Sampai Menjadi Spontanitas



Pada suatu ketika, dua orang anak laki-laki kakak beradik tengah berjalan-jalan menyusuri tepian sungai. Tatkala mereka asyik menimati gemericik air bening dan temaram senja, tiba-tiba tampaklah oleh mereka seekor kalajengking hanyut terbawa arus sungai.

Hewan yang cukup ditakuti oleh sesamanya ini rupanya belum pernah les berenang, sehingga hanya bisa menggelepar tanpa daya ketika harus tercemplung di dimensi alam yang bukan zona nyamannya. Bisa dipastikan senja itu tidak indah sama sekali bagi kalajengking sial yang tengah hanyut menyongsong hilir ajalnya ini.

Menyaksikan tragedi maut ini, sang adik bergegas mencari cari ranting pohon atau apa saja yang bisa dipakai untuk mengangkat hewan malang itu dari badan sungai, namun dia tidak menemukan apa pun disekitar situ yang bisa dipakainya. Rupanya alam belum tentu menyediakan piranti "P3K" pas saat- saat genting seperti ini. Kalajengking itu terus terseret arus...

Tanpa berfikir panjang lagi, sang adik mengejar dari bibir sungai dan langsung menjulurkan tangan kosong meraih kalajengking itu. Kena! Namun, belum dia memindahkan kalajengking itu ke daratan yang aman, si kalajengking rupanya kaget setengah mati ada yang mencekalnya dengan mendadak. Kontan, si kalajengking menghunjamkan sengat sakitnya ke pencengkeram dak dikenal yang tak diketahui gelagatnya itu.

"Aaaaaaaahhh...!" jerit si adik yang tersengat, jari -jari mungilnya spontan melepaskan kalajengking yang hendak diselamatkannya. Dan... kalajengking itu pun kembali tercemplung ke sungai, tergulung riak... kalau bisa ngomong, pasti kalajengking itu akan bilang, "Tuolooonngg..!!"

Tanpa menggubris keadaan tangannya, sedetik kemudian sang adik kembali menjulurkan tangan yang sama untuk menggapai kalajengking itu sebelum terseret arus lebih jauh. Dia langsung melemparkan si kalajengking ke tanah pasir ditepian. aman... Si kalajengking menggeliat, terpana sejenak, lalu pergi begitu saja, jelas tanpa mengucap terima kasih sedikitpun kepada juru selamatnya..

Menyaksikan drama dadakan ini, sang kakak terlongo longo dan begitu melihat tangan adiknya yang memerah lepuh, mulailah dia mengomel, "Kamu ngapain sih? lihat tuh sekarang tanganmu menjadi begitu!"

"Nggak apa-apa kok kak, cuma sakit sedikit saja...," kata adiknya sembari meniup-niup tangan mungilnya yang agak melepuh.

"Kamu ini menyusahkan saja! Kita kesini kan mau bersenang -senang! Sekarang repot jadinya! Kita malah harus ke dokter!" tukas sang kakak.

"Iya Kak, maaf kalau jadi merepotkan," lirih adiknya.

Kakaknya terus menyalahkan, "Kamu kan tahu kalajengking itu bisa menyengat. Ngapain kamu tolong? Itu namanya bodoh!"

Kali ini sang adik menjawab, "Kalajengking menyengat kan kebiasaannya. Apa dia salah? saya menolong kan sudah kebiasaan saya. Apa saya salah?"

sang kakak pun terdiam...



Dalam perspektif materialisme, nilai-nilai semacam itu barangkali tidak mendapat tempat bahkan dianggap konyol.



Kisah seorang rabi bernama Schmelke menyuarakan pesan yang senada.



Schmelke sangat kondang dengan kemurahan hatinya. Orang -orang miskin di kotanya tahu bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan pintu rumah Budi dengan tangan kosong.

Suatu hari seorang pengemis datang meminta uang kepada Schmelke untuk membeli obat bagi putri sang pengemis yang lagi sakit keras. Schmelke waktu itu sedang tidak ada uang. Ia lalu mencari-cari apa yang bisa diberikannya kepada sang pengemis, akhirnya ia memberi pengemis itu sebuah cincin yang mahal. Pengemis itu terpana, dan berlalu dengan sukacita, tentu.

"Apa-apaan yang kamu berikan?!" teriak istrinya. "Cincin itu harganya seribu dinnar!"

"Hah seribu dinnar?" sentak Schmelke. Ia spontan mengejar pengemis tadi sembari berteriak, "Ooii, tungguuuu!!". Sang pengemis berhenti dan berbalik mendengar teriakan itu, "Ada apa Tuan?"

"Cincin itu harganya seribu dinnar!" seru Schmelke. Pengemis itu pun menjadi ketar-ketir kalau Schmelke meralat pemberiannya yang mahal tersebut. "Iya, Tuan...,jadi..?"

"Jangan dijual terlalu murah ya!" ujar Schmelke sambil tersenyum.



Crita diatas menunjukkan bahwa Schmelke bukanlah manusia tolol yang tidak paham nilai uang. Dia memahami nilai-nilai duniawi ini, namun dia membuat pilihan sadar untuk menjalankan keyakinannya itu dan menerima konsekuensi dari pilihan hidupnya, tak peduli apa pun yang orang lain katakan.

Pilihan selalu ada di tangan kita masing-masing:apakah kita menjalani apa yang kita yakini sebagai suatu kebenaran ataukah kita ikut-ikutan dengan apa yang khalayak anggap "lumrah"?

Segenap pengembangan spiritual yang benar akan secara alamiah membuat kita menjadi lebih penuh kasih sayang, tanpa pamrih apapun. Apa pun tindakan kebaikan yang kita pilih, lakukanlah dengan segenap hati, sesering mungkin, sampai tertanam menjadi kebiasaan, sampai menjadi karakter, sampai menjadi spontanitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar