,
hendaknya orang memberi walaupun sedikit
kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan tiga cara ini,
orang dapat pergi ke hadapan para dewa.

Kisah Uttara Seorang Umat Awam

Uttara adalah putri dari Punna, seorang buruh tani yang bekerja pada pria kaya bernama Sumana di Rajagaha. Suatu hari, Punna dan istrinya berdana makanan kepada Sariputta Thera di saat beliau baru saja mencapai keadaan pencerapan mental yang dalam (nirodha sampatti). Sebagai akibat dari perbuatan baik itu, mereka mendadak menjadi kaya. Punna menemukan emas di tanah yang ia bajak, dan secara resmi raja menyatakan Punna sebagai seorang bankir yang besar.

Pada suatu kesempatan, Punna sekeluarga berdana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu selama tujuh hari, dan pada hari ketujuh, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Uttara, putri Punna menikah dengan anak Sumana. Keluarga Sumana bukan keluarga Buddhis, sehingga Uttara tidak merasa bahagia di rumah suaminya. Iapun bercerita kepada ayahnya, Punna, “Ayah, mengapa ayah mengurung saya di kandang ini ? Di sini saya tidak melihat para bhikkhu dan saya tidak memiliki kesempatan berdana kepada para bhikkhu.

Punna menjadi menyesal dan ia segera memberi uang sebesar 15.000 kepada Uttara. Setelah mendapat ijin dari suaminya, Uttara menggunakan uangnya untuk menyewa seorang wanita untuk menggantikan dirinya memenuhi kebutuhan suaminya. Akhirnya ditetapkan bahwa Sirima, seorang pelacur yang sangat cantik dan terkenal, menggantikannya sebagai seorang istri selama 15 hari.

Selama waktu itu, Uttara memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Pada hari ke lima belas, saat ia sibuk menyiapkan makanan di dapur, suaminya melihat dari balik jendela kamar dan tersenyum seraya bergumam pada dirinya sendiri, “Betapa bodohnya ia. Dia tak tahu cara bersenang-senang. Dia selalu menyibukkan diri dengan upacara pemberian dana.

Sirima melihat suami Uttara tersenyum pada Uttara, ia menjadi sangat cemburu pada Uttara, ia lupa bahwa dirinya hanya sebagai istri pengganti yang dibayar. Menjadi tak terkendali, segera Sirima pergi ke dapur dan mengambil sesendok besar mentega panas dengan maksud mengguyurkannya di kepala Uttara. Uttara melihatnya datang, namun ia tidak memiliki maksud buruk pada Sirima. Ia menyadari, berkat Sirimalah ia dapat mendengarkan Dhamma, berdana makanan, dan berbuat kebaikan lainnya, sehingga ia merasa berterima kasih pada Sirima.

Tiba-tiba ia menyadari bahwa Sirima datang mendekat dan hendak menuangkan mentega panas ke arahnya, iapun berseru, “Bila aku memiliki maksud buruk terhadap Sirima, biarlah mentega panas ini melukaiku, tapi bila aku tidak memiliki maksud buruk padanya, mentega panas ini tak akan melukaiku.

Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhadap Sirima, mentega panas yang dituang di kepalanya hanya terasa bagai air dingin. Sirima berpikir pasti mentega itu telah menjadi dingin saat dituangkan, maka ia bermaksud mengambil mentega panas yang lain. Saat hendak menuangkan mentega panas tersebut, pelayan-pelayan Uttara menyerang dan memukulnya keras-keras. Uttara menghentikan para pelayannya dan menyuruh mereka mengobati luka Sirima dengan balsam.

Akhirnya Sirima teringat akan kedudukannya yang sebenarnya, dan ia menyesal bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap Uttara, dan meminta Uttara mengampuninya. Uttarapun menjawab, “Aku memiliki seorang ayah. Aku harus bertanya kepadanya apakah aku harus menerima permintaan maafmu.

Sirima berkata bahwa ia siap pergi memohon pengampunan pada Punna, ayah Uttara.

Uttara menjelaskan padanya, “Sirima, saat aku mengatakan ‘ayahku’, maksud saya bukan ayahku yang sebenarnya, yang membawaku pada rantai kelahiran kembali ini. Yang kumaksud ‘ayahku’ adalah Sang Buddha, yang telah menolongku memotong rantai kelahiran kembali, yang telah mengajariku Dhamma, kebenaran sejati.

Sirima pun memohon untuk bertemu dengan Sang Buddha. Sehingga pada hari berikutnya direncanakan Sirima akan menyerahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.

Setelah bersantap, Sang Buddha diberitahu perihal Sirima dan Uttara. Kemudian Sirima mengakui bahwa ia telah berbuat kesalahan terhadap Uttara dan memohon Sang Buddha apakah ia dapat dimaafkan, karena jika tidak, Uttara tidak akan memaafkannya. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Uttara bagaimana perasaannya saat Sirima menyiramkan mentega panas ke arahnya.

Uttara pun menjawab, “Bhante, karena saya telah berhutang budi pada Sirima, saya tetap tidak naik darah, tidak memiliki maksud buruk padanya. Saya selalu memancarkan cinta saya kepadanya.

Lalu Sang Buddha berkata “Bagus, bagus, Uttara! Dengan tidak memiliki maksud jahat, kau telah mengatasi mereka yang berbuat kesalahan padamu. Dengan tidak melukai, kau dapat mengatasi mereka yang melukaimu. Dengan bermurah hati kau dapat mengatasi orang kikir, dengan berbicara benar kau dapat mengatasi mereka yang berbohong.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 223 berikut :

Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih
dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan.
Kalahkan kekikiran dengan kemurahan hati,
dan kalahkan kebohongan dengan kejujuran.

Sirima dan lima ratus wanita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Seorang Bhikkhu

Suatu ketika, seorang bhikkhu dari Alavi hendak membangun sebuah vihara untuk dirinya sendiri, dan ia pun mulai menebang sebatang pohon. Dewa yang mendiami pohon tersebut (Rukkha Deva), mencoba untuk mencegahnya dengan alasan bahwa ia dan bayinya tak tahu kemana lagi harus tinggal.

Gagal menghentikan perbuatan sang bhikkhu, kemudian dewa itu meletakkan anaknya pada sebuah dahan, berharap bahwa hal itu akan membuat sang bhikkhu berhenti menebang. Namun, bhikkhu tersebut terlanjur mengayunkan kapaknya dan ia tidak dapat menghentikannya seketika, dan tanpa sengaja memotong lengan anak tersebut. Melihat bayinya terluka, sang ibu menjadi marah dan bermaksud membunuh bhikkhu tersebut.

Ketika ia mulai mengangkat kedua tangannya untuk menyerang, tiba-tiba ia berhenti dan berpikir, “Bila aku membunuh seorang bhikkhu, berarti aku membunuh seseorang yang menjalankan peraturan moral (sila). Hal ini akan membuat aku menderita di alam neraka (niraya). Dewa pohon lainnya akan meniru apa yang kuperbuat, dan semakin banyak bhikkhu akan terbunuh. Tetapi bhikkhu ini pasti memiliki guru. Aku harus menemui gurunya.

Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha. Sambil menangis ia menceritakan semua yang telah menimpanya. Kepadanya, Sang Buddha berkata, “O Rukkha Deva, kau telah berhasil baik mengendalikan dirimu sendiri.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 222 berikut :

Barangsiapa yang dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak
seperti menahan kereta yang sedang melaju,
ia patut disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya
hanya sebagai pemegang kendali belaka.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Rukkha Deva mencapai tingkat kesucian sotapatti dan ia pun diperbolehkan mendiami sebatang pohon di dekat kamar harum (Gandha Kuti) Sang Buddha. Semenjak kejadian itu, Sang Buddha melarang para bhikkhu menebangi tumbuh-tumbuhan seperti rumput, tanaman, semak belukar, dan pepohonan.

Kisah Putri Rohini

Pada suatu saat Anuruddha Thera mengunjungi Kapilavatthu. Saat Anuruddha berdiam di vihara, semua anggota keluarganya, kecuali Rohini datang mengunjunginya.

Saat mengetahui bahwa ketidakhadiran Rohini disebabkan ia menderita kusta, Anuruddha Thera menyuruh salah satu anggota keluarganya untuk memanggilnya. Dengan menutupi kepalanya karena malu, Rohini pun datang. Anuruddha Thera menyarankan agar ia melakukan perbuatan baik. Beliau mengajurkan agar Rohini menjual beberapa pakaian dan perhiasannya, dan uang hasil penjualan tersebut dapat dipergunakan untuk membangun sebuah kuti bagi para bhikkhu.

Rohini setuju dengan apa yang dinasehatkan kepadanya. Anuruddha Thera juga meminta anggota keluarganya yang lain untuk membantu pembangunan tersebut. Selanjutnya Anuruddha Thera meminta Rohini untuk menyapu lantai dan mengisi tempat air setiap hari meskipun pembangunan kuti sedang berlangsung. Rohini melakukan semuanya yang dianjurkan dan kesehatannya pun semakin membaik.

Saat bangunan kuti itu selesai dibangun, Sang Buddha dan para bhikkhu diundang untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha bertanya siapa yang berdana kuti dan makanan tersebut. Namun saat itu Rohini tidak hadir, maka Sang Buddha meminta agar Rohini dipanggil dan ia pun datang.

Sang Buddha bertanya apakah Rohini tahu mengapa ia menderita penyakit yang mengerikan itu. Rohini menjawab bahwa ia tidak mengetahuinya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan bahwa Rohini menderita penyakit kusta karena perbuatan jahat yang pernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau, perbuatan yang diliputi rasa dengki dan marah.

Sang Buddha bercerita, bahwa dulu Rohini adalah permaisuri Raja Banarasi. Raja Banarasi memiliki seorang penari yang ia kagumi dan hal ini membuat permaisuri cemburu. Karenanya, permaisuri bermaksud menghukum penari itu. Suatu hari permaisuri menyuruh para pelayannya untuk menaburkan serbuk gatal yang terbuat dari kotoran sapi pada tempat tidur dan selimut milik penari itu. Kemudian mereka memanggil penari tersebut dan dengan tiba-tiba mereka menebarkan bubuk gatal itu ke tubuhnya. Rasa gatal menyerang seketika dan penari itu menjadi sangat menderita. Saat rasa gatal itu semakin tak tertahankan, ia berlari ke kamar dan menjatuhkan diri jatuh di ranjang. Iapun semakin menderita.

Akibat dari perbuatan jahat itu, Rohini menderita kusta pada kehidupannya sekarang. Sang Buddha kemudian menasehati semua orang yang hadir agar menghindari perbuatan bodoh karena marah, dan menghindari perbuatan mencelakakan orang lain.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 221 berikut :

Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan kesombongan,
hendaklah ia mengatasi semua belenggu.
Orang yang tidak lagi terikat pada batin dan jasmani,
yang telah bebas dari nafsu-nafsu,
tak akan menderita lagi.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, banyak orang yang hadir mencapai tingkat kesucian sotapatti. Demikian pula dengan Putri Rohini, ia juga mencapai tingkat kesucian sotapatti, dan seketika itu pula penyakit kulit yang mengerikan itu lenyap dan kulitnya berubah menjadi bersih, halus dan menarik.

Kisah Nandiya

Nandiya adalah seorang kaya berasal dari Baranasi.

Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha tentang manfaat membangun vihara-vihara untuk para bhikkhu, Nandiya membangun Vihara Mahavihara di Isipatana. Bangunan tersebut tinggi dan penuh perabotan. Segera setelah vihara tersebut dipersembahkan kepada Sang Buddha, sebuah rumah besar muncul untuk Nandiya di alam surga Tavatimsa.

Suatu hari ketika Maha Moggallana Thera mengunjungi alam surga Tavatimsa, dia melihat sebuah rumah besar diperuntukkan bagi pendana Vihara Mahavihara di Isipatana. Setelah kembali dari alam surga Tavatimsa, Maha Moggallana Thera bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante ! Untuk mereka yang melakukan perbuatan baik, apakah mereka akan mempunyai rumah besar dan kekayaan lain tersedia di alam surga, meskipun mereka masih hidup di dunia ini ?

Kepadanya Sang Buddha berkata, “Anak-Ku, mengapa kamu bertanya hal itu ? Apakah kamu tidak melihat rumah besar dan kekayaan menunggu untuk Nandiya di alam surga Tavatimsa ? Para dewa menunggu kedatangan dari orang yang berbuat baik dan dermawan, seperti sebuah keluarga menunggu kembalinya seseorang yang telah lama bepergian. Ketika orang baik meninggal dunia, mereka disambut dengan gembira untuk tinggal di alam surga.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 219 dan 220 berikut :

Setelah lama seseorang pergi jauh
dan kemudian pulang ke rumah dengan selamat,
maka keluarga, kerabat dan sahabat
akan menyambutnya dengan senang hati.

Begitu juga, perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan
akan menyambut pelakunya yang telah pergi dari dunia ini
ke dunia selanjutnya,
seperti keluarga yang menyambut pulangnya orang tercinta.

Kisah Seorang Thera Anagami

Suatu saat murid-murid dari seorang thera bertanya kepadanya, apakah dia telah mencapai tingkat ‘Jalan Kesucian’ (magga); tetapi sang thera tidak berkata apa-apa meskipun dia telah mencapai ‘Jalan Kesucian Anagami’ (anagami magga), magga ketiga. Dia berdiam diri karena dia memutuskan untuk tidak membicarakan tentang pencapaiannya hingga dia mencapai tingkat kesucian arahat.

Tetapi sang thera meninggal dunia sebelum mencapai tingkat kesucian arahat, dan juga tidak berkata sesuatupun tentang pencapaian anagami magganya.

Murid-muridnya berpikir guru mereka meninggal dunia tanpa mencapai tingkat magga dan mereka merasa menyesalinya.

Mereka pergi menghadap Sang Buddha dan bertanya di mana guru mereka dilahirkan kembali. Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu! Gurumu telah mencapai anagami magga sebelum meninggal dunia, sekarang dia lahir kembali di alam brahma (Suddhavassa Brahmaloka). Dia tidak menyatakan pencapaian anagami magganya karena merasa malu bahwa dia hanya mencapai itu, dan dia berusaha keras mencapai tingkat kesucian arahat. Gurumu sekarang telah bebas dari kemelekatan kesenangan duniawi ( kamaloka) dan pasti akan meningkat pada keadaan yang lebih tinggi.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 218 berikut :

Barang siapa bermaksud ingin mencapai
‘Yang Tak Dinyatakan’ (nibbana),
yang batinnya tidak lagi terikat oleh kesenangan indria,
orang seperti itu disebut “yang telah pergi ke hilir arus kehidupan”.

Para bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.